Pukul 3 Pagi

303 22 0
                                    

Saat itu juga, tengkukku merinding. Gamblang sekali Teh Rani ini. Soal makhluk yang mengikutiku, aku tentu sudah tahu. Tapi kalau tiba-tiba diperjelas begitu, sia-sia sudah usaha kerasku untuk mengabaikannya selama ini.

Dan lagi... apa maksud Teh Rani dengan makhluk ini adalah 'kiriman'? Apakah maksudnya... ada seseorang yang mengirim 'itu' untuk mengusik hidupku? Tapi siapa? Kenapa? Apa tujuannya?

Begitu banyak pertanyaan mengambang di otakku. Entah bagaimana aku tidak berani mengutarakannya pada Teh Rani—karena aku terlalu takut mendengar jawabannya.

"Kamu nggak mau tanya bentuknya?" tanya Teh Rani, menanggapi kediamanku.

Aku menggeleng.

"Dia yang menjaga kamu juga," Teh Rani mengarahkan dagunya ke bahu kananku. "kamu nggak mau tahu bentuknya?"

"Nggak, Teh. Aku... masih belum siap ngebayanginnya."

Teh Rani tertawa. "Kamu harus mengerti... kalau Teteh frontal begini tujuannya ya supaya kamu terbiasa. Supaya kamu lama-lama gak takut lagi." ujarnya. "Teteh juga dulu begitu. Berusaha gak melihat, berusaha gak membayangkan, berusaha gak memikirkan. Tapi makin teteh berusaha, semakin parah juga mereka mengganggu teteh. Jadi jalan satu-satunya ya diterima, dihadapi."

Yang benar saja, pikirku. Sampai kapanpun aku tidak akan terbiasa dengan hal-hal seperti ini.

"Teh... apa teteh tahu siapa yang melakukan ini sama aku?" tanyaku ragu-ragu.

Teh Rani terdiam sebentar. Ia memejamkan matanya, keliatannya sedang berusaha fokus untuk mendapatkan sesuatu. Lalu tak lama, kedua matanya terbuka. "Kamu punya pacar, ya?"

"Iya."

"Maaf... tapi, ada perempuan yang suka, ya, sama pacar kamu?"

"Hmm... iya." aku mulai gugup. Bagaimana ia bisa tahu? Dan, kenapa pembicaraannya tiba-tiba mengarah kesini?

Teh Rani menanggapi jawabanku dengan anggukkan pelan. "Kamu... pernah berbuat sesuatu sama  perempuan itu sampai dia bisa sakit hati sama kamu?"

Pertanyaan itu membuatku terdiam cukup lama, otakku berpikir keras. "Gak tahu... tapi aku gak pernah merasa begitu." jawabku. Teh Rani hanya menganggukkan kepalanya lagi, tidak bicara apapun, namun entah bagaimana aku merasa tatapannya penuh arti. Setelah itu, aku terhenyak sendiri karena baru menyadari sesuatu. "Teh... apa perempuan itu yang melakukan semua ini?"

"Siapa lagi." jawab Teh Rani.

KLATAK! Tiba-tiba sebuah bunyi dari arah lemari baju mengagetkanku. Sudah lama ini tidak terjadi, namun pintu geser lemari itu entah sejak kapan terbuka lagi—padahal aku bisa ingat dengan jelas kalau aku tak pernah meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Suara tawa Teh Rani pun terdengar dari layar ponsel, membuyarkan lamunanku.

"Ada yang mau ngajak saya kenalan rupanya. Teman kamu banyak juga, ya," ujarnya. "Coba switch kameranya."

Aku pun menukar gambar kamera, agar teh Teh Rani bisa melihat pemandangan di hadapanku.

"Gerakin pelan-pelan." pinta Teh Rani. Akupun menuruti kata-katanya, sampai ia bilang, "Stop disitu."

Sekarang, gambar lemari terekam di layar ponselku. Tengkukku merinding lagi. Sejak tadi, aku tidak menyebut apapun soal lemari. Aku hanya memikirkannya. Tapi sepertinya Teh Rani tahu sesuatu tentang lemari itu. Aku menunggu komentarnya dengan sedikit berdebar. "Apa ada yang teteh lihat?"

"Iya. Itu, tepat di sudut dekat pintu lemari yang terbuka," jawabnya, lalu ia mengatakan sesuatu yang tak akan pernah kulupakan. "Satu perempuan, satu laki-laki. Mereka sudah ada di tempat ini sejak lama. Tapi gak jahat kok. Biasanya mereka berdiri saja disitu mandangin kamu. Kayak sekarang."

***

Mataku masih lekat terpejam. Tapi suara-suara itu datang lagi, berisik sekali memenuhi isi kepalaku. Suara-suara yang terasa sangat nyata, bergema dan sesekali berdengung hingga terasa di telingaku.

Tidurku gelisah. Aku memutar tubuhku ke kanan dan ke kiri, tapi tak bisa menemukan posisi yang pas. Udara rasanya begitu panas meski aku memakai baju tipis dan kipas anginku menyala di putaran paling kencang.

Itu, dan suara-suara bising di kepalaku akhirnya sukses membuatku terbangun. Suasana di kamarku remang-remang seperti biasanya, satu-satunya sumber cahaya adalah dari televisi yang kubiarkan menyala, namun kumatikan suaranya. Kugapai ponsel di samping bantalku.

Seperti biasa, aku terbangun tepat di pukul 03.00 pagi.

Aku mengelap keringat di keningku. Saat terbangun, suara-suara di kepalaku itu langsung hilang. Tapi tidak dengan hawa panas yang kurasakan. Apakah udara di kamar ini memang sepanas ini, ataukah... panasnya memang menguar dari tubuhku?

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Mengucap istighfar dan berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal yang membuatku takut. Setelah berbicara dengan Teh Rani, sebelum tidur tadi aku tak bisa melepaskan pandangan dari sudut lemari, dan aku juga berusaha menahan hasrat untuk menengok ke sebelah kiri—takut kalau-kalau aku akan melihat 'makhluk' itu. Aku jadi sangat paranoid. Mungkin itu sebabnya tidurku juga jadi tidak nyenyak.

Aku mengalihkan perhatianku kembali ke ponsel. Ada pesan dari Adi yang belum kubaca karena malam tadi aku sudah tertidur. Aku sempat mengirim lagi pesan padanya, menceritakan secara singkat tentang apa yang dikatakan Teh Rani padaku. Termasuk tentang Gita, meski aku tahu ia pasti tak akan percaya.

Tapi anehnya, ia tidak mengatakan apapun tentang hal itu. Ia hanya membalas:

'Besok kan libur, kamu ikut aku. Aku punya kenalan Ustadz yang mungkin bisa bantu kamu. Aku jemput jam 9 ya. Nanti pagi abis bangun langsung siap-siap.'

Baru saja aku memasang alarm, lalu meletakkan kembali ponselku untuk kembali tidur karena tidak seperti hari-hari weekend biasanya, besok aku harus bangun lebih pagi. Namun tiba-tiba, aku mendengar suara-suara diluar.

"Pasti kucing si ibu lagi," gumamku kesal. Ini biasa terjadi setiap malam, kucing liar yang dipelihara Bu Wati memang sering patroli untuk mencari makanan di tong-tong sampah kecil di luar setiap kamar kos. Biasanya, setiap pagi aku harus membereskan tong sampahku yang isinya sudah berserakan di lantai. Di lingkungan rumah kosanku, tak pernah sekalipun kulihat kucing lain selain kucing Bu Wati. Jadi, dia pasti pelakunya.

Aku bangun dari tempat tidurku dan berjalan pintu. Berniat mengusir kucing itu dan mengikat plastik sampahku agar ia tak bisa mengacak-acaknya.

"Husss!" hardikku. Benar saja, ketika aku keluar, kulihat kucing Bu Wati sedang berusaha mencari-cari sesuatu di tong sampahku. Saat kuusir, dengan cepat ia berlari menjauh. Akupun mengikat plastik sampahku dengan dua ikatan kencang. "Dengan gini kamu gak akan bisa bongkar-bongkar lagi, kucing nakal!"

Akupun kembali masuk dan mengunci pintu. Namun belum sampai semenit aku berbaring sambil memejamkan mata, suara-suara diluar kembali terdengar. Kali ini lebih ribut. Duk, duk, duk! Kudengar pintu kamarku diseruduk oleh kepala kecil kucing itu. Pasti ia ingin mencoba masuk, pikirku. Secepat kilat aku berlari ke pintu.

"Hei ka—" hardikanku terputus ketika melihat kucing itu tidak ada disana. Cepat sekali perginya, padahal jarak antara terdengarnya suara itu sampai aku keluar untuk mengecek terbilang hanya hitungan detik.

Tong sampahku sudah dalam kondisi terguling dan plastik sampahnya keluar dari posisi awalnya, mesti isinya tidak berserakan karena tadi sudah kuikat kencang. Akupun menggeram kesal. Besok harus kuceritakan hal ini pada Bu Wati, supaya kucing itu dibiarkan diluar lingkungan kosan saja kalau malam tiba.

Namun betapa terkejutnya aku ketika tak sengaja kulihat kucing Bu Wati di lantai bawah. Kupikir ia masih ada di sekitar lantai dua, karena tidak mungkin dalam waktu beberapa detik saja dia sudah berada di sana—kecuali kalau kucing itu lompat dari balkon dengan jarak setinggi ini.

Tiba-tiba kucing itu mengeong, beberapa kali mengeong keras sambil melihat ke atas.

Ke arahku.

SAYUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang