chapter 14

2K 137 4
                                    

“Imutnya.. itu peliharaanmu kak..?”
 
Aku bertanya pada kak Livian. Dan menjepret kucing dengan bulu belang tiga, kuning, hitam, putih. Kak Livian berjongkok disamping kucing itu. Tangannya menggenggam goreng paha ayam. Menu cafetaria siang ini. Dan mengupilnya kecil kecil dan diberikannnya untuk si kucing.
 
Dia menatap ku sesaat dan mengangguk kecil.
 
Langit sore ini sedikit berwarna Jingga bagai benang benang emas Menjuntai dilangit saling beradu Seperti urat urat es dibatu pualam mahal.
 
Udara bagaikan kau diceburkan kedalam semangkok sup panas.
 
Sebutir keringat terlihat turun dikening kak Livian. Aku masih mengamati dia menyuapi kucing. Ku pikir ini seni. Tanpa sengaja aku memotret mereka berdua tentu saja tanpa sepengetahuan kak Livian.
 
“Siapa namanya Kak...?” Aku ikut duduk disamping sikucing. Dan menyapukan jari kebulu selembut beludru.
 
“Puss.” jawab kak Livian pendek tanpa menoleh kearahku.
 
“Wau nama yang keren seperti difilm puss In boots...”
 
Kak Livian menatapku seolah membenarkan ucapanku Dan dia tersenyum kecil. Dia berdiri perlahan menggendong Puss Dan membawa kedadanya. Melihatku sekilas dan melangkah membawa kucing itu entah kemana. Aku masih mematung dibelakang kak Livian. Meragu. Apa Aku boleh mengikutinya atau kak Livian tidak mau aku mengganggu kucing peliharaannya. Entahlah.
 
Aku berbalik arah dan semakin jauh dari punggung kak Livian. Bahkan kami tak sempat berkenalan..........
 
*****
Kelopak mata Livian mengerjap dan terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan kearah jendela menyentakkan tirai. Menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan matanya.
 
“Pasti kerjaan Tanaya” Rutuknya.
 
Livian meregangkan tubuh dan melirik jam diatas nakas. Pukul 07.30 am. Saat ia hendak duduk buku diari Reyna jatuh kelantai.
 
“Apa kau tertidur setelah membaca diari Reyna...?”
 
Susah payah Tanaya menyeret kakinya. Gadis itu merentangkan Telapak tangannya saat Livian hendak membantunya. Pagi ini Tanaya terlihat rapi seperti mau bepergian. Padahal dia masih berjalan tertatih tatih.
 
“Naya, kau mau kemana?” Suara Baritonnya terdengar serak seolah ia bicara sambil kumur kumur.
 
Livian menguap dan mengucek matanya. Ia tak tahu jam berapa tidur semalam. Dia harus cepat cepat mandi dan berangkat kerja jika tak mau terlambat.
 
“Aku mau menemui Reyna dirumahnya..”
 
“Apa dia.... sudah sadar...?” Tanyanya tercekat. Tenggorokannya terasa kasar, seolah-olah habis digosok dengan amplas. Ada perasaan senang menggelayuti hatinya. Apa diari Reyna mempengaruhinya. Walau ia membaca diari itu belum setengahnya. Ia tahu kepribadian Reyna baik, kuat dan asik.
 
“Belum.. tapi orangtuanya ingin memindahkan Reyna kerumah, tentu saja lengkap dengan perawatan medis rumah sakit dan satu suster. Agar mereka bisa memantau  kesehatan Reyna Setiap saat.  apa kau mau menemaniku kak...?”
 
Tanaya ingin kakaknya melihat Reyna sekali lagi. Dia senang ternyata Livian sudah membaca diari Reyna walau ia juga penasaran apa saja yang ditulis Reyna disana. Dia harap Reyna juga menulis cerita mereka.
 
Livian masih mematung. Dia ingin bergerak kekamar mandi tapi kakinya seperti kantong air.
 
“Baiklah...” jawabnya kemudian. Dia juga sangat ingin menemui Reyna sekali lagi.

Kening Tanaya berkerut bagai benang benang tipis terentang.
 
“Bagaimana perkerjaan mu kak..?”
 
“Kau yang mengajakku, tapi kau yang bingung sendiri. Tenang saja aku akan meminta cuti bulan ini. Hadiah lemburku selama ini...” jelas Livian tersenyum tipis saat dilihatnya Tanaya tertawa riang.
 
“Aku tahu kenapa kau sangat menyayangi Reyna. Pasti kau sangat bersyukur saat Reyna mengulurkan tangan terlebih dahulu...”
 
“Wauu.. apa Reyna menceritakanku dibuku diarinya...”
 
“Setiap kalimat yang ia torehkan selalu ada namamu..”  setiap kata ditekankan Livian. Agar Tanaya bisa meresapi maksudnya. Dia juga ikut senang Reyna adalah orang yang menjaga adiknya saat masa terpuruk Tanaya. Disaat dia benar benar tak tahu kalau Tanaya ditindas disekolah.
 
Tanaya masih setia mengekori Livian dibelakang. Bahkan saat Livian hampir didepan kamar mandi.
 
“Aku pikir dia hanya menceritakanmu...Oooh.. aku rindu Reyna...” gumam Tanaya Sedih saat Livian menutup Pintu kamar mandi.
 
Didalam perjalanan menuju kediaman Richardson Tanaya tak bisa membendung kebahagia-anya. Bibirnya selalu terkembang bagai kuncup menjadi bunga dipagi hari. Merekah.
 
“Menurut penilaianmu kak. Bagaimana kepribadian Reyna...”
 
Livian berbelok kekiri dan berhenti dilampu merah.
 
“Aku belum bisa mengatakannya, karena baru sehari aku membaca diarinya. Itu pun hanya tiga lembar...”
 
Livian menekan klakson karena mobil didepannya belum berjalan padahal lampu sudah berubah hijau. Jalanan siang itu ramai lancar.
 
“Ceritakan.. kepribadian Reyna...?” Tanya Livian balik Disela suara camila cabello Dan shawn Mendes Melalui speker mobil.
 
“Dia baik, pintar,  lucu, gila dan anggun diwaktu bersamaan...” segala pujian terhadap Reyna meluncur deras dari bibir Tanaya. Sampai Livian tergelak mengalahkan suara Justin Bieber kali ini.
 
“Gila..?” Tanya Livian penasaran.
 
“Ya.. Gila. Kau baca saja diarinya kau akan tahu apa yang ku maksud...” Jelas Tanaya mengambang. Membuat Livian semakin penasaran dengan sosok Reyna.
 
“Apa kau sekarang tertarik terhadap Reyna kak...?"
 
Livian lama terdiam, mukanya datar namun Tanaya melihat kegugupan disana.
 
“Sedikit..” Ujarnya kemudian.
 
“Benarkah hanya sedikit...” selidik Tanaya memperhatikan mimik wajah Livian dibalik setir.
 
“Yap, sekarang hanya sedikit. Aku tidak tahu nantinya...”
 
Tanaya tidak mau membahas Jenny. Dia tidak mau kalau Livian jadi berubah pikiran dan menghabiskan masa cutinya menemui Jenny. Tapi pikiran dan hatinya berkata lain.
 
“Bagaimana huhunganmu dengan Jenny...?” setelah Tanaya bertanya seperti itu dia benar benar menyesal. Sama saja kan jika kau merasa melayang dan dijatuhkan secara tiba tiba.
 
“Aku tidak tahu....”
 
Mobil kami sudah memasuki kawasan rumah mewah. Dimana rumah paling ujung adalah kediaman Reyna. Walaupun Tanaya sudah beberapa kali pergi kesana. Dia tetap merasa kagum akan desain desain dikawasan rumah tersebut.
 
“Tidak maksudmu...?”
 
“Kami saling tak memberi kabar... aku sudah mencoba menghubunginya, tapi dia tak menjawabnya... dan aku tak mau membahasnya saat ini..."
 
Tanaya tak bertanya lagi, karena wajah Livian berubah masam. Padahal dia ingin mengatakan pada Livian bahwa beberapa hari lalu dia melihat Jenny bersama seorang pria.

Mereka sampai dikediaman Reyna. Tak lupa membawa sebuket bunga. Bunga itu dibeli Livian sendiri. Beda dengan pertama dia bertemu Reyna.

Perubahan kecil tapi berdampak besar bagi Tanaya. Dia berdoa semoga Reyna cepat cepat sadar dan mendapati Livian berada disampingnya. Pasti Reyna merasa bahagia sekali.
 
Mrs. Paula menyambut mereka dengan senyum merekah bagai ujung ujung bibirnya ditarik keatas. Mrs. Paula memeluk Livian dan Tanaya.

Setelah Mrs. Paula menanyakan apa yang menimpa Tanaya. Wanita itu membimbing Tanaya berjalan kearah kamar Reyna. Livian mengikuti dibelakang punggung Tanaya bagai anak ayam.

 Livian mengikuti dibelakang punggung Tanaya bagai anak ayam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang ini mereka tak melihat Mr. Richardson dirumah.
 
Reyna masih terdiam diatas tempat tidurnya. Alat medis masih menancap ditempat yang seharusnya. Tanaya menggenggam jemari Reyna dan meremasnya perlahan. Tangan itu terasa dingin dan ringkih. Padahal dulu tangan itu begitu kuat.
 
Bobot tubuh Reyna nampaknya juga berkurang. Karena tulang pipi Reyna sedikit menonjol. Tanaya tak ingin menangis. Padahal dibelakang pelupuk matanya terasa panas dan basah. Tanaya melangkah keluar bersama Mrs. Paula meninggalkan Livian duduk disofa disamping tempat tidur Reyna.
 
Pria itu hanya diam, mengamati setiap inci wajah Reyna. Setelah dia mengenal Reyna melalui diari yang ditulisnya. Semuanya terasa berbeda. Dia sungguh menyesal, kenapa dulu dia Begitu cuek dan tak pedulian pada sekelilingnya. Padahal mereka pernah bertemu bahkan pernah mengobrol.
 
Livian menggenggam jemari Reyna dan menyembunyikannya didalam kedua telapak tangannya. Serta membawanya kekening bertahan disana. Memohon pada sang pencipta untuk membangunkan Reyna. Dia ingin mengenal Reyna
Bukan karena sekarang hubungannya dengan Jenny renggang. Juga bukan sebagai tempat pelarian. Tapi dia tulus ingin mengenal Reyna. Tulus menginginkan Reyna cepat cepat siuman. Dan mengenalkan dirinya secara formal.
 
“Aku mohon Reyna... bangun lah... bangun dan panggil namaku...” Lirih dia berkata.
 
Namun Reyna tak memberi tanda sedikit pun. Detak jantung Reyna pun sama cepatnya dengan detak jantung Livian. Seirama.
 
Benar benar hening dan sepi.
 
Livian melepaskan genggaman jemari Reyna. Dan mengamati muka Reyna kembali. Ada yang aneh.

Sungguh ada yang aneh.
 
Livian terkesiap.

Dia tidak bisa lagi mendengar degup jantungnya, tetapi tahu bahwa jantungnya sedang berdentam-dentam didalam dadanya.
 
Sebutir saja. Bahkan Livian sampai memicingkan matanya, saking tidak percayanya. Bahwa disana dimata kanan Reyna paling ujung hampir turun membentur telinganya.

Livian mengacungkan telunjuk kanannya dan menyapukan aliran bening itu ditelunjuknya.

Ya.. Reyna menangis dalam komanya.
 
“Mrs. Paula... Tanaya...” teriaknya Parau dan tercekat saking senangnya.

Bersambung..
****

Terimakasih udah baca ya.
Jangan lupa tinggalkan jejak.

Padang, 8 september 2019

 
 
 

Reyna, How Are You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang