Karena sarapan pagi itu hanya wacana. Kenyataannya kini mereka berada di kantor polisi karena Minhyun merasa tidak terima. Rambut rapinya terlihat berantakan, kancing bajunya pun ada yang beberapa tidak terkancing sempurna. Duduk bersandar di kursi dengan kaki yang sedikit terbuka. Dia terlihat terdiam, tidak begitu peduli dengan Minhyun yang nampak beberapa kali komplain.
Tatapannya terjatuh pada punggung tangannya yang terlihat merah, bahkan ada sisa - sisa darah juga. Tidak jauh dari tempat Taehyung duduk terlihat Jimin dengan seorang pria—pengacara pribadi keluarga Kim—sedang mengobrol dengan petugas kepolisian.
"Sebenarnya kau ini kenapa?" Jimin bersuara ketika dia dan Taehyung berada di luar kantor polisi.
Pengacaranya bilang dia akan mengurus segalanya.
"Kenapa kau memanggilnya?" Ujar Taehyung kesal, merujuk pada pengacara keluarga Kim.
"Aku tidak punya pilihan lain," tegas Jimin yang kini melipat tangannya di dada. Taehyung berdecak dan kini berniat beranjak pergi namun Jimin menahannya.
"Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
Taehyung menghela napas lalu memijit pelipisnya.
Iya, sebenarnya ada apa dengan dirinya?
Ini bukan dirinya yang biasanya. Hari ini dia begitu sangat kesal dan mudah emosi.
Apa karena gadis itu?
Sial!
Ternyata, kepergian gadis itu secara diam - diam cukup membuat Taehyung kehilangan. Ah bukan, rasanya seolah harga dirinya terkoyak? Seperti, dia dibuang begitu saja? Taehyung menghela napas.
"Aku hanya kesal."
"Sampai memukul seseorang?!" Sinis Jimin.
"Apa terjadi sesuatu semalam yang aku tidak tahu?"
"Tidak ada." Tegas Taehyung yang tentu saja Jimin tidak percaya.
Tapi kali ini dia menyerah, Jimin tidak ingin menanyakan 'sesuatu' itu yang sudah membuat Taehyung sedikit aneh.
"Baiklah, ayo makan, perutku benar - benar lapar karena kau." Ujar Jimin beranjak membuka pintu mobilnya.
Taehyung memilih menurut kali ini, Karena ya, perkelahian semalam dan pagi tadi cukup menguras tenaganya. Mungkin, iya, mungkin saja setelah makan pikirannya kembali normal.
:::
Kontrakan itu nampak tenang. Jungyeon yang bekerja di sebuah galeri seni itu sudah berangkat tadi pagi. Sedangkan Nayeon yang memang sudah meminta ijin managernya datang terlambat kini sudah terlihat rapi. Rambutnya ia potong sedikit bagian bawah sedangkan bekas keunguan di lehernya sudah ia samarkan menggunakan foundation dan bedak. Nayeon menghela napas lagi. Ia sudah beberapa kali mencoba melupakan sentuhan pria itu semalam tapi anehnya dia tidak bisa. Jujur saja, semalam itu sangat berkesan. Sangat.
Sentuhan pria itu, suara seraknya, helaan napasnya dan desah—
Nayeon menggeleng. Ia memukul kepalanya beberapa kali agar sedikit bisa berfungsi dengan baik. Dia harus melupakannya. Harus. Itu keputusannya. Lagi pula, pria itu juga tidak mungkin mengingat dirinya semalam. Ayolah, cara pria itu memperlakukan dirinya cukup membuat Nayeon sadar bahwa dirinya bukan yang pertama. Tentu saja, pria setampan itu mungkin sudah pernah berhubungan dengan beberapa wanita cantik. Iya, yang melebihi dirinya.
Memasang sepatu berhak miliknya—yang tentu saja tidak begitu tinggi—nayeon segera mengunci kontrakan miliknya lalu meletakkan kunci itu di bawah pot bunga.
Berjalan keluar kompleks kontrakan yang ia tinggali sebuah pesan membuat langkah gadis itu terhenti. Ia mengecek ponselnya sebentar kemudian sebuah pesan dari Minhyun membuat sebelah alisnya sedikit naik.
Pria itu mengiriminya sebuah pesan gambar dengan emoticon menangis. Bukannya merasa prihatin Nayeon malah tersenyum melihat foto yang Minhyun kirimkan. Pria itu nampak babak belur dengan luka di sudut mata dan bibir.
"Karma," decih Nayeon kecil kembali memasukkan ponsel miliknya.
Melanjutkan langkah itu lagi menuju halte bus.
:::
"Benarkan? Gara - gara kau sekarang dia meneleponku?!" Dengus Taehyung beranjak dari kursi restoran yang mereka kunjungi.
Jimin memicingkan matanya.
Gara - gara dirinya?
"Hei! Kau yang memukul orang dan membuat masalah!" Seru Jimin kesal.
Taehyung keluar dari tempat makan itu dengan ponsel miliknya yang ia letakkan di telinga.
'iya, aku salah telah meremehkan dirimu.'
Suara ayahnya itu terdengar.
'untuk itu, kembalilah ke perusahaan, apa kau merasa puas berada di perusahaan saingan ayahmu sendiri?'
Taehyung menghela napas.
"Aku masih mengingat bagaimana kau menyuruhku keluar dan lebih mempercayai wanita itu."
Taehyung mendengus.
'ayah sudah bilang kan ayah minta maaf tidak mempercayai dirimu?'
Memejamkan matanya sebentar kini Taehyung memijit pelipisnya.
'Perusahaan majalah milik ibumu dulu sedang dalam kondisi tidak baik, apa kau masih tega?'
Taehyung masih terdiam.
'Baik aku tidak akan memaksamu untuk memegang penuh seluruh perusahaan milik ayah, tapi selamatkan perusahaan majalah fashion milik ibumu itu.'
"Aku—"
Ucapan Taehyung terhenti ketika menatap seorang wanita yang tengah berdiri di halte bus di seberang jalan. Matanya mengerjap pelan, setidaknya meyakinkan dirinya bahwa indera penglihatannya itu tidak bermasalah.
Gotcha
"Baiklah, nanti akan kutelepon lagi." Ucap Taehyung mematikan sambungan teleponnya.
Setengah berlari menuju ke arah jembatan penyeberangan kini fokusnya tidak beralih pada gadis yang beberapa kali melihat jam tangan miliknya. Namun sialnya, bus yang ditunggu gadis itu datang. Ia sudah cukup berlari sangat kencang dan ketika kakinya menapak di sekitar halte bus yang dinaiki gadis itu sudah beranjak pergi.
Memegang lututnya sembari meraup udara yang sebisa mungkin masuk ke paru - parunya Taehyung tidak hentinya mengumpat. Pria itu memejamkan matanya namun sedetik itu matanya kembali melebar.
Sesuatu.
Iya, sesuatu yang sempat dia lihat. Kartu identitas yang terkalung di leher gadis itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/195901477-288-k597447.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
FanfictionDia pikir, setelah itu keduanya tidak akan bertemu lagi. Jadi ketika pria itu menawarkan sebuah kesepakatan malam itu, ia menerimanya tanpa pikir panjang.