Ibu

386 31 1
                                    

"Je?" suara Ibu mengejutkanku.

"Ya?"

"Kamu ini kenapa sih Je ... ibu perhatiin akhir-akhir ini banyak melamunnya?" tanya Ibu yang duduk di kursi meja makan di sebelahku dengan nada khawatir. Ia mengusap bagian kulit di bawah mataku. "Lihat nih, kantung mata kamu jadi hitam begini. Kayak orang tua aja."

Aku memegang tanganya lembut, lalu menurunkannya dari wajahku seraya tersenyum simpul. "Gak apa-apa kok, Bu ..." hanya itu jawabanku. Aku paling tidak ingin membuatnya cemas, apalagi dengan mengatakan kalau aku sedang banyak pikiran.

"Ya sudah, kalau gitu cepat makan tuh makananmu, nanti keburu dingin," ujarnya lagi, sambil menunjuk sepiring nasi dan lauk yang nyaris belum kusentuh.

Hatiku sendiri sebenarnya mulai cemas. Semenjak pulang dari Bandung, segala sesuatu dalam hidupku rasanya tidak berjalan seperti biasanya. Aku mulai kesulitan tidur—jika malam tiba, pikiranku selalu dipenuhi oleh kegelisahan. Aku mulai mendengar suara-suara aneh dan bayangan hitam yang kulihat di rumah Wina masih sering muncul saat aku memejamkan mata. Aku juga selalu terbangun di tengah malam karena mimpi-mimpi buruk.

Aku bukan orang yang percaya kepada hal-hal yang berbau takhayul, jadi aku tahu yang kualami ini kemungkinan besar hanya karena stress atau semacamnya.

Masalah perselingkuhan Adi memang masih sedikit banyak memengaruhiku. Pesan-pesan dan telepon darinya bahkan seringkali kuabaikan karena aku merasa risih. Kadang aku merasa sedikit bersalah karena memperlakukannya seperti itu, padahal ia sudah banyak sekali berubah dan sikapnya sudah jauh lebih baik kepadaku. Tapi ... entahlah. Mungkin luka di hatiku yang paling dalam masih menganga.

Tapi, sebenarnya bukan itu saja masalahku.

Belakangan ini, aku mendengar kalimat-kalimat tidak enak dari mulut tetangga. Mereka tahu sudah beberapa waktu lalu aku lulus kuliah, namun sampai sekarang aku belum juga dapat pekerjaan. Setelah lulus aku malah masih hidup bergantung pada orangtua, sedangkan kebanyakan anak seusiaku di daerah sini sudah bisa mengirim sedikit banyak uang kepada orangtuanya, bahkan tak sedikit yang sudah sukses jadi pengusaha atau karyawan di perusahaan-perusahaan besar.

Aku jadi merasa seperti benalu.

"Jangan kecil hati." begitu kata Ibu waktu itu—waktu aku baru tahu dari salah satu teman sebayaku yang tinggal di dekat rumah soal omongan yang beredar tentang diriku, yang langsung kuceritakan padanya. "Rejeki orang kan beda-beda, datangnya juga tidak bersamaan. Yang penting kamu usaha terus cari kerja."

Bukannya aku tidak berusaha, aku sudah menaruh lamaran di beberapa perusahaan dan mendapat panggilan kembali dari mereka. Tapi entah bagaimana aku selalu gagal di tahap akhir. Ini sudah terjadi berkali-kali, saking seringnya aku sampai berpikir kalau ini janggal. Tapi aku tidak dibesarkan menjadi orang yang mudah menyerah. Aku mengirimkan lebih banyak lagi CV ku ke berbagai macam perusahaan, ke divisi-divisi mereka yang memungkinkan. Aku tahu sebentar lagi pasti doa-doaku dijawab Tuhan.

Aku melirik jam dinding, sudah pukul 9 malam. Ibu baru saja menghabiskan sendok terakhir makan malamnya. Ayah dan adikku sudah pergi ke kamarnya masing-masing, biasanya aku dan Ibu selalu tidur paling malam. Kami akan berbincang-bincang dulu sambil menonton televisi setelah makan malam.

Ibu bangkit berdiri, hendak membawa piring kosongnya ke dapur. "Kepala Ibu agak pusing, nih. Ibu ke kamar duluan gak apa-apa ya?"

"Loh, Ibu kenapa?"

"Gak apa-apa kok, cuma pusing biasa. Kamu harus habiskan makannya, ya." Ibu sedikit melotot.

Aku mengangguk. Menyendok suapan besar nasi dan memasukkannya ke dalam mulutku. "Langsung istirahat aja, Bu," saranku, yang disambut dengan anggukan Ibu.

Aku membuang nafas panjang, lalu menyendok lagi makananku agar cepat habis. Padahal, malam ini banyak sekali yang ingin kubicarakan dengan Ibu. Tentang semua kekhawatiranku, tentang mimpi-mimpi burukku, tentang hal-hal aneh yang belakangan ini terjadi...

Sekitar sepuluh menit kemudian, makanan di piringku baru habis. Padahal aku merasa aku sudah makan cepat-cepat. Sepertinya selera makanku benar-benar sedang hilang.

Ketika hendak berjalan ke dapur, seketika aku merasakan hawa panas di bagian tengah punggungku. Langkahku seketika terhenti. Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi. Kira-kira dua hari yang lalu, aku pernah tidak tidur semalaman karena punggungku terasa panas dan panasnya tak mau hilang hingga pagi.

Kenapa ya sampai panas begini? Tanyaku dalam hati. Kalau ini demam, harusnya panasnya bukan di bagian punggung saja bukan?

Aku terus memikirkannya sambil berjalan ke arah kamar. Begitu sampai, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Pintu kamar yang berada di seberang kasur kubiarkan terbuka. Panas di punggungku mulai menjalar kemana-mana dan membuatku keringatan.

Aku berusaha sekuat mungkin mengabaikannya. Kalau aku rasa-rasa terus, bisa-bisa aku tidak bisa tidur lagi malam ini.

Tanganku meraba-raba meja, mencari-cari ponselku, lalu mengeceknya. Lalu sesuatu membuatku terkejut sampai terduduk.

Seniorku di kampus dulu mengirimkan pesan, banyak sekali. Isinya menanyakan apa aku sudah mengecek emailku. Ada kabar baik, katanya. Aku langsung berpikir kabar baik itu pasti ada hubungannya dengan lamaran kerjaku di perusahaannya. Senyum langsung mengembang di wajahku, aku langsung mencari ikon aplikasi email di ponselku dan benar saja, ada pesan baru.

Namun saat baru saja akan membukanya, tiba-tiba ponselku mati.

"Sial! Kenapa sampai lupa ngecas, sih!" keluhku pada diri sendiri. Aku langsung kelimpungan, mencari-cari charger ponselku ke seluruh ruangan. Tapi aku tidak bisa menemukannya dimana-mana.

Di tengah kebingungan, tiba-tiba aku melihat Ibuku berjalan tepat di depan pintu kamarku, ke arah toilet. Aku langsung ingat, biasanya Ibu yang paling sering meminjam chargerku. "Bu! Ibu! Ibu, tunggu!" panggilku buru-buru.

Ibu tidak menjawab. Langkahnya gontai. Sepertinya ia setengah mengantuk namun  terpaksa bangun karena ingin ke toilet.

"Ibuuu!" Aku langsung beranjak dari dudukku ketika sosoknya sudah tak terlihat dari balik pintu, hendak mengejarnya supaya tidak keburu masuk ke toilet. "Ibu lihat charger—"

Kata-kataku terhenti ketika melihat pintu toilet membuka. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Ibu tidak ada dimanapun. Padahal aku bersumpah yang kulihat tadi itu Ibu. Aku sama sekali tidak bermimpi!

Sebegitu terkejutnya, aku berdiri mematung disana sekian lamanya. Sampai tiba-tiba suara deritan pagar depan mengejutkanku.

Tanpa pikir panjang aku berlari menuju pintu depan. Kakiku lemas melihat Ibu yang baru saja datang dengan menenteng kantong keresek kecil. Ibu kelihatan terkejut melihatku yang berdiri dengan terengah-engah di ambang pintu.

"Loh, kamu belum tidur? Ngapain diluar?"

"Bu ... ibu abis darimana?"

"Dari warung, Ibu gak kuat sakit kepala tadi. Obatnya habis, jadi Ibu langsung cepat-cepat beli ke warung mumpung belum tutup," jawabnya. "Kenapa?"

Bahuku terkulai lemas. Aku menelan ludah, menenangkan diriku yang setengah ketakutan. "Ng ... gak. Gak apa-apa, Bu."

SAYUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang