Hampa

271 8 0
                                    

"Tunggu, ada 1 2 3... Huft."
Ini udah makin kelewatan, apa Papi harus segitunya sama aku?
Malam ini aku dinner bareng Friska disalah satu restoran Jepang, itupun karena perintah Papi. Tapi lucunya, ternyata sampai ada 3 bodyguard yang ngawasin. Hey, gue nggak bakalan cekik anak orang sampai mati. Lagian kenapa Papi lebay banget, sumpah gue udah nggak tahan lagi.

"Rey, kamu kenapa?." Tanya Friska yang tiba-tiba menepuk pundakku terlihat cemas.
"Kamu bengong mulu dari tadi, kenapa makanannya nggak enak yah."

Aku tersenyum menatap Friska.
"Friska, kamu dari awal udah tau kan aku nggak suka sama kamu."
Aku lihat Friska menghelas napas cukup kasar.
"Iya aku udah tau. Kamu jelasin itu jelas banget kok. So, kamu mau bicarain soal perempuan itu lagi."
Aku tidak menyangka reaksi Friska sebegitu marahnya. Dan ini kali pertamaku melihat dia begitu marah. Aku pikir dia tidak menganggap hubungan ini dengan serius.
"Bukan begitu friska, tapi aku udah mulai bosan dipaksa terus sama Papi. Dan aku...

"Cukup! Itu karena hati dan pikiran kamu masih ada perempuan itu! Kenapa kamu nggak pernah buka hati kamu buat aku. Apa yang kurang dari aku Rey? Apa?!...
"UDAH FRISKA! Aku nggak nyangka kamu bakalan bilang hal bodoh kayak gitu. Nggak ada yang kurang dari kamu Friska. Tau nggak, kamu makin berubah dari Friska yang aku kenal sejak pertama kita ketemu."
"Itu karena aku suka sama kamu! Aku suka sama kamu Rey, aku cinta sama kamu. Apa kamu sebodoh itu buat sadar sama perasaan aku. Itu karena kamu masih sibuk pikirin perempuan itu. Kita udah sejauh ini, hari pernikahan kita udah dekat."
Aku masih nggak percaya sama apa yang aku dengar. Ini makin rumit.
"Tapi maaf Friska, aku nggak akan pernah bisa suka ataupun cinta sama kamu."
"KENAPA?! kenapa nggak bisa? Cinta itu datang karena terbiasa Rey. Kamu hanya perlu terima aku. Itu aja, lupain perempuan itu dan hidup bahagia sama aku."
"Friska kamu buat aku takut. Kamu kenapa? Apa cinta udah buta-in mata sama pikiran kamu. Nggak mungkin kita hidup bahagia tanpa cinta. Maaf Friska tapi aku harus hentiin ini semua."
Aku mulai berdiri meninggalkan Friska.
"Rey!."
Aku berbalik menatap Friska yang sudah mulai menangis. Kami jadi tontonan orang tentu saja. Bahkan aku yakin sepulang dari rumah orang suruhan Papi akan mengadu dan aku akan mendengarkan ceramah lagi dirumah. Tapi aku tidak peduli, sepertinya Friska sudah menganggap semua tindakan baikku padanya sebagai tanda bahwa aku menyukainya. Tapi aku melakukan itu sekedar karena tuntutan bahwa ini perintah dan aku harus menjalaninya walaupun dipaksa. Aku juga sudah menganggap Friska sebagai saudaraku sendiri. Aku masih tidak menyangka dia malah menyatakan perasaannya, dari awal aku pikir dia perempuan baik yang selalu mensupportku.

"Apa kamu setega itu sama aku..."
"Udah Friska kita diliatin banyak orang. Udah kita pulang aja, aku antar kamu pulang."
"Nggak! Rey buka mata kamu, aku ada disini buat kamu setiap harinya. Aku selalu ada buat kamu kalau kamu butuh dan nggak butuh. Tapi kenapa kamu masih milih dia! Ada aku disini Rey, ada aku. kenapa kamu masih simpan dia dihati kamu. Dia juga udah pergi jauh, dan nggak bakalan mungkin dia kembali lagi Rey..."

"Darimana kamu tau dia pergi jauh."

*

Dirumah ini, ada banyak kenangan yang tertinggal didalamnya. Dulu, ditempat ini aku bisa tertawa lepas, bahagia, suasana riuh dan ramai, tapi kini terasa kosong. Tinggal rumah tua yang hanya meninggalkan cerita penuh kenangan.

Dibagian belakang rumah, ada sebuah kolam renang berukuran cukup besar menghadap kelaut. Disini angin berhembus kencang, menciptakan suasana nyaman bagiku. Aku tertidur diatas sebuah ayunan bergaya tempat tidur, ayunan favoritku sejak kecil. Dulu disini, aku tertidur sambil dipeluk oleh daddy. Namun sekarang sepertinya, hanya ada kekosongan yang tersisa.

"Hey Ra! Gue mau ke Ubud bareng Vivi. Mau ikut nggak?." Teriak Leo dari arah pintu.

Aku tidak menjawab, aku hanya menggeliat dan membenamkan kepalaku dengan bantal.

"Ra! Mau ikut nggak!."
"udah, nggak usah. Mungkin dia capek, ngantuk, biarin aja. Jangan diganggu." Sahut Vivi.

Vivi kemudian menghampiri ku dan menepuk pundakku pelan. "Ra, aku sama Leo mau jalan-jalan. Bentar aja kok, kalau ada apa-apa telon yah. Jangan lupa, Telpon kalau ada apa-apa!. Aku pergi dulu ya!."

Selang beberapa menit, mereka sudah pergi. Tinggal aku sendirian. Aku bangun dari tidurku, kemudian berjalan menyusuri rumah. Foto kecilku disetiap dinding rumah masih terlihat dengan jelas. Foto daddy, mama dan adikku. Aku tersenyum melihat bingkai foto berukuran besar yang menghiasi dinding, aku sadar ternyata aku dulu tampak sangat lucu dan menggemaskan. Aku kemudian berjalan kearah meja makan, tidak ada yang berubah. Dulu disini aku selalu merengek meminta mama memasak masakan kesukaanku tiap hari, ayam goreng kecap. Aku sekali lagi tersenyum, masa lalu yang begitu indah.

*

"Vi, sebenarnya Raline itu kenapa sih. Dulu setiap kita ada pemotretan atau ada event atau have fun di Bali dia selalu nolak. Tapi kenapa sekarang, kaburnya kesini. Semenjak disini dia juga jadi pendiam banget. Yah gue tau dia lagi banyak masalah. But you know, she's like a different person." celoteh Leo sambil mengemudi.

Vivi menghela napas.
"iya bener dia lagi banyak masalah, banyak pikiran. Gue nggak bisa bantu banyak, gue juga nggak bisa membalikkan keadaan dengan mudah. Ada banyak hal yang orang lain nggak tau tentang dia, apalagi lo. Sejak gue kenal dia, gue belum pernah liat dia menikmati hidup dengan tulus. Ada hal yang selalu buat dia merasa kosong, hilang, dan hampa. Dan ditambah dengan masalah ini, gue nggak tau bagaimana perasaan dia saat ini."

"maksud lo apa sih Vi! Gue nggak ngerti sama omongan lo! Apa yang hilang, apa yang buat dia nggak bahagia." Leo menggebu-gebu.

"lo tau kan, dia hidup sendiri sejak masih kecil."

"iya gue tau, orang tuanya udah nggak ada. Jadi itu yang buat dia nggak pernah bahagia."

"lo tau bagaimana orang tuanya meninggal?."




.
.
.
Terkadang sesuatu yang menyakitkan akan selalu kamu kenang. Seberapa menyakitkannya itu, akan selalu tersimpan baik didalam memori mu.

Dia adalah RALINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang