"Ngikutin...?" aku tercengang, berusaha mencari tanda apapun di air muka Kak Bimo bahwa yang tadi ia katakan itu tidak serius. "Ah... becanda nih Kak Bimo!"
"Gue gak becanda, Jas... well, gue cuma bilang apa yang gue lihat sih. Tapi sekali lagi bener apa nggaknya yang gue lihat ini hanya Tuhan yang tahu. Gue kan cuma manusia..." jawabnya, sekali lagi ia menatap ke arah atas kepalaku. Lalu dengan cepat memalingkan tatapannya.
"Kak... kenapa kakak bisa melihatnya dan aku nggak?"
"Karena lo gak mau lihat dia. Kalau mau, lo juga bisa lihat sebenernya."
Aku terdiam selama beberapa saat. Berpikir keras. Kalau aku mau mempercayai perkataan Kak Bimo—semua pertanyaanku belakangan ini akhirnya menemukan jawaban-jawabannya. Tapi sayangnya, masih ada setengah dari diriku yang menentangnya. Karena aku tidak biasa mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal—terlebih karena sejak kecil orangtuaku mengajarkanku demikian.
Tapi setidaknya mempunyai jawaban itu jauh lebih baik daripada terus kebingungan—terlepas dari benar atau tidaknya jawaban itu, bukan?
"Kak..." bisikku, menatapnya penuh arti. "kenapa... dia ngikutin aku?"
"Gue gak tahu dan gak punya hak untuk bilang ke lo kalaupun gue punya terkaan... karena hal-hal kayak gini gak bisa sembarangan divonis, apalagi sama orang biasa kayak gue." tanggap Kak Bimo. "Tapi saran gue, separah apapun yang nempelin lo ini gangguin lo terutama saat lo ibadah, lo harus lawan. Jangan sampe terpengaruh. Karena kalau sampe iman lo goyah, ya dia menang. Dia bakal lebih mudah ngapa-ngapain lo. Lo harus lebih kuat dari dia."
Aku mengangguk pelan.
Kak Bimo menepuk sebelah bahuku, lalu menambahkan, "Gak usah khawatir, Jas. Lo kan masih punya Tuhan. Selain itu, gue juga yakin lo ini bukan orang sembarangan. Lo ini kuat."
"Makasih banyak ya, Kak." aku tersenyum.
"Oh iya, satu lagi... lebih baik lo secepetnya konsultasi sama yang lebih bisa sih... Pak Ustadz atau Kiyai gitu misalnya."
"Emangnya kenapa, Kak?"
"Gimana ya... kalau gue liat sih... dia nempelnya sampe segitunya banget soalnya," kening Kak Bimo berkerut khawatir. "Kayak... kayak gamau lepas banget dia Jas..."
***
Kakiku terpaku di tengah-tengah area parkir rumah kos yang anehnya ramai hari ini. Pandanganku saling tumpu dengan seseorang yang sedang menatapku dari balkon lantai dua.
Seorang perempuan, sepertinya umurnya sebaya denganku. Ia sedang berdiri di balkon kamar yang berada tepat di seberang kamarku. Ia memakai mukena berwarna putih yang berkibar-kibar tertiup angin.
Penghuni baru? Aku belum pernah melihat wajahnya sebelum ini. Tapi kenapa dia berdiri di depan kamar itu; kamar perempuan yang sering bertingkah aneh kalau bertemu denganku?
Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa sejak awal dia memang tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat.
Tapi sesuatu... di belakangku.
Sontak aku menengok ke belakang. Mencari-cari apa yang aneh. Tapi seperti beberapa menit sebelumnya, tidak ada siapa-siapa disini. Tidak ada apa-apa di sekitar tempatku berdiri.
Lalu, kenapa tatapannya sampai nanar begitu? Apa jangan-jangan... ia bisa melihat apa yang tidak bisa kulihat?
Aku menyadari bahwa aku terlalu lama terpaku disana. Baru saja aku hendak melangkahkan kaki, perempuan yang memandangku di balkon tadi membalikkan badannya dan melambaikan tangan tanda memanggil. Tak lama, beberapa orang lainnya ikut menengok melalui balkon. Semua menatap aneh kearahku.
Saat itu demi Tuhan aku yakin kalau mereka semua—lebih dari lima orang yang saat ini sedang berdiri di balkon—menatapku dengan tatapan ngeri.
Entah apa yang mereka lihat dari atas sana, tapi itu membuat wajah mereka tercengang—setercengang itu sampai-sampai mereka lupa memikirkan kalau-kalau aku akan tersinggung diberi tatapan seperti itu.
Hawa panas yang kurasakan semenjak berjalan dari depan gang yang kulewati sebelumnya masih menjalar di permukaan kulit punggungku. Aku lupa, seharuanya kutanyakan juga pada Kak Bimo soal ini. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan 'dia' yang mengikutiku?
Bulu kudukku seketika berdiri.
Apa mungkin... mereka semua saat ini sedang melihat 'dia'?
Aku menelan ludah. Akhirnya memutuskan untuk menghindari tatapan mereka. Aku berjalan menaiki tangga—sadar betul mereka masih memperhatikanku bahkan sampai aku membuka pintu kamar. Namun aku memutuskan untuk mengabaikannya demi kewarasanku sendiri.
Setelah pintu terbuka, cepat-cepat aku masuk kedalam dan membanting pintunya.
Dibalik pintu aku terdiam. Nafasku terengah. Aku menyalakan lampu dan berjalan pelan menuju jendela yang tirainya sengaja tidak kubuka. Aku mengintip ke balik tirai itu dan terkejut dengan apa yang kulihat.
Ada banyak sekali orang di sana, semuanya berkumpul di sekitar kamar perempuan aneh di seberang kamarku. Semuanya terlihat seperti sedang melaksanakan kegiatan rohani atau sejenisnya—karena kebanyakan mereka memakai mukena dan atribut ibadah lainnya. Aku sangat penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan, tapi dari dalam sini tidak ada satupun percakapan mereka yang terdengar.
Meskipun samar-samar telingaku bisa menangkap sesuatu. Hanya satu suara.
Suara itu—suara teriakan melengking dari perempuan itu yang sangat kukenal karena aku sudah mendengarnya beberapa kali selama tinggal disini.
Apa Ibu Kos tahu apa yang sedang terjadi disini? Cepat-cepat aku merogoh ke dalam tasku, mencari nomor Ibu Wati. Terakhir kali kulihat ia seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan perempuan ini—tapi setidaknya aku harus memberitahunya tentang apa yang sedang terjadi saat ini.
Aku memijit tombol dial, lalu menunggu nada sambung.
Lalu setengah terkejut kulihat Bu Wati keluar dari sana—dari kamar itu dengan tergesa-gesa. Dengan reflek akupun mematikan teleponku.
Rupanya Bu Wati juga sedang terlibat dalam apapun yang sedang terjadi disana—yang berarti adalah sesuatu yang mungkin cukup serius.
"AAAAAAAAARRRRGGGHHHHHH!!!!! HHHHHRRRRRRRR...!!!" Suara itu terdengar lagi. Meskipun kali ini ada yang berbeda.
Kali ini teriakan itu bercampur kesakitan... ketakutan... dan geraman.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi disana?
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...