chapter 3

4.4K 260 9
                                    

Flat tempat Tanaya dan Livian tinggal terdiri dari 5 lantai. Mereka menempati lantai ke 5. Yang diberi nomor 53. Ruangan itu hanya terdiri dari dua kamar tidur. Satu dibawah didekat kamar mandi. Satu lagi mereka sebut ruangan atas. Karena untuk menuju keatas sana terdapat beberapa anak tangga. Tidak terlalu tinggi. Seperti lantai dua pada umumnya. Satu ruang makan yang dibatasi dengan lemari besar menjadi sekat langsung terhubung dapur. Satu ruang tamu merangkap ruang nonton. Tak ada yang istimewa dalam flat  tidak terlalu besar itu. Namun cukup nyaman ditempati untuk dua orang.

Suara tv mendominasi ruang kedap suara itu. Disertai suara ribut shower dikamar mandi. Sesekali terdengar suara siulan
didalam sana.

Tanaya sibuk sendiri didapur. Menyiapkan makan malam untuk dua orang. Dia cukup mahir jika menyangkut dengan dapur. Tinggal berdua saja dengan pria super sibuk. Buat dia harus mandiri dan pintar masak. Untuk menimalisir pengeluaran.

Livian keluar dari kamar mandi hanya mengenakan celana pendek, sementara dadanya dibiarkan terbuka. Seakan handuk putih yang melilit lehernya tak berguna. Rambut hitam slick back itu tampak tak rapi. Sebagian menutup mata kiri Livian. Namun Tanaya mengakui kakaknya terlihat sexi dan maco dengan kulit coklat yang diturunkan mommy asal indonesia. Perasaan kulitnya tak secoklat itu. Aaaah... Tanaya
kangen mommy..

“Kenapa indonesia jauh banget...?” iseng Tanaya bertanya. Dalam bahasa yang diajarkan mommy.

“Aaahh... kenapa Jenny jauh banget...?” lanjut Livian sama. Pria itu menghampiri meja makan. Mencomot buah apel merah berlalu cuek dan duduk santai disofa biru tua hendak menonton berita. Handuk kecil dia letak kan begitu saja di atas nakas.

Tanaya tersenyum tipis, menyodorkan sepiring spageti pada Livian yang dijawab dengan senyum simpul.

“Kenapa dia tak kerja disini saja... atau kau yang ke London?” Tanya Tanaya sambil membuka mulut hendak menyuap spagety. Sebelum menyentuh bibir secepat kilat Livian menyonggol siku Tanaya sehingga makanan itu jatuh kepiring. Tendangan ringan kekaki Livian balasannya dan dia beranjak duduk dilantai. Pria itu terbahak senang.

Livian diam sesaat menimbang “Karena siapa aku masih bertahan disini?” imbuhnya disela tawa. Dia menatap Tanaya sesaat. Mengambil serbet diatas meja dan disusapkan kemulut Tanaya. Reflek Tanaya menepis tangan pria itu. Tak ingin dikelabui lagi. Senyum simpul menghiasi bibir Livian. Adiknya makan seperti bayi.

“Bukankah itu hanya alasan? Aku bukan anak kecil. Jika kakak ingin ke London.. silahkan!!! Atau...” Tanaya menggantung  “Kau merasa tak yakin dengan hubungan ini...?” selidik. Menatap pria itu tajam. Dia harus mencari tau perasaan Livian saat ini. Serius atau masihkah ada harapan untuk Reyna.

Butuh lima menit untuk Livian habiskan spageti, kini piring itu bersih tanpa sisa begitu juga dengan Tanaya. Tanaya beranjak kedapur untuk cuci piring.

Sebotol air mineral jatuh dipaha Livian kejutkan pria itu lantaran dingin. Saat ingin minum air itu. Tanaya melakukan hal yang sama alhasil air itu mengalir kedada bidang Livian. Kedua kakak adik itu tertawa bersama. Lalu Tanaya beranjak kebalkon, mengambil kaos kuning Livian yang tergantung disana. Lemparannya sampai ke muka pria itu.

“Hei.. kau tau kak.. ini yang buat gadis gadis menyukaimu...?” Tanaya menunjuk abs Livian. Tawa Livian teredam lantaran dia berusaha meloloskan kerah baju dari kepala.

“Ini semacam aset bagi seorang pria.. dan ini juga...” dia merentangkan lima jari kearah mukanya sendiri. Cuek.

“Ngomong-ngomong... siapa Reyna?” secepat itu mengubah topik. Dia malas bahas masalah pribadi pada Tanaya. Pria itu tak tau bahwa pertanyaan itu akan menjebaknya.

Sekarang Tanaya duduk dilantai beralih keseberang meja. Mendapatkan perhatian Livian “Kenapa tak menjawab pertanyaanku. Kau mulai ragu? Atau kau merasa ini hanya sia sia. Kadang kala yang jauh dipertahankan dan dekat terlupakan...?” imbuhnya menuai rasa penasaran Livian.

“Itu lagi..” Livian mematikan Tv. Karena obrolan ini tak lagi santai. Kedua tangan menyilang ke dada. Ujung bibir terangkat “Siapa Reyna...? Sejak kapan dia mengenalku? Bagaimana bisa dia menyukaiku, padahal aku tak mengenalnya” heran Livian.

“Dia gadis bodoh yang mencintaimu selama tujuh tahun lebih” tegasnya cepat. Tanaya beranjak duduk disamping Livian... “Dia sahabatku..” ucapnya lirih.

“Lantas kenapa aku tak tau.. ?” bahu bidangnya terangkat naik seperkian detik.

Kali ini Tanaya menghembuskan napas berat.. “kau... hanya menyadari orang yang kau anggap penting disekitarmu. Dia hanya orang asing bagimu... padahal kau orang yang sangat berarti  untuknya... kau melewatkannya kak...” tegas Tanaya panjang lebar.

“Kenapa dia tak mendekatiku. Kau tau.. itu salah...” kali ini Livian memiringkan tubuh agar bisa melihat wajah Tanaya. Gadis itu melipat kaki sampai kedada. Kedua tangannya diatas lutut.

“Tak ada kesempatan... disekitarmu terlalu berisik. Buat dia tak nyaman..” Tanaya tersenyum simpul.

Mereka terdiam. Suasana sedikit canggung.

“Aku tak mengerti Naya. Jika dia mencintaiku.. harusnya dia lebih berusaha. Sehingga takdir jatuh kegenggaman tangannya.. lalu kenapa sekarang kau menceritakannya padaku. Apa yang kau harapkan? Kau tau aku punya Jenny...” Livian menggeleng pelan. Tak mengerti arah pembicaraan ini. Ini terlalu tiba- tiba. Namun terlalu lama untuk seorang Reyna.

“Apa kau mencintai Jenny kak?” tanya Tanaya.

Sesaat pria itu hanya asik memainkan remot Tv. “aku membutuhkannya...”

Tanaya sedikit lega mendengar jawaban Livian. “Kau membutuhkannya bukan berarti dia sangat beharga... ”

Livian menatap Tanaya tak percaya. Gadis itu menepuk pundak Livian pelan.
“Apa itu menyadarkanmu kak..?” senang Tanaya. Mendapati kakaknya dalam keadaan dilema.

“Setidaknya dia berusaha bersamaku.” tak yakin pria itu menatap kearah balkon. Lampu kota inggris kerlap kerlip malam itu.

“Berusaha bersama? Kenapa dia tak disini? Kenapa dia meninggalkanmu?? Bukankah itu pemberian harapan palsu..?”
Tanaya gemes.. kakaknya tak sadar hubungan ini tak bisa lagi diteruskan.

Kali ini Livian berdiri dari sofa menjabak rambutnya frustasi. Semua pertanyaan Tanaya tak bisa dijawabnya. Karena jauh didalam hati pria itu. Semua perkataan Tanaya terasa benar.
Livian kembali duduk. Tak semangat lagi. Tepukan pelan dipunggung pria itu sedikit menenangkannya.

Sunyi yang lama...

“OK.. haruskah aku mengenalnya? Reina...?” tanya Livian tiba tiba. Tanaya sungguh senang. Pelukan hangat mendarat kepunggung Livian. Cepat cepat pria itu  melepaskannya “ Hei.. ini hanya perkenalan biasa. Ok... Bukan Berarti aku meninggalkan Jenny..?” Jelasnya cepat. Sebelum tanaya merusak Mood Livian. Livian melihat mata Tanaya berkaca-kaca.

“Apa kau sebahagia itu...” herannya. Anggukan kepala Tanaya jawaban pasti. Jemari Livian mengusap kepala Tanaya. Sayang.

"Aku juga tak menyuruhmu menyukai Reina secepat itu." Katanya pelan. Sedikit lega, setidaknya ini awal yang bagus bukan.

“Bawa dia kesini...!!” sebelum Livian beranjak kekamar. Tanaya meraih tangan kakaknya.

“Maukah kau menemuinya kak..?” tatapnya penuh harap..

Bersambung
****

Nb: hai.. terimakasih udah baca karyaku. Jangan lupa bintang dan comment nya ya..
Gambar referensi pihak ketiga. Diambil dari pinterest

Reyna, How Are You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang