1.0

467 78 25
                                    

“Kamu apa kabar?” Deska tersenyum menatap Jenar usai melepaskan pelukannya. Ia sungguh tidak menyangka bisa bertemu dengan Jenar di tempat itu. Sudah sekian lama mereka berpisah bahkan tanpa ucapan perpisahan yang layak. Dipertemukan seperti ini sungguh kebetulan yang menyenangkan.

Jenar masih terkejut dengan pertemuan antara dirinya dengan Deska. Ia hanya bisa terdiam dan menatap pemuda itu lama. Ia mengamati Deska yang sudah sangat ia rindukan. Deska sepertinya banyak berubah. Selain penampilan fisik, sikapnya yang sekarang berbeda dengan yang terakhir Jenar ingat.

“Baik. Kamu apa kabar, Deska?” Ada sensasi berbeda saat Jenar menyebutkan nama pemuda itu kali ini. Biasanya, Jenar merasa kosong. Tapi sekarang, menyebutkan nama dihadapan si pemilik secara langsung, rasanya jauh lebih membahagiakan.

“Aku juga baik. Gak nyangka bisa ketemu disini. Kangen banget sama kamu.”

Sebuah ucapan yang blak-blakan. Terlalu terbuka. Ternyata Deska memang sudah berubah. Bukan lagi si pemalu. Atau seseorang yang menahan diri seperti dulu. Deska yang ada dihadapan Jenar sudah tumbuh menjadi Deska yang lebih terbuka. Ingin rasanya Jenar membalas ucapan itu dengan kalimat yang sama. Namun yang keluar dari mulut tidak sesuai kata hatinya.

“Kamu sering kesini?” tanya Jenar.

Deska mengangguk. “Sering. Biasanya sama kolega atau calon pengguna jasaku.” Deska memberi jeda sejenak. “Ayo duduk dulu! Ngobrol sambil berdiri rasanya kurang nyaman.” Deska mengajak Jenar duduk di sebuah meja kosong tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Deska memesan minuman untuk mereka berdua. Selesai membayar, ia duduk menemani Jenar sembari menunggu pesanann datang. “Masih suka kopi dengan karamel? Aku pesenin itu buat kamu,” kata Deska.

“Masih. Kamu juga masih suka kopi susu?” balas Jenar.

“Masih. Gak pernah berubah. Cuma kopi dengan susu murni aja udah enak banget. Aku gak perlu yang terlalu manis.”

Jenar mengangguk. Sudah hafal betul dengan kesukaan Deska yang satu itu.

“Kamu janjian sama orang atau memang sengaja ngopi sendiri, Jen?”

“Aku? Janjian sama Aira. Ada kerjaan di studio dekat sini. Jadi sekalian nunggu, sambil ngopi aja.”

Deska tersenyum kecil. “Masih jadi model? Sepertinya makin sukses sekarang. Aku sering loh, secara gak sengaja lihat foto kamu terpampang diiklan yang ada di pinggir jalan. Atau video yang muncul pas aku buka aplikasi youtube.”

Jenar balas tersenyum. Padahal Deska sering melihatnya meski secara tidak langsung. Tapi kenapa Deska tidak berusaha menghubungi Jenar? Apakah dia tidak merasa hutang penjelasan?

“Ini satu-satunya pekerjaan yang bisa aku lakuin dengan caraku. Aku bisa bebas dan tidak terikat dengan kontrak budak maupun tekanan pekerjaan yang tinggi. Menurutku, ini adalah pekerjaan paling nyaman yang bisa aku lakuin sekarang ini,” tutur Jenar.

Deska mengangguk kecil. Setuju dengan alasan yang diungkapkan Jenar. “Sekarang kemana-mana sama Aira, ya?”

“Iya, dia yang ngurus semuanya. Pekerjaan, iklan, unggahan di akun media sosial. Yah, gitu, lah. Kamu ngerti pastinya.”

Deska tertawa kecil. “Teramat sangat mengerti karena memang aku dulu pernah mengalami hal itu. Cuma, mungkin keadaan sudah berubah sekarang. Pekerjaanmu makin banyak seiring tawaran yang masuk juga semakin banyak. Iya, kan?”

Jenar tersenyum sebagai tanda membenarkan penuturan Deska. “Keadaan berubah, dan kita pun berubah. Dan kamu yang lebih banyak berubah.”

Ucapan Jenar barusan membuat suasana disekitar mereka terasa berbeda. Deska ikut merasakannya. Menemukan mata Jenar menatapnya dengan cara yang lain. Juga udara yang terasa sedikit aneh. Sejuk namun juga sedikit sesak.

“Oiya, Padahal aku sering kesini. Tapi kok gak pernah ketemu kamu, ya?” Deska coba mengalihkan pembicaraan.

“Mungkin takdir. Kayak di film,” Jenar tersenyum kecil. “Tapi sekarang, setelah sekian lama akhirnya ketemu juga. Takdir kadang emang selucu itu,” kata Jenar.

“Iya, kamu benar. Sebelum berpisah lagi, boleh bagi nomer telfonnya?” Deska mengeluarkan gawai dari saku jaketnya dan ia sodorkan pada Jenar. “Mumpung ada kesempatan, aku gak boleh lewatin buat lakuin ini. Siapa tau, bisa ngobrol kayak dulu lagi.”

Jenar menatap Deska yang masih setia menunggunya menyambut permintaan dari pemuda itu. Ia lantas mengambil gawai milik Deska dan mengetikkan nomernya. Selesai itu, Jenar kembalikan benda berbentuk persegi panjang dengan warna hitam itu pada Deska.

“Bagus. Aku simpan nomer kamu. Aku bakal hubungi nanti. Semoga ada pertemuan lain yang lebih menyenangkan.”

Pertemuan lain? Apa iya? Jika ya, bisakah itu segera? Aku kangen pengen ngobrol lebih lama, batin Jenar.

Jenar mengangguk tanpa menjawab. Sungguh, Jenar dihadapan Deska rasanya berbeda. Lebih diam dan mengikuti alur. Jauh berbeda dengan Jenar yang biasanya cukup cerewet dan lebih banyak bicara. Ini seperti melihat Deska dan Jenar yang bertukar kepribadian. Deska yang terlihat bersemangat dan banyak bicara sementara Jenar hanya mengimbangi.

Beberapa saat kemudian pesanan mereka datang. Jenar mendekatkan kopi padanya. Ia kemudian menikmati minuman itu untuk sedikit mengurangi kecanggungan yang perlahan menyelimuti mereka. Sesekali ia mencuri pandang pada Deska lantas tersenyum kecil entah untuk alasan apa.

“Kamu masih tinggal di rumah lama kamu?” tanya Deska usai menyimpan nomer Jenar dan memasukkan gawainya kembali ke dalam saku dalam jaketnya.

“Umm.. udah gak. Aku tinggal di apartemen di gedung C. Kamu tau daerah itu?”

“Gedung C? Yang di dekat Kantor Urusan Agama bukan?”

Jenar mengangguk membenarkan. “Iya. Depannya itu kan ada taman. Nah gedungnya tepat di seberang jalan itu.”

“Oh, iya. Pernah tau. Aku pernah desain ruangan disalah satu unit di gedung itu soalnya.”

“Desain ruangan? Kamu pindah jurusan dari arsitek ke desain interior, ya?” tanya Jenar yang memang ingat bahwa jurusan yang diambil Deska dulu adalah arsitek dan bukannya desain interior.

“Itu, aku memang arsitek. Tapi aku belajar desain interior juga. Ambil gelar ganda setelah pindah waktu itu,” jelas Deska.

Jenar pun menggut-menggut saja. Baru tahu karena memang mereka juga baru kali ini bertemu.

Sekian tahun terlewat ternyata memang banyak yang sudah terjadi. Penddikan Deska, juga pekerjaan yang ia lakoni yang Jenar baru tahu. Padahal Deska pernah bekerja didekatnya. Ternyata memang belum berjodoh sehingga tidak bertem secara langsung.

“Des, aku--” belum sempat Jenar meneruskan ucapan, sebuah telfon masuk menghentikannya. Memaksa Jenar untuk menjawab telfon itu lebih dahulu.

Jenar berdecak sebal. Padahal Deska sedang memperhatikannya yang hendak bicara tapi suara gawainya terdengar begitu bising memanggil-manggil.

“Bentar, ya. Aku terima telfon dulu.” Jenar menyingkir sebentar kemudian menjawab telfon yang ternayat dari Aira.

“Iya... Gak kok ini masih di kafe.. iya Ai.. Iya aku kesana sekarang.. Iya.. Oke.” Hanya sebentar Jenar menjawab telfon itu lalu kembali menghadap Deska.

“Aku harus pergi. Aira sudah sampai di studio dan aku harus mulai ambil gambar,” kata Jenar dengan wajah sebal yang begitu kentara.

“Oh, gitu. Yaudah gak apa-apa. Nanti aku hubungi kamu kalau udah selesai urusan.”

Jenar mengangguk. “Duluan, ya Deska,” pamitnya.

“Iya, Jenar. Hati-hati.” Deska kembali tersenyum dengan sangat cerah. “Sampai ketemu lain waktu.”

_______

Sampai jumpa dengan Deska dan Jenar selanjutnya.

20200417

Vynvion

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang