Pusing

348 12 0
                                    

Aku menatap para model yang berlenggak-lenggok memamerkan busana desainer yang sudah bisa ditebak bernilai jutaan. Aku sekarang berada di New York Fashion Week, bukan sebagai model tapi sebagai tamu undangan tentunya.
Mengingat ditanah air sedang heboh karena gosip tentang diriku. Entah mengapa job ku makin banyak saja, ada bagusnya juga karena aku bisa dengan mudah mengalihkan pikiranku dan tentunya aliran pendapatan akan lancar. Tapi yang buruknya aku harus sabar saja menghadapi nyinyiran dari orang-orang kepo. Malah justru sekarang yang kudengar mereka membuat berita aku kabur keluar negeri karena ingin menghindari pemberitaan ditanah air. Inginku teriak kayak Toa ketelinga mereka HEY GUE KERJA DISINI KAMPRET. Heran juga, kenapa sudah dua minggu berlalu, berita itu baru tersebar apalagi disaat aku sedang gencar-gencarnya melakukan tanda tangan kontrak dengan salah satu brand ternama luar negeri. Aneh bukan, aku memang merasa biasa-biasa saja dan terkesan masa bodo. Tapi Vivi yang paling pusing dan paling disibukkan karena masalah ini.

"kita langsung kehotel aja yah Ra." sahut Vivi sambil bergegas menuju mobil.
Acaranya telah usai, setelah melakukan sesi pemotretan, bertegur sapa dengan teman sesama model, artis internasional yang juga ikut hadir serta para desainer. Setelahnya aku hotel, check out kemudian kebandara untuk pulang. Aku memang tipikal yang tidak menye-menye, kalau memang untuk urusan kerja yah kerja, kalau sudah selesai yah selesai, setelah itu pulang dan selesai deh urusan.

"hmmm Ra, apa lebih baik kalau kita disini aja dulu." sahut vivi yang duduk disampingku dikursi penumpang.
Aku menatap Vivi sejenak kemudian beralih ke handphone ku malas.
"kenapa... Nggak perlu takut sama media Vi." jawabku santai.
Terlihat dengan jelas, manager ku ini sangat khawatir denganku. Aku kembali menatap Vivi menenangkankannya "kan ada kamu.. Aku nggak pernah takut kalau ada kamu disamping aku. Jadi jangan pergi terlalu jauh tetap disini aja." aku merangkul lengan Vivi, rasanya nyaman. Cuma Vivi yang selalu ada untukku. Vivi yang merawatku dengan sabar. Vivi yang menyayangi ku layaknya keluarga. Vivi yang kuanggap kakakku sendiri. Duniaku hanyalah dia, aku tidak bisa apa-apa tanpa Vivi.

"dasar bocah nakal." bisik Vivi mengelus kepala Raline lembut.

~

Kami kembali ketanah air dengan selamat. Dengan hanya memakai kaos oblong putih dengan celana panjang hitam serta sneakers. Tidak lupa tas selempang, kemudian aku mencepol rambutku asal, tidak ada riasan make up sama sekali, aku lebih suka tidak berias kecuali untuk urusan pekerjaan.
Vivi terus menggandengku mulai dari dalam pesawat bahkan saat berjalan keluar dari bandara.
Para wartawan yang sudah kutebak akan mewarnai kepulanganku tidak kusangka akan sebanyak ini.

"Raline apa benar anda sekarang dekat dengan seorang pria...
"Raline apa benar anda check in hotel dengan seorang pria...
"Raline apa pergi ke New York selain menghadiri fashion week juga alasan anda untuk menghindari awak media...
"Raline tolong ceritakan tentang New York Fashion Week yang anda datangi...
"Raline apa benar anda dekat dengan seorang CEO...
"Raline apa benar anda sudah sering keluar masuk hotel bersama para lelaki kaya...
"Raline...
"Raline...
"Raline...

Aku memejamkan mataku, sungguh gosip itu memang sangat mudah menyebar apalagi ditambah dengan sedikit bumbu. Aku menggenggam lengan Vivi semakin erat, aku sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya diam menunduk sesekali tersenyum pada fansku yang memberikanku buket bunga dan hadiah, para pengawal memberikan jalan dan Vivi berjalan lebih awal didepanku. Asistenku Sarah sibuk memasukkan barang kebagasi, setelahnya aku bisa tenang. Tidak ada lagi suara bising dari omong kosong para awak media, aku duduk tenang didalam mobil bersama Vivi disampingku dan sarah dibelakang. Aku memijat pelipisku, sungguh rumit ternyata.

"kenapa? Mau minum?" sahut Vivi.
Aku hanya menggeleng.
"Kak Raline nggak papa kan?" sahut sarah dikursi penumpang belakang. Sarah memang lebih muda dariku. Aku sempat enggan awalnya mempekerjakan dirinya yang masih belia. Tapi ia memohon dengan sungguh-sungguh mengatakan ibunya dikampung butuh uang untuk berobat. Aku yang tidak tegaan akhirnya menerima dirima, walaupun aku tidak memberikan pekerjaan yang berat dia anak yang rajin dan tidak pernah mengeluh.
"nggak papa kok sarah. Kamu pasti capek istirahat aja dulu." jawabku.
"kamu lapar?" sahut Vivi sekali lagi.
"nggak, aku nggak butuh apa-apa. Aku cuma mau tenang." jawabku sambil merebahkan tubuhku dan memejamkan mata.

"apa dia juga liat pemberitaan ini? Bagaimana reaksinya yah? Atau dia udah lupa? Apa dia khawatir sama aku? Apa dia lagi pusing mikirin aku? Apa dia.... " aku menggelengkan kepalaku, pikiranku sudah kacau. Aku menghela napas kasar, pikiranku tertuju pada insiden itu. Saat dia mengatakan akan tanggung jawab dengan sungguh-sungguh. Dalam hatiku bergejolak, apa dia benar-benar sungguh-sungguh? Atau cuma sekedar janji manis?

~

"Ra.. Raline.. " Vivi mengguncang bahu Raline lembut.
"hmmmpphhh...
Raline hanya menggeliat. Sejak dari bandara sampai diparkiran apartemen, Raline masih dalam keadaan tertidur.
"kita udah sampai, bangun yah." sahut Vivi.
Raline membuka mata dan bergegas turun dari mobil.
Raline berjalan gontai meninggalkan Vivi, Sarah dan Pak supir yang masih berkutat dengan koper dan barang lainnya dibagasi.
Setelah memasuki apartemennya langsung saja Raline menghempaskan tubuhnya dikasur empuk miliknya.
Kemudian disusul Vivi, Sarah dan Pak supir yang sibuk membawa barang.

"mau aku temani? " sahut Vivi.
"nggak usah, aku butuh sendiri."
"ya udah, aku pulang yah. Istirahat yang banyak, jangan banyak pikiran. Nanti kamu sakit."
"OKEY... makasih hari ini, hati-hati dijalan.. " jawabku serak.
Vivi dan Sarah serentak menjawab iya. Ketika pintu keluar berdecit dan mengeluarkan suara otomatis, seketika menjadi hening. Sudah kupastikan itu tandanya hanya aku, sendiri. Setiap hari seperti ini membuatku terbiasa, walaupun kadang-kadang Vivi atau Sarah bergantian datang untuk menemaniku disini. Bisa dibilang apartemenku ini cukup luas. bagaimana tidak, hunian high class dengan biaya tak main-main juga para penyewa yang rata-rata berpenghasilan selangit.  Namun, apa artinya hidup mewah tanpa rasa bahagia. Semuanya akan sia-sia, tak bernilai. Beginilah hidupku tidak lepas dari kata sendiri. Sedih? Aku pernah mengenal kata itu sejak umurku 16 tahun. Sekarang tidak lagi, bahkan meneteskan air mata saja tidak. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali menangis. Miris, menyedihkan, begitulah aku. Hidup sendiri tanpa kedua orangtua, tanpa keluarga, sebatang kara sama sekali bukan yang aku impikan.
Aku membenamkan wajahku didalam selimut.

"mom.. Dad.. Raka.. Aku kesepian."
Kataku lirih.

Beberapa menit aku tertidur dalam hangatnya selimut yang membalut tubuhku. Tiba-tiba saja suara dering bel berbunyi nyaring membuatku terbangun.
Menyebalkan, apa tidak bisa membuatku tenang sebentar saja.
Aku melangkah gusar menuju pintu melihat monitor yang menunjukkan tampang lelaki yang sedang berdiri didepan pintu. Aku tidak sembarangan membuka pintu untuk seseorang, aku harus mengecek terlebih dahulu. Bukan karena apanya, aku pernah mendapat pengalaman buruk ketika sembarangan membuka pintu untuk orang asing.

"siapa yah kayak kenal..." gumamku dari balik pintu.
Aku memperhatikan wajah pria itu sekali lagi. Ohh ternyata sitetangga. Aku tidak terlalu akrab dengan para tetangga diunitku ini. Tapi aku kenal beberapa, wajah mereka tidak asing.
"ada perlu apa yah.. " sahutku yang masih belum membuka pintu dari dalam rumah berbicara lewat monitor yang terpasang memungkinkan seseorang berbicara yang dari dalam rumah menuju luar pintu.
"saya baru ingat, saya punya utang sama kamu." jawab pria itu.
Utang? Batinku bertanya.
"utang apa yah mas? Saya nggak ingat."
"oh itu, mbak pernah nolongin saya bayarin tagihan listrik sebulan lalu. Saya merasa nggak enak, makanya saya mau kembalikan haknya mbak." jelas pria itu sambil tersenyum canggung.

Aku ingat, sebulan lalu aku baru saja pulang dari minimarket sekedar membeli cemilan. Tiba-tiba saja orang yang tinggal disebelah unit ku ini datang sambil memasang wajah mengenaskan padaku dan memohon untuk meminjam uang. Pikirku, dia ini sudah gila dan sangat memalukan. Aku sebisa mungkin tidak meladeninya dan segera bergegas pergi meninggalkannya dan mencoba menutup pintu. Namun, orang ini malah menahan pintu dan mengemis padaku memohon dengan wajah memelasnya. Aku sangat tidak suka diperlakukan seperti ini, aku tidak banyak berpikir dan segera mengeluarkan kartu ku dari dompet memberikannya dan mengancam akan melapor polisi kalau melakukan hal aneh seperti ini lagi. Aku tidak mempermasalahkan uang yang ada didalam kartu itu, tapi aku sempat merasa takut dengan orang ini. Dia tampak agak gila atau memiliki kelainan jiwa.

"oh nggak usah, saya ikhlas kok. Kamu ambil aja."
"saya beneran mau kembalikan, saya sungguh-sungguh. Mbak nggak usah takut, saya cuma mau kembalikan uangnya kok.. Beneran. Sumpah demi tuhan! Kalau mbak nggak percaya saya bak...
Aku membuka pintu.
"nggak usah bawa-bawa nama tuhan."
Seketika mataku melebar, terkejut melihat pemandangan didepanku sekarang.

"kamu... "
"kita butuh bicara."





.
.
.
Assalamualaikum
Hmmm kenapa simbak Raline kaget yah...😁
Jangan lupa vote komen kritik dan sarannya yah...
Makasih
Syukron

Dia adalah RALINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang