Detak

twenty nine

aku tak pernah percaya pada keajaiban

menumpu harapan pada harapan

terlihat lemah, kecil dan menyedihkan

hal itu tidak menyelamatkanku

dari jalan yang tuhan berikan padaku.

Tuhan

tidak membuatku percaya adanya keajaiban.

Tuhan

menghiraukan air mataku

teriakanku

dan doa yang mengering dari bibirku

membutakanku pada keajaiban

jangan salahkan aku !

aku hanya mencoba untuk

jujur

DETAK

-gio pov-

pada akhirnya aku melihat hari buruk terulang kembali, pada akhirnya....

kami tak pernah benar-benar mendapatkan keajaiban

tuhan ingkar padaku

bodohnya diriku percaya akan harapan terjadi di kehidupan kami

harapan itu tak pernah ada

harapan itu hanyalah semu.

aku menatap ke setiap sudut, atap, lampu yang terang dan bangku tunggu yang lebih angkuh dari egoku, tenggorokkanku mengering saat melihatnya tertunduk lemah dengan bahu terjatuh.

wajah kami yang tak lagi sama, cara berdiri kami yang kini berbeda dan tanggung jawab kami tak bisa ditanggung bersama namun satu hal yang tak berubah, kami tak pernah menyukai aroma rumah sakit.

aromanya seburuk timbunan darah beku didepan mata

atau bangkai yang di telantarkan

atau...salah

mungkin dia sudah terbiasa

hanya aku yang belum terbiasa berdamai dengan apa yang tidak ku suka

aku ingin datang mendekatinya, memberinya usapan dibahu karena memeluknya menjadi hal paling sulit.
jika memeluknya, detak panik itu membuatku ketakutan

kecemasannya menulariku

jadi ku hindari mendengar apapun yang akan membuatku merasa lemah, karena dalam situasi apapun lemah bukanlah sifatku.

beberapa suster berlalu lalang, mereka berbicara pelan dan sempat memperhatikan wajahnya, keduannya menyembunyikan rona merah di pipi, semburat yang ku abaikan karena selalu seperti ini.

dulupun aku mendapatkan reaksi yang sama, sebelum waktu mengubahku menjadi rumput liar, mereka melewatiku tanpa ada warna merah di pipi, bahkan mereka terkesan aneh dan setengah takut saat melirik wajahku yang tak terlihat normal.