Sudah setengah jam lamanya aku duduk di sini, di meja paling pojok di dalam sebuah restoran cepat saji yang letaknya dekat dengan kantorku. Satu gelas plastik softdrink dan burger yang kupesan dengan asal masih belum kusentuh. Aku sedang berusaha menenangkan diriku—menegaskan bahwa aku ini masih waras, dan semua yang baru saja terjadi di kantor tadi bukan hanya imajinasiku.
Aku benar-benar takut kalau aku sudah gila. Tapi apapun itu, yang aku tahu aku harus mencari bantuan. Aku tidak bisa lagi menyimpannya sendirian. Semua ini sudah terlalu mengusik.
Kusambar ponselku ketika teringat bahwa aku belum memberi Kak Farah kabar kalau aku pergi meninggalkan kantor. Segera kucari nomornya dan kutekan tombol dial. Tak menunggu lama, suara Kak Farah terdengar di ujung telepon.
"Halo?"
"Halo? Kak Farah? Kakak sudah dimana?" rongrongku.
"Ini udah deket kantor... Kenapa Jas?"
Aku mengumpulkan keberanian dalam dua detik. "Kak... aku sekarang ini lagi ada diluar. Di Mcdonals dekat kantor."
"Loh, ngapain disana?"
Dari nada bicaranya, Kak Farah terdengar heran. Tanpa ragu lagi aku pun menjawab. "Kak... aku ngalamin hal yang aneh banget di kantor. Aku sebenernya sering ngalamin hal kayak gini, tapi biasanya gak kugubris. Tapi kali ini..." jantungku mendadak berdetak cepat lagi saat membayangkan kejadian itu. "Kali ini gangguannya sedikit keterlaluan. Aku gak kuat, Kak. Makanya aku pergi."
Di seberang sana, Kak Farah tidak menjawabku. Tapi aku bisa mendengar dia sedang berbicara dengan seseorang dengan suara pelan—mungkin menceritakan apa yang kukatakan ini pada Kak Irwan dan Kak Manda, karena mereka sedang bersama-sama. Lalu kudengar seseorang menanggapi, dan setelah terjadi percakapan di dalam mobil itu selama sekitar satu menit, Kak Farah kembali kepadaku.
"Jasmine?"
"I... iya, Kak?"
"Kamu gak apa-apa kan? Suara kamu gemeteran banget."
"Oh... iya... gak apa-apa kok, Kak. Tapi... maaf banget, kayaknya aku harus diam disini dulu sampai kakak datang. Aku takut, Kak..." ujarku jujur.
"Nggak... gak apa-apa. Kamu disana aja. Kita juga gak akan ke kantor dulu kok kayaknya. Kita samperin kamu sekarang, ya."
***
"Jadi... gimana ceritanya?" tanya Kak Farah yang kini sudah duduk di sebelahku. Di hadapanku ada Kak Irwan dan Kak Manda. Semuanya memperhatikanku dengan tatapan serius.
"Mmm... tapi... kalau diceritain, mungkin kedengerannya agak gak masuk akal..."
"Gak apa-apa, kamu ceritain aja apa adanya." timpal Kak Manda. "Dari awal."
Aku menundukkan wajahku. Tak nyaman rasanya bercerita sambil menatap mata mereka—terlebih apa yang akan kuceritakan adalah hal yang bertentangan dengan logika. "Sebenernya... udah beberapa waktu belakangan ini aku mulai ngalamin hal-hal aneh. Di kosan, di kantor... aku sering denger suara-suara, lihat wujud orang yang kukenal tapi rupanya bukan dia... punggungku juga sering banget panas, terutama kalau lagi beribadah..." jelasku panjang lebar. "Awalnya aku sendiri gak percaya sama apa yang aku alamin. Soalnya semua ini gak pernah terjadi di hidup aku sebelumnya—aku juga gak percaya sama yang namanya makhluk ghaib.
"Makanya, di awal-awal aku berusaha gak hiraukan. Aku mikir mungkin ini cuma karena aku lagi stress aja. Tapi semakin lama, semakin aku biarin, kejadian-kejadian aneh makin sering terjadi. Tidur aku juga mulai keganggu—sering gak bisa tidur, sering tiba-tiba kebangun jam 3 pagi... sering denger suara bisik-bisik yang ganggu banget."
Kening Kak Farah berkerut. "Ya ampun... terus-terus?"
"Terus suara bisikan itu sekali dua kali muncul lagi... termasuk tadi, waktu di kantor." ujarku. "Awalnya aku ke ruangan penyimpanan buat nyari materai. Tapi baru aja mau kubuka pintunya, tiba-tiba pintu itu kayak ada yang dorong dari dalem, keras banget sampe terbuka lebar. Gak cuma itu, kulihat juga ruangan penyimpanan lampunya mati. Aku kaget—setahuku aku ga pernah matiin karena Kak Manda selalu wanti-wanti tentang hal ini. Tapi belum habis kagetnya, tiba-tiba kayak ada yang dorong badanku sampe terjengkang ke belakang.
"Habis itu aku masih berusaha biasa-biasa aja. Sampe tiba-tiba punggungku rasanya panas dan perih banget. Lama-lama aku mulai gabisa nafas, kayak kecekik. Saat itulah suara bisikan itu muncul lagi dari belakang—jelas banget aku denger suara itu ketawa... hihihi... gitu," aku bergidik. "Dari situ aku ketakutan banget, sampai akhirnya aku ninggalin kantor dan pergi kesini."
"Jas, kamu ini 'bisa' ya?" tanya Kak Manda, kini air wajahnya khawatir. "Kenapa baru bilang?"
"Aku takut gak ada yang bakal percaya, Kak. Aku aja gak akan percaya kalau bukan diri sendiri yang ngalamin."
"Tapi kalau sampe separah ini kan kasihan kamunya." tanggap Kak Manda. "Soal kantor yang ada penunggunya, kita emang udah tahu dari lama. Rumah itu udah ga ditempatin lama banget semenjak Eyang aku meninggal. Baru saat kantor berdirilah ada aktifitas lagi disana. Kata Papa, 'Penunggu' utamanya memang tinggal di ruangan penyimpanan itu. 'Dia' gak jahat, hanya entah untuk alasan apa 'dia' gak suka lampu ruangan itu mati."
"Maaf, malem kemaren pulang acara aku sama Irwan ke kantor naro barang. Kita gak inget, tapi kayaknya salah satu dari kita yang matiin lampunya." aku Kak Farah menyesal.
"Gak apa-apa sih, Far. Soalnya biasanya, 'dia' gak pernah sampe sengamuk itu. Aku juga aneh pas papa tiba-tiba nelepon dan nanya kita dimana, lalu nyuruh kita ngosongin kantor hari ini." Kak Manda berpaling ke arahku. "Bahkan sebelum kamu nelepon dan bilang kalau kamu ninggalin kantor, kita juga emang udah mau puter balik dan gak jadi kesana karena telepon papa."
"Memangnya kenapa papa kakak nyuruh ninggalin kantor?" tanyaku penasaran.
"Gak tahu. Firasat dia gak baik katanya." jawab Kak Manda. "Papa bilang dia mau 'bersihin' kantor dulu hari ini."
"Bersihin?"
"Iya, ngusir-ngusirin hawa jahat, dari jauh."
Aku mengangguk pelan, berusaha keras menyerap dan memahami semua hal yang asing ini di dalam benakku. Tepat pada saat itu, ponsel Kak Manda berbunyi. Ia bangkit dan berjalan menjauh untuk menerima telepon.
Tepukan Kak Farah di bahuku membuat kaget. "Kamu yang sabar ya... kita cari jalan keluarnya. Meski aku gak ngerti soal ginian, tapi aku yakin saat gangguan-gangguannya pasti berakhir, kok."
Seketika itu juga, sebulir air mata meleleh keluar dari kelopak mataku. Kak Farah dan Kak Irwan terlihat kaget karena aku tiba-tiba menangis.
"Eh, kenapaaa?" kata Kak Farah seraya memelukku. Aku menggeleng di dalam pelukannya. Aku tidak tahu pasti apa yang kurasakan—yang aku tahu, perasaan lega membuncah dan tak bisa kukendalikan. Akhirnya apa yang selama ini kupendam sendirian bisa kuceritakan pada orang lain. Tidak ada yang tahu betapa pentingnya dukungan dari siapapun atas apa yang tengah kualami saat ini.
Tak lama kemudian, setelah Kak Farah melepas pelukannya dan aku menghapus airmataku, Kak Manda kembali ke meja kami dengan ekspresi yang sulit kujelaskan.
"Tadi itu Papa yang telepon," ucapnya. "akhirnya Papa tahu kenapa 'dia' ngamuk banget."
"Kenapa?" Kak Irwan akhirnya bersuara.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, Kak Manda tiba-tiba mengalihkan pandangannya padaku. "Jasmine... kamu itu bawa sesuatu kesana," katanya. "Bukan hanya satu, tapi banyak. Penunggunya marah karena terganggu sama semua yang ngikutin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...