chapter 18

1.9K 133 1
                                    

Hari ini hari yang melelahkan dan hari ini hari pertama aku datang bulan. Moodku dalam kondisi paling rendah. Benar benar lelah dan perutku sedikit sakit bagai dililit seribu tangan.

Namun kegiatan sekolah menyita waktuku. Apalagi klub photographi. Karena sebentar lagi kami akan mengikuti lomba foto. Jadi seharian ini kami rapat Membicarakan tema apa yang akan kami bawa untuk mengikuti lomba nanti.
 
Apalagi sekarang musim semi hampir berakhir dan berganti dengan musim panas namun udara terasa bagai kau diceburkan kedalam penggorengan panas.
 
Beruntung Tanaya teman yang sangat pengertian. Dia membantuku mengumpulkan tugas kelompok kami saat aku yang disuruh Mr. Brown. Aku sangat berterimakasih padanya.

Omong omong ulang tahunku Dua hari lagi. Aku berniat mengajak Tanaya kerumahku pada hari itu.
 
Aaahh... aduh.. bahuku ditabrak seseorang.

“HEiii.. kau bisa pelan pelan kan..?"

Semua kertas hasil rapat tadi  yang ada digenggamanku berhamburan dilantai koridor asrama. Padahal aku berniat untuk mengumpulkannya sebagai referensi buatku nanti.
 
Laki laki yang menabrakku meminta maaf dengan masih berlari menjauhiku. Tanpa bersalah sama sekali.
 
Dengan kesal ku pungut semua kertas yang bertebaran, dan ku dapati tangan seorang laki laki juga ikut memungut kertas yang jatuh sedikit jauh dari tempatku berpijak.
 
Kak Livian... Dia berjongkok didepanku, Sampai ujung jaket yang dikenakannya menyapu lantai. Pria itu tampak gagah dengan sepatu sneaker putih yang membalut kakinya serta topi bisbol yang menyembunyikan sebagian keningnya.
 
Dia memberikan semua kertas itu ketanganku. Dan tersenyum kecil kearahku.

Apa dia mengingatku...?
 
“Apa kau sakit... Rey...? Wajahmu terlihat pucat?"
 
Rey?
 
Yah. Itu nama penggilanku juga sih. Aku tidak peduli dia tahu namaku yang mana. Rey atau Reyna sama saja kan?
 
Dan kenapa dia yang memanggil namaku serasa berbeda dari yang lainnya, saat dia mengucapkannya seolah vitamin saat kau merasa drop. Bahkan sakit perutku langsung hilang.
 
“Aku tidak apa apa..”  Apa wajahku sepucat itu. Aku tak mau bertemu dengan kak Livian dalam keadaan kacau seperti ini dan aku memilih beranjak dari sana terlebih dahulu. Meninggalkan kak Livian dibelakangku.
 
“Rey.. tunggu..!!!”
 
Kak Livian menghentikan langkahku. Kenapa?
 
Dengan sedikit heran dan rasa penasaran, ku balikkan badan kearahnya. Dia memandangiku malu malu dan wajahnya semerah tomat. Dia mendekatiku perlahan, semakin dia mendekat semakin udara disekelilingku mengecil.

Apa aku akan pingsan?.

Bahkan bau parfumnya semakin menggelitik hidungku.
Jarak kami hanya sejangkal, aku tak memalingkan pandangan sedikitpun dari muka kak Livian. Dan Hei, jantungku tak mau diam.
 
Dia melepaskan jaket denim yang dikenakannya menyisakan T-shirt putih bertuliskan Ripcurl warna biru metalik dibagian dada.
 
Dia masih berdiri didepanku dengan malu malu. “Maaf...” ujarnya.
 
Dan dengan gerakan cepat dia melingkarkan jaket denim itu diseputar pinggangku dan mengikatnya disana. Setelah itu kak Livian menggaruk tengkuknya salah tingkah.
 
What...? Tidak mungkin? Jangan Jangan aku tembus?
 
“Rok mu terkena tinta merah...”
Kalimat kak Livian menggantung diudara dan telingaku langsung mendengung bagai sekelompok lebah yang marah.
 
Aku merasakan darah dikakiku naik sampai kemuka. Rasanya aku ingin menghilang ke kutub utara dan membeku disana.
 
“Hei.. Santai saja. Aku paham. Tanaya juga pernah mengalaminya..”
 
Apa... jadi dia pura pura bodoh. Tapi aku kan bukan adiknya. Aku...Gadis normal yang mulai menyukainya. Benar benar gila. Kenapa sih waktunya tidak tepat sekali.
 
Kak Livian tersenyum jail dan beranjak dari sana. Aku masih terpaku dilantai koridor seperti gadis bodoh. Bagai kakiku seberat karung beras. Tak bisa digerakkan. Aku mohon zombi zombi yang berkeliaran setiap malam. Cepat makan aku.
 
“Aaaaahhh...”
 
*****
 
 
Semenjak kejadian itu aku selalu menghindari kak Livian, dan memilih untuk tidak makan dicafetaria selama seminggu. Tanaya memaklumiku dan dia benar benar teman yang sangat pengertian, padahal waktu aku menceritakannya dia tidak bisa menghentikan tawanya.

Dia juga ikut, tidak makan di cafetaria padahal dengan nyinyir aku menyuruhnya makan disana.
 
Seperti saat ini kami memilih duduk paling belakang saat menyaksikan pertandingan basket dikelas kak Livian. Ini sepenuhnya Tanaya mengajakku. Dan aku yang ingin melihat kak Livian beraksi dilapangan basket. Wau.. kak Livian juga jago bermain basket. Sepertinya tidak ada olahraga yang tidak dikuasainya.
 
“Apa kau sudah berbaikan dengan kak Livian...?” Tanyaku dideru sorak sorai seporter. Aku juga melihat senior senior yang Menindas Tanaya dulu. Mereka duduk paling depan hampir menyentuh pagar pembatas.
 
“Belum..” jawabnya pendek. Tanaya menonton pertandingan basket seperti berada dirumah duka. Wajahnya begitu muram.
 
“Hai...Apa yang menahanmu selama ini. Bukannya kau sangat menyayangi kak Livian Naya?”
 
Aku menepuk pundaknya. Dan kembali melihat kearah kak Livian. Dia tengah menggiring bola, dihadang dua pemain lawan namun dia berkelit dan berhasil mengecoh lawan setelah itu dia melalukan  Shooting...
 
YAap.. bola meluncur mulus kedalam keranjang. Menambah satu angka untuk Tim kak Livian menjadi 12-10.
 
Aku bertepuk tangan, kulirik Tanaya juga melakukan hal yang sama. Tapi dia belum menjawab pertanyaanku.
 
“Kenapa?” Ulangku sekali lagi.
 
“Aku tak punya kesempatan. Kau pikir aku tak ingin. Tapi, kau lihat saja. Dia begitu sibuk dan dikelilingi teman temanya...”
dia mencari alasan. Sialnya aku membenarkan Tanaya. Kak Livian memang tampak hebat dari yang lainnya. Jadi tak heran kalau dia dikelilingi teman temannya.
 
Aku tak akan menanyakannya lagi. Dan kembali menyaksikan keseruan permainan basket kak Livian.
 
Para pemain mendapati waktu istirahat dua menit. Kak Livian melihat kearah kami. Mengangkat tangannya dan bibirnya terangkat keatas. Hampir saja aku membalasnya kalau tidak mengingat Tanaya diampingku. Sebagian seporter melihat kearah kami. Aku tahu mereka melihat kearah Tanaya.
 
Dan Tanaya hanya diam tanpa membalas kak Livian.
 
“Balas dong Naya. Senyum kek... mungkin ini awal yang bagus...” aku memaksa Tanaya. Gadis itu menarik bibirnya keatas, tapi senyum itu tampak mengerikan. Terlihat dipaksakan sekali. Dan disaat kak Livian tidak melihat kearah kami.
 
“Ampun deh Naya...”
 
Akhirnya permainan selesai, dimenangkan tim kak Livian. Skornya beda tipis 48-46. Sebelum kami menghilang kak Livian berlari kearah kami dan tepat berhenti didepan kami.
 
Aku masih malu. Atas kejadian waktu Itu. Dan aku tidak siap bertemu dengan kak Livian sekarang.
 
“Aku ingin bicara denganmu Naya..” dia bicara dideru napasnya. Bajunya basah oleh peluh dia bagaikan dicebur kedalam bak cuci piring.
 
Kak Livian melihat kearahku, langsung ku buang muka kearah lain.
 
“Kau tidak ketumpahan tinta lagi kan...?”
 
What?
 
Kak Livian dan Tanaya sama sama tertawa. Dasar kakak beradik ini. Aku memberengut kearah mereka berdua. Dan berlalu dari sana.
 
“Rey, tunggu aku dikelas...?” Teriak Tanaya dibelakang punggungku.
 
Aku tidak peduli, aku berjalan cepat cepat. Dasar sial. Kenapa sih kak Livian  masih mengingat aibku. Mukaku panas seperti kepiting baru direbus kedalam panci panas. Dan senyum jail kak Livian terbayang bayang dipikiranku.

Bersambung
****
Terimakasih udah baca
Jangan lupa tinggalkan jejak.

Padang, 15 september 2019

Reyna, How Are You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang