0.3

499 86 10
                                    

Sore hari sekitar pukul 3 waktu setempat. Jenar seperti biasa menunggu di gazebo dekat parkiran mahasiswa. Sebenarnya Jenar sudah biasa menunggu. Tapi, hari ini rasanya berbeda. Jenar sedikit gusar dan tidak nyaman.

Gadis dengan rambut panjang terurai itu sesekali memeriksa jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia makin tidak tenang karena biasanya Deska keluar kelas tepat waktu meskipun harus bertemu dosen pembimbing lebih dulu. Tidak sampai molor satu jam begini. Motornya masih ada. Helm juga masih lengkap. Itu tandanya Deska masih di kampus. Obrolan terakhir mereka pun ditutup dengan Deska yang meminta Jenar menunggunya sampai datang.

Jenar gusar. Menunggu seperti ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuknya. Jenar tidak sabaran. Ia benci menunggu. Baginya, waktu adalah peluang. Dan menunggu tanpa kejelasan dan kepastian seperti ini benar-benar tidak berguna.

Sebentar lagi adalah jadwalnya untuk bertemu dengan rekan kerja dari sebuah majalah lokal. Jenar benar-benar memerlukan Deska segera. Bukan hanya untuk menemaninya atau mengantarnya saja. Tapi jauh dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Jenar khawatir. Jenar belum tenang sebelum mengetahui bahwa Deska baik-baik saja.

Ia menghela napasnya dalam. Sudah berdiri dan mengambil tasnya. Jenar bersiap menyusul Deska ke kelas pemuda itu karena Deska tidak kunjung muncul. Namun Jenar urungkan niat begitu melihat Deska datang.

Deska menghampiri Jenar di gazebo. Dan selama Deska berjalan, Jenar amati pemuda itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut berantakan. Kacamata yang bertenggger dihidung mancung pemuda itu retak parah. Pasti Deska kesulitan melihat karena memang penglihatannya cukup buruk. Bajunya pun lumayan kotor. Jaketnya robek sedikit di lengan sebelah kiri. Wajahnya berdebu. Juga sepatu putih yang biasanya bersih, kini berubah warna menjadi abu tua bercampur coklat juga basah.

"Kok kotor banget? Lu dari mana?" Jenar langsung bertanya. Tangannya meremas lembut tali tas yang ada digenggamannya. Khawatir tentu saja. "Gue nunggu satu jam. Lu kenapa baru datang?" Jenar kembali bertanya.

Deska membalas dengan senyum canggung kemudian membersihkan sedikit pakaiannya. "Kita pulang ke kost gue dulu, ya? Gue bau. Enggak etis dong kalo nganter elu dalam keadaan mirip gembel pinggir jalan gini. Terus ini kotor semua, basah semua," kata Deska tanpa menjawab pertanyaan Jenar. Ia malah sibuk merapikan penampilannya yang memang berantakan.

Jenar langsung muram. Kalau Deska tidak mau menjawab itu tandanya sesuatu buruk baru saja terjadi padanya. Dan itu pasti karena Jenar.

"Besok-besok, gue aja yang nyamperin ke kelas lu. Biar lu enggak gini lagi. Kasian mbak tukang cuci di kost-an lu kalo nyuciin baju lu yang kotornya minta ampun." Jenar mendekat lalu mengeluarkan sapu tangan dan menyeka wajah Deska yang berdebu.

Deska menatap Jenar dari dekat. Tak berani bernapas karena takut Jenar kebauan. Hingga Jenar selesai menyeka lembut wajahnya, barulah Deska bisa bernapas lega.

"Yaudah. Pulang sekarang, ya. Udah sore. Lu laper pasti. Muka lu jelek kalo lagi laper," kata Deska setengah bercanda.

Jenar manyun sebentar lalu tersenyum. "Makan nanti aja selesai lu mandi. Tapi beli bakmi ayam Mang Jaja dekat kost-an lu, ya."

Deska langsung mengangguk setuju. "Oke, Bos. Lu yang bayar, ya? Jatah bulanan gue habis buat skripsi."

"Iya, tenang aja. Asal lu temenin sampai rapat gue sama redaktur majalah itu selesai."

Keduanya pun berjalan beriringan. Menuju motor bebek merk Honda berwarna hitam yang terparkir di bawah pohon tak jauh dari tempat Jenar tadi menunggu.

"Iya, gue temenin sampai selesai." Deska berjanji dengan yakin.

_______

Terima kasih sudah setia menunggu Jenar dan Deska.

See you soon

20 Agustus 2019, VYNVION

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang