22

7.1K 208 6
                                    

Roland menepikan mobil itu. Gadis di sisinya mengeliat,  membuka mata dan memandang ke luar jendela.
"Pada akhirnya aku harus memilih." Desahnya sembari membuka pintu mobil.

"Claire...kau bergumam?" tanya Roland.

"Tidak, terimakasih sudah mengantarku. Gadis itu tersenyum kecil. Jelas terlihat gurat lelah serta kesedihan di wajahnya.

"Selamat malam, Claire. Sampai jumpa."

Claire mengangguk, melambaikan tangan dan meninggalkan Roland yang masih menatap gadis itu hingga menghilang di balik pintu.

.....................

Claire meraih boneka beruang yang empuk, merebahkan dirinya dan memeluk boneka itu. Matanya berkaca-kaca ketika tatapannya bertemu dengan bingkai foto yang ia letakkan di atas meja.  Ia melihat tawa Caress di dalam sana. Gadis itu memeluk Claire dengan tangan kanan dan tangan kirinya mendekap sebuah piala.
Caress selalu berkata, piala yang ia dapatkan juga milik Claire. Karena hanya Claire yang selalu memberinya semangat untuk meraih apa yang ia inginkan.
Entah sejak kapan pula, air mata gadis itu meleleh. Terisak dan akhirnya terlelap. Membenamkan tubuhnya di dalam gelap.

.......

Diam! Dan biarkan aku melakukannya. Kalau kau bersuara, maka aku akan menyakitimu.
Cepat, kemarilah dan nikmati saja. Kau akan tahu rasanya dan kau pasti menyukai rasa itu.

Jangan....jangan....paman...buka pintu itu. Aku mohon.

Tentu. Aku akan membukanya setelah semua selesai. Gadis cantikku, sayang. Ayo lepaskan saja.

Kenapa kau begitu cantik, kenapa tubuhmu begitu menggoda. Biarkan aku merasakannya, sayang.

Claire terjaga, matanya terpaku pada dinding kamar dengan cahaya temaram. Keringat dingin membasahi kening gadis itu. Tubuhnya gemetar dan ketakutan.
Butuh waktu beberapa detik untuk mengembalikan kesadarannya lagi. Kenapa mimpi buruk itu selalu menghantui tidurnya. Setelah beberapa tahun peristiwa itu berlalu? Bukankah lelaki itu sekarang sudah terpuruk dan juga menderita.
Claire menghela napas. Jauh di bawah alam sadarnya, ia tidak bisa memaafkan perbuatan lelaki itu. Dan karena dia, Claire juga tidak mampu memaafkan dirinya sendiri. Ia selalu merasa kotor dan tidak layak. Antipati terhadap siapapun yang mencoba mencintainya.

Gadis itu berdiri, dan melihat pantulan dirinya di cermin. Meraba tubuhnya yang terasa membeku. Sungguh ia benci tubuh itu.
Claire benci kelahirannya, ia muak terhadap wanita yang membuatnya ada di dunia ini. Kalau saja wanita itu membuangnya - kalau saja wanita itu tidak membiarkannya hidup. Pasti ia tidak akan semenderita ini.

Ketika Claire meratapi hidupnya, ponsel merah muda itu berdering.  Dibukanya gorden jendela kamar dengan perlahan dan Roland melambaikan tangan dari bawah sana.

"Keluarlah, Claire. Sampai kapan kau akan tidur?" Suara Roland dari seberang telepon. Pemuda itu tertawa dan menutup ponselnya.
..........

"Apa aku mengundangmu?" tanya Claire dengan sweater putih di punggungnya.

Roland menyandarkan tubuhnya di mobil, pemuda itu selalu memperlihatkan wajahnya yang ceria. "Tidak. Tapi aku ingin melihatmu. Hai, apa kabar?"

"Konyol." Claire tertawa, memukul lembut bahu Roland. "Sekarang kau sudah melihatku. Pergilah."

"Gadis seperti apa kau ini? Keterlaluan. Kau biarkan tamu di luar tanpa secangkir kopi? Lihat tubuhku hampir membeku." Roland berjalan mendahului Claire, masuk ke dalam apartemen itu, "lantai berapa?" tanyanya tanpa menoleh.

"Lantai lima." jawab Claire di belakang punggungnya.

..........

"Ini, minumlah. Kalau kurang kau buat saja sendiri." Claire meletakkan kopi hitam di hadapannya. Pemuda itu menyandarkan punggungnya di sofa, mengamati kamar sewa gadis itu.

"Kau nyaman tinggal di sini?" tanya Roland.

"Ini adalah tempat paling nyaman yang kutinggali. Aku sangat beruntung." Claire duduk di samping pemuda itu, meniup kopinya yang mengepul.
Roland mengerutkan kening, apartemen kecil ini hanya seukuran kamar tidurnya di rumah.

"Claire, kau masih sangat muda tapi kenapa harus tinggal sendiri? Bukankah lebih baik tinggal bersama orang tuamu, mereka pasti sangat mencemaskanmu." Pemuda itu berusaha memberi nasihat, sebuah ucapan penuh perhatian.

Claire tersenyum kecil, menatap Roland  dengan tajam. "Aku yatim piatu, Roland. Aku sendirian di bumi ini."

Roland menegakkan tubuhnya mendengar kalimat itu seolah tak percaya. Tangannya terjulur dan menyentuh pipi Claire lembut, "maafkan aku. Seharusnya aku tidak bertanya."

Claire tersenyum lebar, ia tidak ingin Roland melihat luka di hatinya atau bersimpati padanya. Ia tidak ingin orang lain menyukainya karena belas kasihan.

"Aku bahagia dengan hidupku, jangan kau pikirkan."

"Sangat jarang gadis yang mampu bertahan sepertimu, Claire. Entah mengapa gadis semanis dirimu harus hidup seperti ini"

"Inilah permainan takdir, Roland. Siapa yang tahu?" Claire mengedikkan bahu. Roland memandang sayu gadis itu. Ia memang mengenal Claire cukup lama, namun baru hari ini ia mengerti siapa gadis itu. 


(BUKAN) PERAWAN#Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang