Penghuni Kantor

274 23 0
                                    

Selama beberapa detik pikiranku membeku, aku tidak sadar dengan apa yang baru saja terjadi.

Tubuhku masih terduduk di lantai. Aku masih setengah shock dan bingung. Mulutku menganga dan mataku terpaku menatap ke depan.

Di hadapanku, pintu ruangan penyimpanan masih terbuka lebar. Tidak seperti biasanya, lampu ruangan itu mati. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi—terakhir kali aku meninggalkan ruangan itu kemarin sore, lampu ruangan itu masih dalam keadaan menyala. Sekalipun aku tidak pernah lupa untuk tetap membiarkannya seperti itu, seperti pesan Kak Amanda padaku.

Siapa yang melakukan ini?

Dengan lutut gemetaran aku berusaha bangkit. Kendati saat ini untuk bisa berdiri tegap saja rasanya sulit sekali—ditambah lagi seluruh badanku terasa panas membara dan udara di sekitar begitu pengapnya sampai seakan mencekikku.

Jantungku masih berdetak cepat ketika kakiku melangkah pelan, menuju ke pintu itu. Aku takut, benar-benar takut kejadian tadi akan terulang lagi—aku takut ada sesuatu yang tak kasat mata yang mendorong tubuhku sampai tersungkur ke lantai lagi.

Namun dengan berbekal semua doa yang kutahu yang sedang kurapalkan di dalam benakku, aku masuk ke dalam ruangan itu. Aku mencari sakelar, memejamkan mataku, lalu menyalakan lampunya.

Butuh waktu lima detik yang panjang sampai aku bisa mengumpulkan keberanian untuk membuka mata. Hatiku bersiap-siap kalau-kalau di hadapanku tiba-tiba nampak sosok 'makhluk' yang mendorongku barusan.

1... 2... 3... kedua mataku terbuka.

Tidak ada apa-apa disana. Aku mendesah lega.

Namun di dalam hati aku tak berhenti berdoa. Pasalnya, panas membara yang menjalar di seluruh tubuhku belum hilang juga. Dan nafasku—rasanya makin lama makin tercekik.

Aku berusaha kuat. Berusaha melawan apapun yang sedang kurasakan saat ini. Kupikir kalau aku kuat berdoa, kupikir kalau aku tak terlalu menghiraukannya, mungkin semua gangguan ini akan hilang dengan sendirinya.

'Separah apapun yang nempelin lo ini gangguin lo terutama saat lo ibadah, lo harus lawan. Jangan sampe terpengaruh. Karena kalau sampe iman lo goyah, ya dia menang. Dia bakal lebih mudah ngapa-ngapain lo. Lo harus lebih kuat dari dia.'

Berbekal kepercayaan akan kata-kata itu, kututup pintu ruangan penyimpanan, menguncinya, lalu masuk ke dalam ruanganku.

Aku duduk di mejaku sambil menarik dan membuang nafas. Berusaha menenangkan diriku. Berusaha mengabaikan fakta bahwa udara di sekitarku tidak senyaman biasanya.

Semuanya baik-baik aja, Je, pikirku. Gak ada apa-apa.

Tepat pada saat itu, sebuah chat masuk ke ponselku. Rupanya dari Kak Farah.

[Jasmine, aku, Manda sama Irwan otw kantor ya.]

Hatiku seketika merasa tenang. Syukurlah mereka akan datang. Syukurlah, aku tidak akan menghabiskan hari ini sendirian di tempat ini. Dengan cepat aku mengetik balasan, 'okay, Kak. Hati-hati, ya.'

Saat ini, sudah bertekad bulat untuk menceritakan apa yang terjadi pada mereka. Tapi tidak sekarang. Tidak lewat chat. Tidak saat aku masih sendirian.

Aku melangkah ke jendela, membukakan semua jendela sehingga udara segar masuk. Aku menyalakan komputer. Berusaha kembali memfokuskan pikiranku pada pekerjaan yang belum kuselesaikan kemarin.

Namun sesuatu tiba-tiba mengejutkanku.

Drap, drap, drap...

Suara derap langkah berlari begitu jelas kudengar di luar sana. Tepat di luar ruanganku. Mulanya keras, lalu langkah itu terdengar menjauh.

Aku tahu benar tidak ada seorang manusia pun di tem selain aku

Baru saja aku hendak menekan segala rasa takut di dalam hatiku—berusaha berpikir kalau mungkin suara yang kudengar itu hanya delusi yang dihasilkan oleh otakku yang sedang ketakutan—ketika suara derap langkah itu kembali terdengar.

Drap, drap, drap...

Aku menahan nafas ketika menyadari bahwa suara itu terdengar dari jauh, kemudian mendekat. Ke arah pintu ruanganku.

Dudukku mengkeret. Pikiranku sudah dipenuhi dengan bayangan yang tidak-tidak. Aku berdoa semoga pintu itu tidak menggeser terbuka dengan sendirinya—terlebih lagi jangan sampai aku melihat sosok apapun yang menyembul di baliknya.

Saking takutnya, aku kembali menutup kedua mataku.

Suara langkah itu sedikit demi sedikit menghilang. Namun seperti sebelumnya, panas itu membakar lagi. Kali ini lebih parah, di beberapa bagian punggungku rasanya seolah sedang ada luka nyata yang menganga—perih sekali.

Aku lelah. Ingin menangis rasanya. Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus aku yang mengalaminya? Aku tidak kuat. Aku harus bagaimana?

Semua pertanyaan itu berputar-putar di benakku, sampai rasanya kepalaku mau meledak. Tanpa kusadari pelan-pelan nafasku semakin sesak. Aku berlari ke jendela, berusaha menghirup udara dari luar.

Tapi tidak ada sedikit angin pun yang terasa di permukaan wajahku. Rasanya seolah jendela itu pun dibatasi dinding yang tak kasat mata dari dunia luar.

Aku mundur pelan-pelan, menghirup nafas kuat-kuat, namun tidak ada yang masuk. Tidak ada udara yang masuk ke lubang hidungku!

Aku memegangi dadaku dengan panik. Otakku bahkan tak mampu lagi berpikir apa yang sedang terjadi. Kepalaku pening. Langkahku terseret-seret menuju pintu.

Di punggungku—rasanya ada sesuatu yang sangat berat. Berat... dan mencekik.

Dan lebih parahnya lagi, 'dia' akhirnya berbisik di telingaku:

"Hihihihihi..."

"Astaghfirullahaladzim!" ucapku spontan dengan suara lirih. Pelatuk telah ditarik—tak ada lagi alasan bagiku untuk melawan. Serangan kali ini benar-benar sudah melewati batas yang bisa kutahan. Aku ketakutan setengah mati hingga seluruh tubuhku gemetar hebat dan keringatan.

Tanpa pikir panjang kuambil ponsel dan tasku. Terbirit-birit aku berlari meninggalkan kantor. Tidak ada pintu yang ku kunci kecuali pintu utama—itupun dengan kecepatan yang luar biasa. Aku sudah tidak bisa berada disana lagi. Bagaimanapun caranya aku harus menjauhi tempat itu.

SAYUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang