Ruqiyah serta pengembalian jiwa yang terpedaya pada diri Dannz membuatnya harus berdiam diri selama seminggu setelah penyembuhan dari rumah sakit.
Saat itu masih menyisakan trauma berat untuk Dannz.
"Aku terlalu menuruti semua keinginan duniawi dan nafsuku. Terakhir aku bertanya pada Randy apa itu cinta? Tapi aku salah mengartikan ini terhadap Tyas... Aku salah menganggap itu adalah benar-benar keinginan terdalamku. Dan aku masih tidak mampu menikahi siapapun."
Dalam hati Dannz masih ada dilema yang dalam. Ayahnya hari ini ingin membawanya ke padepokan agar ia bisa melanjutkan pendidikan agama disana. Ia tidak bisa menahan harunya. Papahnya memberikan sebuah kopiah.
"Papah, aku minta maaf karena selama empat bulan lamanya aku berulah dan menyusahkan papah." Sambil memeluk Ayahnya. "Iya, kamu tetap kebanggaan papah. Setelah sebulan nanti kamu boleh langsung melanjutkan pengajuan skripsimu. Papah tahu kamu bukan orang bodoh. Dosen mengabarkan sebelum peristiwa itu kamu sudah menyelesaikan SKSmu dengan sempurna." Ayah Dannz tersenyum bangga.
"Betul pah? Alhamdulillah. Aku bisa lanjut bulan depan. Titip salamku sama Randy ya pah." Kata Dannz sambil memakai kopiah pemberian ayahnya pagi itu.
"Kamu pasti akan betah disana, orang-orangnya terpelajar dan berpendidikan." Sambil berbicara diatas mobil di samping supir yang sedang mengemudi.
"Iya pah, semoga Dannz bisa belajar dengan baik disana yah. Semoga disana adalah tempat yang tenang dan damai." Dannz tersenyum dengan penampilan barunya. Berbaju koko dan memakai peci. Layaknya anak pesantren.
"Anak papah pasti bisa kembali kuat dan bisa menyelesaikan skripsi dengan baik." Ayah Dannz tersenyum dengan wajah yang sedikit menengok kebelakang.
Dannz juga ikut tersenyum, entah mengapa hari itu senyum ayahnya begitu membuatnya bangkit. Letak padepokan itu cukup jauh dari kota. Jaraknya dua jam. Dalam perjalanan Dannz tertidur pulas.
Hingga sampai di depan padepokan itu, ia baru di bangunkan. "Dannz, bangunlah, Kita sudah sampai nak. Kita harus menemui pendiri padepokan ini.
Dannz membuka mata melihat sekelilingnya pedesaan yang jauh dari kota. Berlalu lalang beberapa santri yang berkerumun di sekitaran mobil mereka.
Keluarlah satu ustad yang masih setengah baya. Bernama Ahmad, ia menyambut ayah Dannz dengan mencium pipinya. "Assalamu alaikum, pak Damar... Silahkan masuk, mari saya antarkan ke ruangan Kyai Andri." Dengan membungkukkan badan satu kali, ustad Ahmad meminta Ayah Dannz untuk ikut dengan sopan.
"Mari ustad, saya bersama dengan anak saya yang dulu sekolah di London." Sambil memperkenalkan Dannz kepada Ahmad.
"Assalamu alaikum Akhi..."
Dannz dengan polos menjawab "Wa alaikum salam pak ustad nama saya Dannz bukan Akhi." Kemudian Ustad Ahmad tertawa kecil, anak ini benar-benar butuh bimbingan agama pak Damar."Maklum saja Ustad, dia lahir di tempat yang mayoritas orang nasrani dan bule. Adat istiadat kita saja hampir dia lupakan." Kata ayah Dannz bercanda.
Kemudian sampailah mereka di sebuah bilik yang pintunya masih klasik. Bercorak gaya pintu masjid jaman dahulu.
"Wah Pintunya belum berubah yah, masih kokoh seperti dulu." Sambil tersenyum memandangi pintu dan jendela-jendela Padepokan tua itu.
Dannz kebingungan tampaknya padepokan ini biasa saja. Malah terasa sangat sunyi. Tidak lama kemudian keluarlah seorang ustad yang nampak berusia tujuh puluh tahun.
Ayah Dannz langsung mencium tangannya. "Assalamu alaikum abi, ini saya Damar Prasetya. Saya datang membawa anak saya Muhammad Nandan Ali Prasetya untuk mengikuti pelajaran dasar agama selama sebulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dannz (Pilihan Hati) Completed
General FictionDannz seorang anak pengacara yang berprofesi sebagai agen khusus polisi menemukan kerisauan dalam hatinya. Berkali-kali gagal dalam urusan cinta karena sifat buruknya yang gemar sekali akan wanita membuatnya jera sendiri. Saat ia memutuskan untuk me...