[Je, hari ini masuk, kan?]
Pesan WhatsApp itu telah sampai sejak sepuluh menit yang lalu dan aku belum juga menuliskan balasannya. Jam masuk kantor sudah terlewat lebih dari tiga puluh menit. Kak Farah adalah seorang atasan yang pengertian dan akrab dengan karyawannya, apalagi denganku. Namun, aku tahu bahkan ia pun memiliki batas kesabaran.
Terhitung sudah dua kali dalam minggu ini aku tidak datang ke kantor, belum lagi jika menghitung minggu-minggu sebelumnya di mana absenku juga banyak tanda merah.
Saat tidak masuk kerja, hariku dihabiskan dengan berbaring seharian di tempat tidur. Hanya bermain social media—melihat-lihat instagram dan membaca thread seru di twitter, tidur siang, menonton acara di televisi ... semua itu terus berulang. Ibadah puasa Ramadan masih kulakukan meskipun setengah hati. Tapi untuk salat ....
Suara azan yang berkumandang tiba-tiba mengagetkanku. Ah, sudah pukul segini rupanya? Kenapa waktu cepat sekali berlalu?
Lubuk hati yang terdalam rasanya ingin menganggapnya angin lalu, meski sebagian dari diriku menentangnya keras-keras. Saat ini, suara azan tidak lagi membuatku tergerak untuk sesegera mungkin mengambil air wudu dan bersimpuh kepada-Nya. Biasanya aku menunda dengan dalih kalau aku akan melakukannya sepuluh menit lagi, setengah jam lagi, satu jam lagi ... tapi seringkali akhirnya aku lupa dan waktu salat sudah terlewat.
Aku sadar, rasa paranoid karena kejadian saat salat Isya tempo hari telah mengacaukan imanku. Sebegitu kacaunya, hingga untuk beribadah saja aku ketakutan setengah mati.
Berusaha mengalihkan pikiran, cepat-cepat kubuka pesan dari Kak Farah dan menekan tombol balas. Ini sudah terlalu siang, lebih baik tidak perlu masuk sekalian.
[Kak, maaf, aku baru ngabarin. Kayaknya hari ini aku ijin gak masuk dulu, kak. Badan masih lemes buat bangun aja susah.]
Selesai mengirim pesan, aku berdiri untuk pergi ke toilet. Namun, belum sempat mencapai pintu, tubuh ini limbung hingga aku harus bertumpu ke pintu lemari. Kupejamkan mata sejenak. Hal ini sudah biasa terjadi. Sejak beberapa minggu terakhir, tubuhku rasanya begitu lemah, seperti kurang darah. Pusing kepala dan demam tinggi pun sering kali tiba-tiba menyerang dalam kurun waktu satu bulan terakhir.
Terakhir demam itu datang, Adi merawatku dengan sabar—datang pagi sebelum berangkat kantor untuk membawakanku sarapan, lalu kembali lagi sore harinya untuk memastikan aku baik-baik saja dan menemani hingga aku jatuh tertidur.
Sebaik apa pun Adi memperlakukanku, entah mengapa rasanya hubungan kami semakin hampa. Bahkan, kalau diingat-ingat, saat demam itulah terakhir kali aku bertemu dengannya. Berarti sudah nyaris sepuluh hari yang lalu, dan sejak itu pun aku lebih banyak tidak menggubris pesan dan telepon darinya.
Rasanya, seolah segala sesuatu dalam hidupku tak lagi ada artinya.
Aku duduk di ujung tempat tidur. Berniat diam beberapa saat hingga pusingnya berkurang, baru melanjutkan langkah menuju toilet di luar kamar.
Sambil menunggu, tangan ini tanpa sadar memijat-mijat tengkuk dan bahu. Pegal sekali rasanya. Ini sering sekali terjadi sebulan belakangan. Saking seringnya, aku sampai pergi ke dokter untuk menanyakan penyebabnya. Tapi tak ada jawaban lain yang kudapat selain, "Mungkin salah tidur saja. Coba ganti bantal yang biasa dipakai."
Aku sudah melakukan saran dokter, namun tidak ada yang berubah. Bagian tubuhku yang itu tetap terasa sakit, pegal dan berat.
Seolah seseorang tengah duduk diatasnya.
Seketika tubuhku merinding. Aku ingat salah satu film yang pernah kutonton—di dalam film itu, si makhluk halus menempel pada si tokoh utama, dengan duduk diatas bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYUNI
Horror-BASED ON A TRUE STORY- Aku tersenyum tipis padanya, tapi dia tidak tersenyum balik padaku. Tepat di saat itu aku sadar, bahwa dia tidak sedang menatap ke arahku. Memang sekilas pandangan kami seakan bertumpu. Tapi ternyata, bukan aku yang ia lihat...