Bisikan

309 26 0
                                    

Sudah lama sekali aku terbangun. Terbangun dalam arti aku sudah tidak tidur; dan meskipun mataku masih menutup, pikiranku sudah sadar sepenuhnya.

Namun aku bergeming. Rasanya seakan-akan kedua mataku diberi beban sangat berat sehingga sulit terbuka. Padahal aku ingin sekali membukanya.

Salah satu teman pernah mengatakan padaku, bahwa setiap manusia punya satu indera yang tak terlihat. Kita bisa merasakan sebuah kehadiran, bahkan saat kita tidak melihat ataupun mendengarnya. Pernahkah kau menyadari bahwa seseorang sedang mendekatimu dari belakang, meski kau tidak melihatnya dan langkah kakinya tidak terdengar?

Aku sedang mengalaminya saat ini. Tepatnya semenjak aku terbangun dari tidurku tadi.

Aku sangat kesal. Aku ingin dia—atau apapun itu yang sedang berada di dekatku saat ini—tahu kalau aku sudah bangun.

Aku ingin ia tahu kalau aku tidak takut. Aku ingin ia pergi.

Hatiku sangat marah ketika rasanya tangan dan kakiku saja tidak mau menuruti keinginanku.

Aku mulai berdoa, sambil menenangkan diriku dan berusaha keras tertidur lagi. Lama sekali rasanya aku berusaha. Sampai kemudian, suara berbisik itu terdengar lagi. Suara itu mengganggu sekali, namun aku tidak bisa mengusirnya karena asalnya sendiri dari dalam kepalaku.

Apa benar-benar aku yang sedang berbicara?

Aku menarik nafas panjang dan membuangnya lagi. Setelah melakukannya berkali-kali, kudengar suara itu mulai mengabur, sedikit tenang dan tidak sericuh sebelumnya. Kuteruskan doa-doa yang sebelumnya kubaca. Lalu kehadiran 'seseorang' itu pelan-pelan sudah tak kurasakan.

Sampai akhirnya aku merasa aku kembali sendirian.

Kubuka mataku dengan mudah kali ini. Kulihat seberkas cahaya pagi dari ventilasi kamarku. Dalam hati mengucap syukur. Tidak ada apa-apa disini. Aku benar-benar sendirian. Mungkin sejak awal aku memang sendirian, mungkin yang semalaman ini kurasakan hanya mimpi belaka.

Aku mendudukkan diriku di kasur. Menatap bayanganku di cermin besar lemari yang letaknya tepat di bagian kaki tempat tidurku. Aku terlihat berantakan—dan bahuku naik turun dengan tempo cepat. Entah untuk alasan apa aku terengah-engah. Aku merasa capek sekali. Tenggorokanku juga kering dan rahangku pegal—seolah-olah aku habis berbicara tak tentu arah semalaman.

Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?

Lamunanku terinterupsi oleh suara telepon. Aku melihat layar ponselku, Adi rupanya.

"Hi, Baby, gimana tidurnya tadi malam?" tanya Adi.

"Capek." jawabku singkat.

"Loh, capek gimana?"

Aku berusaha mengingat-ingat. Bahkan kesadaranku pun belum pulih sepenuhnya. "Semalaman aku merem, tapi rasanya kayak gak tidur. Aku denger suara-suara gitu—rasanya juga kayak ada yang lagi merhatiin aku dari samping tempat tidur."

"Ya ampun..." kudengar suara Adi berubah khawatir. "Mungkin karena kamu belum biasa sama tempat baru ya?"

"Kayaknya sih gitu..." aku setuju dengan pendapat Adi, walau tidak sepenuhnya. Ini sudah minggu kedua sejak hari pertama aku pindah ke rumah kos ini. Biasanya tidak pernah selama ini aku menyesuaikan diri dengan habitat baru.

"Ya udah. Besok kamu udah mulai kerja kan. Gimana kalau hari ini aku jemput, kita jalan, yuk? Soalnya besok-besok juga aku udah sibuk kerja."

Benar juga. Hari-hariku bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Adi sudah berakhir karena mulai besok aku sudah resmi bekerja di perusahaan milik seniorku. Kami harus menggunakan semua kesempatan yang ada untuk bertemu, karena pekerjaan Adi seringkali tak kenal waktu. Selanjutnya, aku akan lebih banyak sendirian, karena aku juga tidak punya banyak teman di Bandung.

Dalam hati aku merasa sedikit sedih. Namun, aku juga sadar kalau ini sudah jadi resiko dari keputusan yang kuambil. Setidaknya aku bersyukur bisa dapat pekerjaan; aku tak harus bergantung pada orangtua dan jarakku dengan Adi tidak terpisah jauh lagi.

"Okay. Aku siap-siap dulu, ya." jawabku, menunjukkan nada semangat pada Adi sebelum menutup teleponnya.

***

Aku mematung. Setengah syok dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat di layar ponsel Adi. Aku melirik sekilas ke arahnya—ia masih sibuk dengan makanannya.

Kenapa? Kenapa wajahnya bisa setenang itu? Kenapa ia tidak merasa takut barangkali aku akan menemukan sesuatu di ponselnya—dan itu benar-benar sedang terjadi saat ini?

Aku menelan ludah, menahan panas yang menggelegak di kerongkonganku, lalu membaca tulisan di notes itu sekali lagi.

8 July
Selamat ulang tahun, Sayang! Semoga cepet lulus cepet kerja bahagian orang tua dan org sekitar. Semakin salihah semakin cantik & jangan bosen selalu berbuat baik kepada org sekitar termasuk aku. Jgn dengerin apa kta org keep going! Words from heart❤️

Delapan Juli. Itu bukan tanggal ulangtahunku.

Aku membuka ponselku dan membuka aplikasi facebook. Dengan kecepatan tangan aku mengetik nama perempuan itu dan mencari akunnya.

Mataku bergerak cepat dan menggulir halaman dinding sampai ke bulan juli. Sampai akhirnya aku tahu kalau ulangtahun perempuan itu adalah sehari setelah Adi membuat notes di ponselnya.

Aku merasa seolah dilalap api—seluruh tubuhku panas. Aku memandangi Adi tatapan penuh kebencian. Dan tepat pada saat itulah, aku mendengar sebuah suara yang lirih, penuh dengan tekanan, dan jelas sekali berbisik di telinga kiriku:

"Bunuhhh."

SAYUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang