1.4

670 85 43
                                    

Hidup ini kadang adil bagi kita, kadang juga tidak. Keadaan berjalan sering kali tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan atau kita harapkan. Keadaan yang kita alami sekarang, terkadang terasa melelahkan. Membuat kita berpikir, kenapa kita mengalami ini. Apa yang telah kita perbuat hingga kita harus berada pada situasi yang seperti sekarang ini. Semua pertanyaan seputar itu memenuhi kepala kita dan membuat kita mengalami stres atau bahkan sakit kepala yang tidak tertahankan.

Deska pernah berada pada fase itu. Fase dimana ia merasa sangat terpuruk, fase dimana ia lelah akan hidup dan kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan tanpa jawaban pasti. Saat dimana ia benar-benar merasa hidup yang ia jalani sungguh tidak adil dan ia merasa sangat kelelahan. Deska pernah berada pada masa itu, mengutuk takdirnya dan jatuh dalam kegelapan hati yang membuatnya sempat sakit secara fisik.

Namun ketika semuanya sudah berlalu, dan saat Deska melihat ke belakang. Ia sadar bahwa masa itu adalah proses paling berharga tapi juga paling menyakitkan baginya. Masa itu adalah saat dimana ia dituntut menjadi dewasa dan berpikir lebih realistis sebagai seseorang yang baru. Masa yang ia lalui saat itu membuatnya tersadar bahwa hidup ini benar-benar seperti roda, kadang diatas kadang juga dibawah.

“Deska,” panggil Jenar mengguncang lembut bahu pemuda itu.

Deska agak terkejut lalu tersadar dari lamunannya. “Eh, iya. Maaf, kenapa?” Deska menegakkan duduknya kemudian menatap Jenar penuh perhatian.

Jenar menghela napas, “Kamu ngelamun?”

“Sedikit,” jawab Deska.

“Ini benar alamatnya? Supirnya tanya dari tadi gak kamu jawab. Dia bingung sama alamat yang kamu kasih.”

Deska kemudian melihat ke jalan.  Mengamati sekitar lalu memberitahu supir taksi online yang membawa mereka dari bandara Ngurah Rai ke alamat yang dituju. “Depan belok kiri, Pak. Nanti rumahnya kanan jalan, yang ada pohon bunga kambojanya,” kata Deska.

“Baik, Bli.” Supir itu mengerti tentang petunjuk yang Deska berikan.

Jenar mengamati Deska yang nampak sedikit murung. Sepertinya setelah obrolan panjang mereka selama di dalam pesawat tadi, Deska menjadi sedikit berubah. Murung, juga terlihat lelah disaat bersamaan. Mungkin karena ia harus membuka luka lama dengan mengingat semua kejadian yang sudah ia lewati sebelumnya. Demi menjelaskan keadaannya pada Jenar, Deska rela mengingat kenangan pahit yang juga mengecewakan itu. Berharap Jenar dapat mengerti dan memahami posisinya saat ini.

Deska menghela napasnya dalam. Melihat itu, Jenar mengusap bahu Deska lembut lalu memberikan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibuka lebih dahulu. “Minum, biar lebih tenang.”

Pemuda itu menatap Jenar lalu meraih botol dan meminum isinya hingga setengah. Iatersenyum kecil dab mengucapkan terima kasih.

“Kamu perlu istirahat. Begitu sampai rumah, mending tidur dulu aja,” kata Jenar.

Deska menggeleng. “Aku udah janji mau ajak kamu jalan-jalan, ngabisin waktu berdua.”

“Tapi kamu capek, nanti malah gak bisa nikmatin jalan-jalannya. Kamu nurut aja kenapa, sih?”

“Tapi, Jenar…”

“Nurut kataku atau aku pulang,” ancam Jenar.

Sebenarnya ancaman seperti ini agaknya terlalu berlebihan bagi Jenar. Apalagi hubungan mereka belum jelas. Seperti tidak ada hak baginya untuk mengatakan hal semacam itu.

Deska sendiri menyerah. Lelah sekaligus pasrah. Tidak ingin menghancurkan rencana jalan-jalan yang sudah ia rencanakan. Akan tidak baik jika memang Jenar pergi hanya karena masalah sepele seperti ini. Masih cukup waktu bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama.

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang