❝Kalo ada apa-apa tuh bilang.❞ - Lee Eunsang
❝Yaudah santai dong, ga usah ngegas.❞ - Shin Ara
Everyone was pretend to hide their own pain.
There is a story behind.
Just ease.
Slowly.
warn⚠️
°contains harsh words, typo, baku - non baku, etc
°latar...
"Udah bener ngga lo ngitungnya?" kata Eunsang begitu keluar dari ruang staff guru. Ara mengangguk.
"Awas kalo salah. Lo balik sendiri kalo ada yang kelupaan. Spidol? LCD? udah?" Eunsang bertanya lagi memastikan kalau memang sudah tidak ada yang tertinggal.
"Udah," jawab Ara.
"Bentar kalo nyampe kelas, lo kumpulin hape anak-anak di kotak ini, abis itu lo balik lagi kesini buat masukin ke loker, kuncinya kasih ke gue," Ara memicingkan matanya lalu melengos. Raut wajahnya seperti mengatakan 'Bawel bener lu, heran.'
"Iye iye Eunsang, udah," jawab Ara. Setelah itu Eunsang tidak bertanya lagi dan mereka berdua pun bergegas pergi ke kelas.
"Gue baru tau ternyata lu tuh bacot, asli." Ara menyahut di belakang Eunsang. Kedua tangannya memeluk tumpukan absen. Langkahnya agak ia percepat. Berusaha mengejar langkah kaki Eunsang yang lebar.
"Kapan gue ngebacot?" Eunsang menjawab ketika mereka berdua berbelok di koridor.
Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang di koridor kala itu. Karena memang jam pelajaran pertama sudah mau mulai.
"Yaaah, menurut ngana?" Ara memutar bola matanya malas.
"Lo tuh, apaya. Beneran diluar ekspektasi aja gitu," kata Ara geleng-geleng.
"Haha, emang ekspektasi lo apa?" Eunsang tertawa. Tapi tawanya lebih ke arah mengejek. Bikin Ara kesal.
"Dih ngapain nanya? Mikir sendiri sono."
~~~~~
Bel pulang baru saja berdenting ketika pelajaran fisika sudah selesai. Pak Jinhyuk yang mengajar pada hari itu membereskan buku ajarnya dan keluar dari ruang kelas tergesa-gesa.
Ara memasukkan buku serta alat tulisnya ke dalam tas. Ia mengecek laci mejanya kembali, memastikan bahwa semuanya sudah masuk ke dalam tasnya.
"Gimana iuran kasnya, udah selesai semua kan?" Telinga Ara tidak sengaja menangkap suara Eunsang ketika ia akan menyampirkan tasnya di bahu. Ara melirik sedikit. Ia bisa melihat Eunsang dan Yena berbicara satu sama lain sekitar dua meter dari tempat duduknya. Semenit kemudian, tatapan mereka berdua mengarah ke Ara.
"Lo bisa bareng Eunsang kan nyari perlengkapan kelas sama printilan buat 17-an?" tanya Yena tiba-tiba.
Ara terperanjat. Jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri "Gue?"
"Hooh Ra."
"Kenapa bukan lo aja, lo yang bendahara kan? Bukannya semua kas lo yang pegang? " balas Ara.
"Gue ngga bisa, abang gue udah nereakin gue ini daritadi, dia udah di depan. Lagi juga nih kunyuk satu baru bilangin gue sekarang, tau gitu kan gue bisa kabarin dulu biar dia-"
Drrrt drrrt
"Tuhkan gue bilang juga apa."
Ucapan Yena terpotong ketika ia masih berbicara dengan Ara. Ia merogoh sakunya dan mengangkat panggilan masuk dari ponselnya. Tepat saat dia mendekatkan ponselnya ke telinga-
"WOEE BANGSAATT LU PIKIR LU RATUUUU, INI GUE UDAH LUMUTAN ANYIING NUNGGUIN LO CEPETAAAAN BURU FAST GECE ATAU NGGA LU GUE GEPREK BEBEK MONYONG GEBLOOOH," teriakan Seungyoun- kakaknya Yena -menggema tepat di daun telinganya. Yena spontan menutup speaker ponselnya dengan tangan.
"Sabar woy bang ngga usah ngegas, iya iya gue udah jalan ke depan ini."
"CEPETAN WOEEE YA GUSTI GUE UDAH KEBAKAR INI... MANA TEMEN LU BANYAK YANG NGELIATIN GUE MENTANG-MENTANG GUE GANTENG SHiNInG ShIMmERiNG SpLeNDiD ASTAG-" Yena buru-buru mematikan ponselnya.
Beruntung gendang telinga Yena tidak pecah mendengar omelan abangnya. Dilihatnya Eunsang dan Ara yang melongo barengan melihat kelakuan kakaknya. Detik berikutnya, Ara mati-matian menahan tawanya.
"Gue ngga papa balik duluan kan ? Sorry banget Ra, ini abang gue udah berisik soalnya. Gue duluan yaaa. Sang maap." Yena nyengir dengan kedua tangan yang dikepalkan, kemudian lari keluar kelas. Meninggalkan Ara dan juga Eunsang yang sibuk menggulir layar ponselnya.
Diam.
Diam.
Masih diam.
Tetap diam.
Sampai akhirnya Ara membuka mulut.
"Besok aja ya?" Ara bertanya di sela-sela keheningan. Eunsang mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, lalu menatap Ara serius.
Ia menggelengkan kepala. "Ngga. Ngga bisa, harus hari ini. Nyadar ngga lu 17-an sisa tiga hari lagi. Besok juga gue ada urusan jadi ngga bisa."
"Yaaa, kalo besok ngga bisa ya besok lusanya lah," sanggah Ara tidak mau kalah.
"Oh gitu... Yaudah oke. Lo kerjain sendiri. Gue angkat tangan," ketus Eunsang. Ia menaikkan kedua tangannya lalu menurunkannya kembali.
Ara merasa asap semakin mengepul di kepalanya. Jengkel. Ia menghela napas panjang.
"Iyadah iya brisik. Trus Junho nya mana? Jangan bilang dia kabur juga?" tanya Ara setelah mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas dan tidak melihat sosok yang disebutnya.
"Tadi udah ijin di gue ngga ikut, soalnya katanya mau nganterin kakaknya ke kondangan. Ngga tau kalo bener."
Ucapan Eunsang barusan otomatis bikin Ara berpikir 'Sejak kapan woee Junho punya kakak, dia kan anak tunggal. Mantep asli ngibulnya. Konspirasi macam apa ini.'
"Oh, yaudah kali lusa aja perginya, karena kalo ada Junho kan- eh eh eh iyadah iya," Ara tidak jadi melanjutkan kata-katanya ketika melihat ekspresi wajah Eunsang yang berubah horror. Kayak mau marah tapi ngga juga tapi iya tapi, ngga tau deh.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Sumpah, ni anak batu banget, kesel." Ara bergumam pelan tapi masih bisa didengar oleh Eunsang.
Tidak tanggung-tanggung, Eunsang langung saja menoyor jidatnya Ara. "Gue ga budek asal lo tau. Gue orang bukan batu."