🌫 Malam Hari

3.1K 453 99
                                    

"Mantannya cantik ya."

Itu ucapan pertama Irsya ketika memasuki dapur.

Dan Ican total bingung.

Sebentar ....

Ini si Adek lagi cemburu apa gimana?

"Adek ... kamu itu lebih cantik, sayang."

Ican menghampiri si manis kesayangan, peluk halus badan yang lebih kecil dari belakang.

Malah berbuah sikutan tajam dari empunya.

Sakit kan? Mamam tuh.

"Sana. Minggir. Ganggu."

Singkat. Padat. Nyengat.

Tanda pacar cemburu.

Menghela nafas pasrah, Ican cuma bisa merengut was-was. Bos besar terancam ngga dapat jatah nih, malam ini.

"Sayang mau masak apa, hm? Mas bantuin ya?"

"Bacot. Jangan dekat-dekat, awas sana."

Dibacotin ngga tuh, Can.

Mengehela nafas lagi, Ican akhirnya memilih untuk anteng duduk di kursi meja makan yang ada di dapur. Sementara Irsya masih berkutik dengan barang belanjaan dan kulkas.

Dari tadi Ican tuh pengen ikut membantu sebenarnya, tapi kena usir terus. Daripada ujungnya kena tampol, kan mending Ican menjauh duluan.

"Kok Adek bisa cemburu sih?" celetuk Ican kemudian, setelah hening ngga ada satupun yang ngomong di antara mereka.

Ican tuh bingung sejadi-jadinya. Apa coba yang bikin Irsya cemburu?

"Adek ngga cemburu ya!"

Kan, di-gas kau Ican.

"Iya deh, iya ... ngomong-ngomong Adek ingat William ngga?"

Ican asik duduk santai, sambil memandangi calon ibu dari anak-anaknya menyiapkan makan malam.

Sebelah tangan menopang dagu di atas meja dan sebelah kaki bertengger anteng naik ke atas kursi. Kaos putih sleeveless dan ripped jeans sebagai pemanis.

Oh, jangan lupakan kalung silk cord dengan bandulnya berupa cincin perak sederhana—bertuliskan nama sang kekasih sebagai tanda kepemilikan—untuk tambahan aksesorisnya, tetapi selalu dipakai setiap hari.

Bukannya Ican ngga mau pakai cincin tersebut di jarinya. Tapi, ia punya prinsip untuk hanya memakai cincin setelah ia menikah dengan pasangan masa depannya kelak.

Sebagai pembuktian bahwa sematan cincin di jari manis adalah sebuah lambang cinta sejatinya.

Dan penampilan Ican ya seperti ini kalau ngga ada acara penting di studio, pakaiannya bebas. Toh ngga ada larangan dari kantor, yang penting ngga melanggar etis.

Sebenarnya tadi juga pakai jaket, tapi sudah digantung di ruang tamu. Langsung setelah masuk ke rumah.

Kebiasaan, kalau pakai jaket di rumah Irsya mana boleh ditaruh sembarangan. Digebukin empunya rumah, tahu rasa.

"William, Mas Willy maksudnya? Sahabatnya Mas waktu di Aussie itu?"

Irsya berhenti sebentar motongin tahunya dan lihat ke arah mas-mas diseberang sana. Lalu lanjut lagi setelah pertanyaannya di jawab dengan anggukan.

"Kenapa emangnya Mas?"

"Zha itu suaminya Mas Willy, sayang."

Dan kali ini giliran Irsya yang total berhenti. Dia letakin pisaunya dan pandangi Mas Ican dengan raut miris.

"Mas ... maaf ya Adek ngga tau," lirih Irsya sembari menghampiri kekasihnya yang dengan senang hati menyambut kedatangannya.

"Iya ... ngga papa sayang, Mas ngerti. Sini peluk."

Ican sudah siap-siap, kedua tangannya membentang di depan, senyum lebar tanda kemenangan. Dan semua luntur ketika Irsya bilang—

"Pasti sakit ya Mas, ditikung sahabat sendiri? Maafin Irsya udah ngungkit-ngungkit."

Bodoamad Irsya.

.

.

.

"Enak ngga Mas sup tahunya?"

"Mm."

"Ngambek? Merajuk? Ngakunya dominan tapi tukang ambekan. Tch! Payah, baru digituin."

"Bacot."

"Iya, sayang Mas Ican juga."

"Ngga nyambung."

"Sinisin aja terus pacarnya. Kalau Irsya sakit hati ntar Mas Irsya kutuk, doa orang terzalimi itu cepat terkabulnya."

"Kutuk jadi makin ganteng biar gampang selingku—aw! Itu sendok sakit, sayang, retak ini tulang tangannya Mas."

"Ngga papa, yang penting bukan jantungnya retak, masih bisa hidup 'kan?"

"Tapi tangannya Mas kan gunanya buat muasin Adek, ntar siapa yang—aw! Udah ih sayang mukulnya, sakit beneran tau."

●●●

ɴᴇxᴛ ʟᴇᴠᴇʟ ▪ ᴄʜᴀɴᴍɪɴ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang