Rumah Kos

364 30 0
                                    

Aku berhenti melahap makanan di hadapan, lalu menatap Adi yang rupanya sedari tadi sedang memandangiku. "Kenapa?"

Adi langsung mengalihkan pandangannya, lalu tersenyum kecil. "Gak apa-apa, lanjutin makannya."

Aku mengerenyitkan dahi. Dulu, aku sangat suka perlakuan manis Adi yang semacam ini. Tapi sekarang, entah kenapa hatiku tidak merasakan apapun lagi. Apa ini hanya karena aku masih marah padanya? Tanyaku dalam hati.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Adi benar-benar sudah berubah. Ia jadi lebih lembut, lebih mudah menuruti kata-kataku. Bahkan hari ini, untuk pertama kalinya semenjak hari pertama kami berpacaran, ia memprioritaskan aku diatas pekerjaannya.

Sejak pagi-pagi sekali ia sudah menjemputku di rumah Wina, mengantarku ke kantor seniorku untuk memenuhi panggilan wawancara, lalu menungguku sampai selesai. Setelah itu—karena aku bersikeras ingin tinggal di Bandung meski aku belum tentu diterima kerja—ia langsung membantuku mencari rumah kos.

"Maaf ya," ucapku dengan nada menyesal.

"Hm? Maaf kenapa?"

"Gara-gara aku kamu sampai bolos kerja hari ini." Mataku melirik pada layar ponselnya yang menyala. Sejak tadi entah sudah berapa kali Adi mengabaikan telepon dari rekan-rekan kerjanya.

"Oh, ini ..." Ia tersenyum, seraya menekan tombol tolak telepon. "Gak apa-apa kok. Aku kan jarang ambil cuti. Lagian hari ini hari pertama kamu pindah ke Bandung. Aku tahu kamu pasti butuh aku, jadi gak mungkin gak aku temenin."

"Tetep aja aku nggak enak."

Adi berhenti mengunyah, lalu menatapku serius. "Je ... kamu akhirnya pindah ke Bandung dan kita gak jauhan lagi. Ya aku seneng lah," ujarnya. "Aku mau bantu kamu, mau nemenin kamu, itu karena keinginan aku sendiri. Aku ini pacar kamu, bukan orang lain. Jadi kamu nggak perlu ngerasa gak enak. Oke?"

Aku menggangguk pelan, membalas senyumannya sekilas, lalu melanjutkan makan.

***

Hari sudah beranjak petang. Sudah lebih dari 5 jam kami berkeliling kota, namun belum ada rumah kos yang cocok. Keinginanku sebenarnya tidak muluk-muluk—aku hanya ingin tempat yang murah, namun tidak terlalu jauh dari pusat kota. Tidak perlu bangunan baru, tidak perlu kamar yang memiliki kamar mandi dalam; yang penting aku bisa menghemat biaya sewa setiap bulan agar sedikitnya ada uang yang bisa kusimpan untuk tabungan.

"Mau pulang dulu saja? Nanti kamu capek," saranku dengan suara keras dibalik kaca helm.

Adi menengok, ia tahu suaranya akan terbawa angin, jadi ia menjawab dengan suara lebih keras. "Tanggung, aku tahu satu lagi di dekat-dekat sini. Kalau gak cocok juga, baru kita udahan dulu hari ini."

Aku mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, Adi membawa motornya memasuki sebuah gang sepi. Motornya pun berhenti di sebuah gerbang hitam yang tinggi. Sela-selanya tertutup asbes hingga siapapun tak bisa melihat seperti apa dalamnya.

"Yang ini kayaknya ga terlalu jauh dari jalan besar," kata Adi. Aku turun dan membiarkannya memarkir motornya.

Kriiieeeeeetttt...

Suara pagar yang tiba-tiba terbuka itu begitu memekakkan telinga. Seketika, entah apa alasannya seluruh tubuhku merinding.

Sebuah kepala muncul dari balik pagar, mengagetkanku. "Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang Ibu usia paruh baya itu. Wajahnya terlihat ramah—ia langsung tersenyum lebar pada aku dan Adi.

"Saya lihat di internet, katanya disini masih ada kamar kosong ya, Bu?" jawab Adi. "Boleh kami lihat-lihat?"

"Oh, silahkan! Silahkan masuk!"

Bu Wati rupanya adalah penjaga di rumah kos itu, bersama suami dan anak lelakinya yang masih remaja. Pemiliknya sendiri rupanya adalah atasannya. Ia bekerja di rumah si pemilik kos sebagai asisten rumah tangga. Tempat tinggal Bu Wati sendiri menyatu dengan salah satu bangunan yang termasuk di dalam komplek kost-an itu. Namun ia bilang ia hanya ada di rumah di saat-saat tertentu saja. Kebanyakan waktunya—dari pukul 7 pagi hingga pukul 7 malam—ia habiskan untuk bekerja.

"Kamar di bawah gak apa-apa, Neng?" tanya Bu Wati.

Aku melirik kepada Adi, meminta pendapatnya.

"Kamu kan suka privasi," jawaban Adi sebagai saran.

"Atas saja Bu, kalau ada," jawabku mantap.

Saat itu, air muka Bu Wati tiba-tiba berubah. "Yakin, Neng? Emmm ... ada, sih, tapi ..."

"Tapi apa Bu?"

Bu Wati terlihat bingung, tidak tahu harus menjawab apa.

"Bu, kenapa kamar atas?" tanya Adi lagi.

"Eh? Emmm ... gak apa-apa kok." Bu Wati tersenyum ragu-ragu. Kenapa aku merasa sikapnya aneh ya? "Mari, langsung saya antar saja kalau begitu."

Kami mengikuti Bu Wati menaiki tangga yang terletak di sudut diantara dua deretan kamar-kamar yang saling berseberangan. Tangga itu besar namun tidak terlalu tinggi. Ketika sampai di atas, Bu Wati menghentikan langkahnya. Tangannya merogoh kunci di saku celananya, rupanya calon kamar untukku terletak di ujung dekat tangga.

"Silahkan masuk, dilihat-lihat dulu saja." Bu Wati mempersilahkan. Adi masuk duluan, diikuti dengan Bu Wati di belakangnya. Giliran aku ingin masuk, sesuatu tiba-tiba menyita perhatianku.

Perempuan itu berdiri disana, di ujung balkon di seberang balkonku. Di depan kamar yang hampir sejajar dengan kamarku. Ia menatapku terus, dan anehnya tidak melepaskan pandangannya meski sudah tertangkap basah olehku.

Akupun tersenyum simpul, hampir saja ingin menyapanya ketika ia tiba-tiba membalikkan tubuh dan masuk ke dalam kamarnya.

"Judes amat," dengusku pelan.

Akupun masuk ke dalam kamar, baru saja hendak bergabung dengan Adi dan Bu Wati yang sedang membicarakan soal perabot. Ketika teriakan itu terdengar.

Kami terlonjak kaget. Teriakan itu terdengar dari luar kamarku, panjang dan melengking. Dari suaranya, jelas suara perempuan. Aku reflek hendak berlari keluar, namun dengan cepat Bu Wati mendahului langkahku.

"Bu, ada apa? Suara siapa itu?" tanyaku.

Bu Wati tidak menjawab. Ia diam seribu bahasa, hanya berdiri mematung di balkon depan kamar. Matanya terlihat panik memandang ke arah serong kanan, ke arah kamar di seberang deretan kamar ini. Ke arah kamar milik perempuan yang tadi bertemu denganku.

SAYUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang