chapter 13

2.1K 140 1
                                    

Hari ini aku akan mendaftar di club fotographi. Karena aku suka memotret apa saja yang menurut ku menarik. ku membawa camera super canggih didalam tas. Karena itu hadiah dari Daddy.
 
Sebenarnya aku tak ingin membawa camera ini. Tapi aku tak ingin menjadikannya mubazir.
 
Anak club fotographi terlihat asik. Mereka juga ramah. Terutama kak Aland, dia menyambutku dengan tangan terbuka.
 
Saat sampai dikelas, teman tamanku terlihat ribut, semua anak berdiri didekat jendela. Tentu saja kecuali Tanaya. Padahal bel sebentar Lagi berbunyi. Aku  duduk dikursi. Dan tak melihat batang hidung Sonia pagi ini. Aku juga ikut melihat kearah sumber keributan Karena penasaran.
 
Disana, yang aku yakini Dua murid laki laki berlari dilapangan Saling bersisian Mereka tampak kecil jika dilihat dari tiga lantai. Saling kejar kejaran, mereka sama kencangnya dan sama hebatnya. Apa mereka akan mengikuti lomba lari. Aku tak tahu itu. Saat mereka mendekat kearah jendela kelasku. Teman temanku langsung menyoraki nama yang menurutku sangat familiar. Kak Livian.
 
Dia lebih unggul dari temannya yang satu lagi. Kak Livian melambaikan tangannya. Cari perhatian. Apa dia selalu sepede itu.
 
wajahnya tampak lelah, tapi dia masih semangat berlari. Dan akhirnya bel pun berbunyi menghentikan keasikan kami melihat keluar jendela.
 
Sonia tergopoh gopoh masuk kedalam kelas. Rambutnya tak serapi hari hari lalu. Tampilannya benar benar kacau.
 
“Shit.. aku telat bangun. Teman sekamarku tak mau membangunkanku.”
 
“Saudaramu...?”
 
Sonia menatapku seolah aku alien bukan dari planet bumi.
 
“Kau tidak masuk asrama sekolah...?” Bisiknya.
 
Karena Mr. Adam Memulai kuliah bahasa jermannya. Yang aku tahu guruku yang satu ini lebih suka duduk dikursinya sambil terkantuk kantuk memutar bahasa Jerman melalui tape yang sering dibawanya.
 
Aku menggeleng kecil. Sonia melalukan itu lagi. Memutar bola matanya.
 
“Inilah masa remaja kita. Masak kau ingin dikekang orangtuamu terus.” Dengusnya.
 
“Aku tak pernah dikekang tuh. Orangtuaku percaya padaku. Dan aku tak pernah macam macam.” Jawabku disela bahasa Jerman dipenjuru kelas.
 
“Waauuu. Beruntungnya orang tuamu punya anak penurut sepertimu.” Ujarnya sarkastik.
 
“Apa masuk asrama sekolah bayar...?” Tanyaku Penasaran. Jujur aku tak pernah berpisah dengan orang tuaku. Apa aku diperbolehkan masuk asrama sekolah.
 
Kulihat Sonia tengah merapikan rambutnya. Dan memoleskan lipstik pink ke bibirnya.
 
“Ada yang bayar dan ada yang gratis. Apa kau masuk sekolah dengan jalur prestasi?”
 
“Tidak...”
 
Sonia mengangguk paham “Sepintar apapun kau, kau harus jadi jenius jika ingin masuk jalur prestasi. Karena tesnya sangat susah... tapi tidak untuk kak Livian. Nah, jika kau berhasil semua fasilitas sekolah gratis.” Ucapnya riang.

Wau.. beruntungnya mereka yang masuk dari jalur prestasi.
 
“Kak Livian masuk sekolah dari jalur prestasi..”
 
“Aku dengar dari senior begitu. Itu sudah melegenda...” Katanya mengebu- gebu.

Kulihat Mr. Adam sudah masuk kedalam mimpinya. Seolah cuap cuap dari tape adalah lagu pengantar tidur. Bahkan semua murid tak mendengarkan lagi. Mereka juga mengobrol seperti kami. Namun Tanaya tidak. Dia masih sendiri dengan dunianya.
 
“Hei... kau masuk asrama saja. Dijamin seru. Kau tidak akan menyesal. Setiap malam ada saja yang membuat pesta. Kucing kucingan dengan Kepala asrama. Kemaren malam temanku Aldora membuat pesta diatap arsama...”
 
Aku tidak mengenal siapa Aldora. Mungkin temannya yang lain. Sungguh, aku sangat tertarik tinggal diasrama. Apa Mom dan Dad akan memberiku izin.
 
Saat jam istirahat kulihat kak Livian setia dibalik pantry. Menu siang ini Mashed potato, kacang polong, puding jelly. Serta roti.
 
Aku rasa kak Livian tak mengingatku. Karena ia tersenyum seperti saat ia tersenyum dengan yang lainnya. Aku sedikit kecawa.
 
Aku masih memilih tempat dimeja dimana Tanaya ada disana masih sendiri. Tapi Sonia mencekal tanganku saat dilangkah pertama.
 
“Disana saja...” tunjuknya ditempat lain. Aku terpaksa mengikuti Sonia. Oh, tuhan. Aku ingin terlepas dari rantai Sonia sedetik saja.
 
Saat Tanaya berdiri karena selesai makan. Aku Menjejalkan semua makanan kemulut cepat cepat. Buat ku tersedak. Sonia menepuk nepuk punggungku dan memberiku air.
 
Setelah itu aku bediri secara tiba tiba. Tak mau kehilangan Tanaya, aku ingin meluruskan kesalahpahaman kemaren.
 
“Kau lanjutkan saja makanmu.” meninggalkan Sonia yang menatapku heran.
 
Sampai diluar kafetaria, aku tak melihat Tanaya lagi. Apa dia ditindas lagi.
 
Kakiku berlari sekencang mungkin kearah toilet. Tapi dia tak ada disana. Sukurlah.
 
Atau, apa mungkin ditempat lain. Aku mencarinya ditempat tersembunyi. Berjalan kearah gudang sekolah. Apa mungkin.
 
Kakiku tertahan. Aku mendengar keributan dibalik gudang. Dan melangkah pelan semakin dalam.
 
Tanaya terduduk ketanah, rambutnya dijambak oleh senior yang kemaren.
 
“Hei.. wauu, kenapa kau ada dimana mana ya..?” Sentakku.
 
Kulihat mata Tanaya berkaca kaca.
 
“Seharusnya itu jadi dialogku. Kenapa kau selalu ada didekat kami ah...”
 
“Pede sekali kau kak. Aku teman gadis itu.” Aku menunjuk Tanaya yang masih terduduk dilantai.
 
Senior itu saling toleh dan tersenyum licik. Senior  berbadan agak gemuk berjalan kearahku. Ku angkat camera yang tergantung dileherku tinggi tinggi.
 
“Jangan macam macam. Aku punya bukti kuat disini.. “ ujarku bohong.
 
Secepat kilat kamera ku berpindah ketangan senior itu. Dan memberikannya pada senior rambut panjang. Dia membolak balik camera canggihku. Mencoba menghidupkannya. Namun aku tahu cameraku tak bisa dibuka. Karena aku sudah menyandinya.
 
Senior rambut keriting akan membanting cameraku.
 
“Jangan coba coba kak. karena itu seharga satu apertemen..” ujarku manakutinya. Aku tak ingin camera yang dibeli Dad hancur berkeping keping. Bahkan belum sejam aku memakainya. Aku juga tak bersikap sombong disini.
 
“Anak sekolah mana yang bawa camera mahal..” dia tidak percaya kembali mengacungkan cameraku tinggi tinggi dan akan membantingnya.

“Dia anak fotografi.” Ujar senior gendut Takut.
 
Sebelum cameraku dibanting, cepat cepat ku rebut, berhasil karena mereka lengah, dan mengalungkan lagi keleherku.
 
“Jangan coba macam macam kau ya. Ingat, kau dalam pengawasan kami...”

Telunjuknya mengarah dihidungku. Cincin berlian yang dipakainya menyilaukan terkena sinar matahari.

Setelah itu mereka berlalu dari hadapanku.
 
Tanganku terulur ingin membantu Tanaya berdiri. Kali ini Tanaya menyambutku, sedikit ramah. Dia mantap camera dileherku.
 
“Apa cameramu semahal itu...?” Tanyanya. Dan merapikan penampilannya. Kedua lututnya tergores.
 
“Tentu saja... bukan.. tapi seharga satu mobil sport..”
 
Kami tertawa karena leluconku. Tapi, aku jujur kok. Yahh, cukup aku yang tahu saja berapa harganya.
 
“Apa Lututmu baik baik saja...” Aku menunjuk lutut Tanaya yang darahnya sudah mengering. Dia mengangguk kecil.
 
“Kenapa kau tak membalas mereka..?”
 
Tanaya kembali menunduk. Bibirnya bungkam.
 
“Maksudku.. jika kau terus diam Mereka akan menjadi jadi Menindasmu...”
 
“Aku tak bisa melawannya...” jawabnya kemudian.
 
“Coba kau rangkul aku dari belakang...”
 
Tanaya menatap ku heran. Tubuhku sudah membalik, memperlihatkan punggung. Ku tatap ia dari balik bahu.
 
“Ayolah...”
 
Tanaya merangkul kedua lenganku dengan lengannya sedikit canggung, bau vanila menyenangkan menggelitik hidungku. Aku pura pura terkejut dan menabrakkan kepalaku kehidungnya. Namun hanya pelan. Dia melepaskan rangkulannya.
 
“Kau mengertikan... Jika kau melakukannya sekuat tenaga. Aku yakin hidungnya langsung patah.."
 
“Tapi itukan kekerasan..”
 
“Itu bentuk pertanan diri...” selaku cepat.
 
“Kau tidak lihat mereka bertiga. Alibi siapa yang lebih dipercaya. Sedangkan aku hanya sendiri...” bantahnya.
 
Tanaya menatapku sesaat lalu berganti menatap ujung sepatunya.
 
“Kalau begitu kau dekat dekat ku saja. Mulai saat ini kita berteman...”
 
Ku ulurkan tangan ingin bersalaman. Dia sedikit ragu namun menyambut tanganku.
 
Kami berjalan dikoridor sekolah dengan diam. Dia setia mengekoriku. Tapi aku mensejajarkan jalanku denganya. Dia tersenyum kikuk, terlihat imut.
 
Sampai dikelas Sonia menatapku seakan aku mengkhianatinya.
 
“Apa yang kau lakukan dengan Si cupu..?”
 
“Tanaya...” selaku cepat. Bahkan aku belum duduk dikursiku dia sudah mencecarku.
 
“Kami berteman...” lanjutku kemudian.
 
Dia menatapku tak suka. Dan melongos kearah lain. Sonia merapikan mejanya. Menjejalkan ssemua buku kedalam tas. Dan beralih duduk diseberang mejaku. Kebetulan Alice libur sekolah karena sakit. Dia marah padaku karena aku berteman dengan Tanaya yang benar saja.
 
“Apa kau marah denganku..?” Aku berdiri disamping mejanya. Semua temanku menatap kami dan mulai berbisik bagai sarang lebah. Aku tidak peduli. Sonia pikir aku bergantung dengannya. Aku malah bersyukur dia pindah kesana.

Dia menatap sekeliling dengan cuek. Dan kembali menatapku.
 
“Kau. Berteman dengan musuhku...” pekiknya mencari perhatian seisi kelas. Mungkin dia ingin memberitahu semua teman sekelas bahwa disini aku yang salah. Inginku jambak saja rambutnya.
 
“Apa dia berbuat salah denganmu...?” Kami seperti tom dan Jeri saja. Karena aku juga berteriak kearah Sonia. Sonia melototkan matanya kearahku.
 
“Kekasih dari laki laki yang ku sukai itu musuhku...” dia menatap Tanaya jijik seolah tanaya seonggok Kotoran.
 
“Kau...” aku geram. Tak bisa mengontrol emosiku.

“Benar kau pindah duduk kesini. Bagaimana dengan Alice..?”
 
“Aku tidak peduli..”
 
“Baik.. mulai saat ini aku juga tidak peduli..”

Melangkahlahku sedikit kedepan. Dan berhenti di meja Tanaya.
 
“Maukah kau duduk bersamaku...?”
 
Sonia terkesiap begitu juga semua murid. Aku menunggu jawaban Tanaya. Namun dia hanya menatapku dan menoleh kearah Sonia.
 
Dia tidak menjawabku. Tapi memasukkan semua bukunya dan menjejalkannya kedalam tas. Melangkah duluan ketempat dudukku. Aku tersenyum penuh kemenangan. Dan melirik Sonia setajam mata pisau.

***
Bersambung
Terimakasih udah baca ya.
Jangan lupa tinggalkan jejak.

Padang, 7 september 2019
 

Reyna, How Are You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang