thirteen

877 82 17
                                    

Madre
Madre

M A D R E

Nama itu terngiang-ngiang ditelingaku seperti bisikan halus berbuntut rasa ingin tahu

Siapa dia?!

Jika dia adalah pasangan padre.. Mengapa padre memilih tak bersamanya?! Mengapa padre seakan melupakannya
Seolah Madre hanyalah bayangan indah tersimpan dikepala

"maaf.. Tapi aku ada kelas, bisa disambung setelah jam bebas? "aku berujar, tak benar-benar meminta persetujuannya

Jantungku berdetak pelan, tak ada kenyamanan saat berbicara dengannya

Atau karena dia asing

Atau.. Aku terlalu takut untuk mengenalinya

"ok.. I'll call you latter honey.... Madre gonna miss you dear ..see ya brylea"

Asing

.. Aku benar-benar merasa asing
Seharusnya ku jawab apa adanya, tetapi kembali aku berbasa basi

"ok... "

Telepon terputus, hatiku belum berhenti berdebar untuk tenang, aku merasa yang ku lakukan benar dan juga salah.

Dua perasaan itu mengawali jam dimana seharusnya aku belajar dengan damai.

Lisa mengamati tiap lembar ujung kertas jatuh dari jemariku, tanpa ia sadari sebenarnya suara desau angin diluar sana jauh lebih masuk ke telingaku dari pada suara penjelasan seorang dosen muda mengusung sebuah materi penting yang kelak akan ku sesali.

Huft...

Aku benci diriku yang seperti ini, selalu mudah memikirkan masalah abu-abu yang tidak seharusnya ku fikirkan.

Ketika mata dosen matematika wicasaka menatapku dalam-dalam, kusadari betapa melamun dipelajarannya adalah tindakan menghina.

Jadi sebelum ia menegurku, aku membenarkan posisi duduk dan arah mataku sambil tersenyum tipis. Lisa memergoki keengganan dosen wicasaka atas usahaku meredam kesalahan.

Pelajaran dua jam pun berlangsung dengan khidmat, sementara pulpen ditanganku tak berhenti menulis beberapa materi yang dihujani rumus layaknya bom.

Aku mendesah lega dalam dua tarikan lepas, menjejakkan kakiku selurus mata memandang ke arah pilar-pilar kokoh tersusun rapi disepanjang koridor.

Di ujung sana ku lihat sosok yang menyebalkan tadi pagi, ada arlan bersama teman-temannya asik berbicara sampai tertawa terpingkal-pingkal, tentu saja kakiku refleks berputar haluan melangkah lagi ke arah lisa.

Temanku terperanjat ketika baru lima menit lalu kami berpisah dikelas dan bertemu lagi, alis indah lisa naik melihat senyum cengengesanku.

"hai... Kau bilang mau ke perpustakaan kan? "tanyaku mengingat lisa akan memutuskan meminjam beberapa buku sebelum memutuskan menemuiku di kantin

"ya... "lisa  membaca raut gugupku

"ada apa bryl? "

Ujung jariku menujuk ke arah diriku sendiri, dengan suara putus-putus

DetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang