Mereka berdua tampak kebingungan dengan melirik satu sama lainnya mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku. "Lah bukannya hari ini udah mau malam no?"
"Mau malam?"
"Apa yang mereka bicarakan sekarang? Bukannya sekarang masih sore?" gumam ku dalam hati dan mengarahkan pandangan ke langit.
Memang sepertinya sudah mulai redup. Namun aku masih bisa melihat jelas.
"Dah... Dah... Sekarang, kita harus ngelakuin apa?" tanya Melati menatap ku.
Mendengar pertanyaan Melati, membangunkan ku dari lamunan tak berguna ini. Aku berpikir untuk membangun tenda disekitar sini.
Tapi. "Huft... Gak ada tenda... Huft...." gumamku dengan membuang napas dengan kasar.
Mereka berdua tetap menatapku lamat-lamat. Pastinya mereka menunggu keputusan untuk kami.
Selain membuat tenda, aku belum menemukan solusi yang tepat untuk kondisi saat ini. "Apa yang gua harus lakuin ya?" gumamku dengan suara pelan.
KRAKKK!!!
Terdengar suara pintu gerbang yang terbuka dari kamp cabang tersebut. Kami bertiga langsung menoleh ke gerbang kamp itu. Melihat kamp tersebut ternyata masih ada orang-orang yang selamat, membuatku sedikit lega.
Dengan cepat, kami menemui mereka yang baru saja keluar dari dalam kamp tersebut. Dan, mereka yang keluar rata-rata adalah pria yang masing-masing membawa senter
"Mereka juga sudah nyalain senter, apa memang udah malam ya?" pikirku dalam hati.
Setelah jarak diantara kami sudah semakin dekat, kami berkontak mata satu dengan sama lainnya.
Hampir saja aku ceroboh. Karena mereka kebanyakan pria, aku meminta kepada mereka berdua agar bersembunyi. "Kalian berdua sembunyi di sini dulu, nanti kalo udah aman gua kasih tanda ini ya...," ujarku dengan mengasih tanda jempol.
Mereka menganggukan kepala. Setelah mereka setuju, aku menuju para pengungsi itu dari semak-semak.
Rupanya mereka memasang siaga untuk membidik tubuhku dengan senjata api yang mereka pegang. "Siapa lu?!" ucap salah satu orang yang bertubuh kekar dan paling depan.
Aku langsung mengangkat kedua tangan untuk memberi pesan bahwa aku masih sehat. "Gua masih manusia... Gua masih manusia...."
Mereka tetap membidik ku tanpa mendengarkan terlebih dahulu. Ini yang paling aku tidak suka, yaitu lebih mendahulukan emosi daripada akal.
"Retno ... Apa kamu udah berhasil membujuk mereka?"
Baru sampe sini
Terdengar suara Melati yang berada di belakang ku. Begitu juga Mawar yang sudah memegang pistolnya di balik bajunya.
Keringat membasahi tubuhku dari kepala sampai leher. Aku takut, para pria ini menjadikan mereka "sasaran" napsu mereka.
Bagaimana aku tidak khawatir, di kondisi "edan" ini, semua lupa dengan napsu mereka. Apalagi aku melihat beberapa orang dari mereka tersenyum setelah Mawar dan Melati datang.
Aku berdeham untuk memecah tatapan incaran beberapa orang itu. "Ehem... Apa sekarang kami bisa masuk?"
Ketika aku bertanya seperti itu, mereka langsung bergerombol. Sepertinya, mereka mendiskusikannya terlebih dahulu.
Beberapa puluh detik kemudian, mereka selesai dan salah satu mereka yang bertubuh gempal maju. “Maaf anak-anak, kamp disini sudah penuh dengan para pengungsi,
"tapi kami dapat info dari pihak dalam ternyata untuk pengungsian masih ada namun hanya 2 orang saja yang bisa masuk.”
“Hah? hanya sanggup 2 orang saja? Kamp sebesar ini?” Dalam hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virus Injection Blood [END] ✓
Science FictionMenceritakan Retno beserta kedua teman ceweknya, Mawar dan Melati, mencari cara untuk bisa ke tempat perlindungan yang terbesar di daerah Jakarta, GBK (Gelora Bung Karno). Sebelumnya, Retno yang terjebak di ruang UKS sendirian dan terkunci dari luar...