"Jeong ah, kira - kira galeri masih butuh pegawai tidak?" Tanya Nayeon menerawang, kini dia tengah merebahkan tubuhnya di sofa sedangkan Jeongyeon duduk di lantai sembari memakan mie instan.
Jeongyeon tidak menanggapi serius ucapan sahabatnya itu. Dia sudah terlampau biasa mendengar keluhan Nayeon tentang ingin keluar.
"Memang manager Bae mempersulit dirimu lagi?" Sebagai sahabat yang baik setidaknya Jeongyeon bersikap simpati pada Nayeon.
Nayeon menghela napas, lalu memeluk boneka beruang cokelat miliknya. Jeongyeon bahkan menghentikan kegiatannya lalu menoleh pada Nayeon yang hanya terdiam. Biasanya kalau Jeongyeon sudah menyebutkan kalimat tanya tersebut akan keluar ratusan dosa - dosa manager Bae yang telah dilakukan kepada Nayeon.
"Bukan karena manager Bae?" Kali ini Jeongyeon meletakkan sumpitnya lalu menatap penuh pada Nayeon. Dia sudah terlalu hafal dengan sahabatnya ini.
Nayeon bergerak duduk lalu menggosok kedua tangannya ke wajah. "Karena bosku yang baru!" Seru Nayeon tidak biasa.
"Kenapa? Lagi pula kau selalu memotivasi diri bahwa bekerja di perusahaan fashion itu adalah impianmu."
Iya, seburuk apapun perlakuan manager Bae, Nayeon selalu memotivasi dirinya untuk selalu bertahan. Karena ya, dia butuh uang;butuh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk mencicil membeli rumah atau apartemen, dan untuk biaya sekolah Im Jihoon. Nayeon menghela napas panjang. Tapi niat untuk keluar sudah bulat.
Nayeon turun dari sofa lalu menarik lengan Jeongyeon. "Ayolah! Kau bisa menjadikan diriku asistenmu!"
Jeongyeon memutar bola matanya, "lagi pula mana bisa Im Nayeon? Ijasahmu saja tidak lulus seleksi."
"Kau tahukan keahlianku dalam memotret?"
Menggunakan telunjuknya Jeongyeon menekan kening Nayeon hingga kepala gadis itu sedikit menjauh dari lengan Jeongyeon.
"Ini galeri seni Yeon ah, yang dipajang di sana rata - rata lukisan tangan bukan foto." Terang Jeongyeon.
Bibir Nayeon mencebik, kepalanya tertekuk kesal.
"Lagipula kenapa kau ingin keluar? Biasanya kau selalu memposisikan dirimu sebagai—oke, baiklah akan aku lakukan—daripada melepaskan pekerjaan yang cukup memberikan dirimu uang." Kini Jeongyeon menatap Nayeon penuh selidik.
Memejamkan matanya sejenak akhirnya Nayeon bersuara. "Aku ada masalah dengan bosku." Lirih Nayeon.
"Apa sangat serius?"
Dia mengangguk pasrah, "memang masalah apa?" Nayeon menarik napas.
"Aku——tidur dengannya." Lirih Nayeon yang cukup didengar oleh Jeongyeon. Wanita berambut sebahu itu bahkan sampai menyenggol mangkok mie instan miliknya.
"Coba ulangi?!" Tegas Jeongyeon.
Nayeon memejamkan matanya, "kau ingat malam itu? Ketika aku putus dengan Minhyun? Dia menawariku one night stand," sebuah helaan napas, "dan aku mau." Kini Nayeon menghentak - hentakan kakinya, sekarang ia merasa menyesal, sungguh, bila taruhannya adalah pekerjaannya.
Jeongyeon menarik lengan Nayeon agar sahabatnya itu menatapnya. "Wah! Kok bisa? Apa dia tampan?"
Mengerutkan bibirnya gadis itu mengangguk pasrah. "Sangat tampan, sempurna, tinggi, harum dan sexy." Lanjut Nayeon yang ditanggapi decihan oleh Jeongyeon.
"Lalu? Kenapa kau malah ingin keluar? Justru itu kesempatan bagus untuk memanfaatkan dirinya bukan? Pepet terus!"
"Apa kau gila?" Nayeon menghempaskan tangan Jeongyeon—bukan bermaksud menyakiti—"kau pikir aku wanita murahan?"
Kini Jeongyeon tertawa,"begini ya, hidup jangan terlalu naif karena itu akan membuatmu semakin tertindas. Kadang kau juga perlu egois untuk bertahan hidup, apalagi untuk orang - orang seperti kita yang membutuhkan banyak uang. Selama ini, aku hanya mengikuti alurmu saja yang bersikap terlalu baik hingga banyak orang yang menyakitimu, sekarang kau harus bangkit dan memanfaatkan semua situasi yang ada."
Jeongyeon menghela napas. "Jika kau keluar dari perusahaan apa yang kau jaga? Harga diri? Bahkan jika kau mati - matian menjaga harga dirimu orang lain tetap akan memandang dirimu bodoh. Aku bukannya meminta dirimu untuk menjual diri atau memintamu untuk merendahkan diri di hadapan bosmu itu. Tapi kembalilah berfikir, mencari pekerjaan itu susah jadi cobalah memanfaatkan segala situasi yang ada di depan mata." Setelah mengucapkan kalimat panjang itu Jeongyeon bangkit membawa mangkuk mie nya.
Ia menatap Nayeon sejenak yang masih terdiam. "Cepat tidur, ini sudah malam kau juga harus kerja."
:::
Taehyung sedari tadi hanya duduk termenung di meja kerjanya. Bahkan laporan - laporan yang dikirimkan Joshua sama sekali belum dia buka—padahal dia sendiri yang meminta Joshua segera mengirimnya siang tadi. Kepalanya masih dipenuhi oleh ucapan Nayeon tentang wanita murahan.
Tunggu, dia bahkan tidak pernah berfikir sedikitpun tentang itu. Dia memang tidak suka berbasa - basi atau semacamnya, jadi, jika ia mengatakan suka, berarti dia memang suka dan tidak ada maksud lain. Memukul meja hingga terdengar bunyi hantaman cukup keras kini Taehyung mulai sadar.
Apa karena ia mengatakan menginginkan?
Kini tangannya terkepal lalu umpatan sial meluncur dari bibir Taehyung.
Iya hanya terbawa suasana sehingga bibirnya tanpa sadar mengucapkan kata 'ingin' yang tentu saja akan disalah artikan berbeda oleh Nayeon. Ayolah, meskipun dalam hubungan hal semacam itu wajar tapi sepertinya bagi Nayeon sedikit berbeda. Bahkan gadis itu mengatakan dengan gamblang bahwa yang terjadi antara mereka adalah sebuah kesalahan.
Kini Taehyung memukulkan kedua tangannya di kepala. Sifat apa adanya miliknya ini memang kadang sukar dikontrol, sehingga bagi sebagian orang akan nampak dirinya tidak sopan atau sombong dan angkuh. Taehyung mengambil ponselnya, mengerakkan jemarinya di atas layar hingga nama wanitaku muncul dan sesegera mungkin melakukan panggilan.
Taehyung mendengus, bahkan sekarang pria itu berfikir bahwa nomornya dialihkan oleh Nayeon. Bangkit, mengambil jaket lalu kunci mobil ia harus segera bertemu Nayeon dan menjelaskan apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Memasukkan alamat yang diberikan oleh sekertaris Hong ke aplikasi penunjuk arah kini pria itu mengendarai mobil miliknya sedikit gelisah. Dia, tidak pernah seperti ini sebelumnya, perlu digaris bawahi. Sehingga sekarang bagi Taehyung, Nayeon itu begitu istimewa.
Memelankan mobilnya kini Taehyung bisa melihat sebuah flat berukuran cukup sedang. Taehyung melihat jam tangannya, menunjukkan pukul sebelas malam dan kini ia malah merasa gelisah karena apa harus dirinya membangunkan gadis itu malam - malam. Namun, seperti sebuah anugerah ketika ia melihat gadis itu mengenakan sweater besar sambil menenteng kantong sampah menuruni tangga flat.
"Im Nayeon!" Gadis itu menoleh, mengikat rambutnya seperti sanggul hingga terlihat anak - anak rambut yang kini mencuat.
Brag
Kantong itu jatuh dan nampak sampah kaleng dan kardus keluar. Sebuah desiran aneh ketika rambut tanpa Pomade itu bergerak tertiup angin. Senyum lega yang anehnya begitu mempesona, kemudian Nayeon sadar sejak awal dia memang sudah jatuh dan jantungnya sudah berdetak begitu cepat. Hanya saja ia berusaha memungkirinya.
"Kau hanya salah paham, sungguh, aku tidak pernah menganggap dirimu murahan. Aku——" Taehyung nampak kesulitan mencari kata - kata yang tepat. Menarik tangan gadis itu lalu meletakkannya di dadanya.
"Seperti ini, gemuruhnya ketika aku bersamamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
FanficDia pikir, setelah itu keduanya tidak akan bertemu lagi. Jadi ketika pria itu menawarkan sebuah kesepakatan malam itu, ia menerimanya tanpa pikir panjang.