Aku menelan ludah, berusaha bersikap tenang. "Terus, papa kakak bilang apa lagi?"
"Dia bilang sebenernya kamu lebih kuat," jawab Kak Manda, menyuarakan kembali apa yang Kak Bimo pernah katakan padaku. "Tapi saat ini kamu masih gak tahu cara menghadapinya. Kamu masih ketakutan, tapi kamu juga penasaran. Energi kamu melemah dan menguat—itu yang bikin aura yang kamu pancarkan semakin 'menyenangkan' untuk mereka."
Aku mendesah tertahan. "Jadi... aku harus gimana, Kak?"
"Kamu harus mengenali diri kamu sendiri... kamu harus caritahu apa yang sedang terjadi sama kamu, dan, kalau kamu sudah tahu, kamu akan tahu cara menghadapinya." jelas Kak Manda.
Bagaimana caranya aku mencari tahu tentang hal-hal seperti ini? Aku benar-benar bingung, bahkan tak terpikir langkah apa yang pertama kali harus kulakukan. Akupun menatap Kak Manda dengan penuh harap. "Papa Kakak jarang datang ke Bandung ya?"
"Nggak, papa kan sibuk kerja di Jakarta."
"Kalau nggak... gimana kalau coba datang ke Kiyai atau Ustadz gitu?" saran Kak Farah, disambut anggukan Kak Manda.
"Iya. Papaku juga bilang begitu. Bukan berarti ibadah kamu belum bagus, tapi lebih ke supaya kamu bisa dapat saran yang lebih dalam aja sih buat ngadepin masalah kamu, terutama dari sudut pandang agama."
Ingatanku kembali ke omongan Adi yang sempat menyarankan hal yang sama—waktu itu kutepis sarannya mentah-mentah karena aku masih belum sepenuhnya percaya bahwa yang kualami ini berhubungan dengan mereka yang tak kasat mata.
"Iya," Aku pun mengangguk pelan. "sepertinya aku akan coba, Kak."
***
Aku berjalan dengan gontai menuju pintu kamarku—baru saja hendak mencari kunci ketika mataku menangkap sosok Ibu Wati, yang kelihatannya sedang bersih-bersih di kamar seberang. Kamar perempuan yang menurut apa yang tak sengaja kudengar dari percakapan Bu Wati sering dirasuki 'jurig'. Yang membuatku aneh, kelihatannya kamar itu sedang berusaha dikosongkan—karena beberapa sisa barangnya teronggok begitu saja diluar.
Besarnya rasa penasaran membuatku langsung menghampiri Bu Wati. Ketika aku sampai, benar saja, kulihat seisi kamar itu sudah kosong melompong.
"Ibu?" sapaku, yang seketika membuatnya terperanjat kaget. "Maaf..." aku tersenyum. "Ini kamarnya kok kosong? Yang nempatin pindah?"
"Iya, Neng... Neng Riska akhirnya pindah. Baru tadi pagi keluarnya, ini sisa barangnya mau ada yang ngangkut katanya besok."
Riska. Sudah hampir masuk dua bulan aku tinggal di rumah kos ini, dan ini adalah pertama kalinya aku mendengar nama perempuan itu.
"Katanya dia sudah tidak kuat, Neng... mungkin tempat ini tidak cocok buat dia. Banyak 'penghuni' yang bikin dia terganggu. Kalau kita yang normal-normal saja sih, gak ngerasain apa-apa ya, Neng." ia tersenyum selintas. Seandainya ia tahu kondisiku saat ini mungkin hampir sama buruknya dengan Riska saat itu. Tapi aku hanya mengangguk saja, tidak ada alasan untuk mengeluh pada Bu Wati dan membuatnya khawatir.
"Tapi Ibu bersyukur juga sih... soalnya semenjak Neng Riska di sini, kondisi kosan jadi tegang. Setiap hari jadi mencekam... kalau lewat dari maghrib tidak ada yang berani keluar. Apalagi kalau dia sedang digangguin dan teriak-teriak," tambah Bu Wati, sambil membayangkan sesuatu dan bergidik karenanya. "Semoga saja di tempat yang baru dia baik-baik saja dan betah ya, Neng."
"Iya, Bu," aku mengamini. Aku baru saja berniat pamit padanya, ketika tiba-tiba teringat sesuatu. "Bu... Pak Ustadz yang mengobati Riska tempo hari... ibu punya nomor kontaknya?"
Bu Wati menggeleng. "Gak punya, Neng. Itu teman-teman kampusnya yang bawa. Ibu juga gak punya nomor teman-temannya."
Aku mendesah kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...