1.1

464 81 13
                                    

"Jadi, lu tuh tadi ketemuan dulu sama Deska? Kok bisa?" Aira membuntuti Jenar yang baru keluar dari ruang ganti. Sedari tadi ia menunggu Jenar hanya untuk bertanya beberapa hal yang membuatnya penasaran. Apalagi kalau bukan tentang pertemuan antara Jenar dan Deska.

"Ketemuan dan gak sengaja ketemu itu dua hal berbeda, Aira. Dan untuk kasus gue dengan Deska tadi namanya gak sengaja ketemu bukan ketemuan," kata Jenar sedikit mengoreksi perkataan Aira. Takut kalau sahabatnya itu salah tangkap dengan cerita Jenar tadi.

"Iya, gue tau. Apapun itu sebutannya, yang jelas lu sama Deska ketemu, kan? Kalian ngobrol? Lama gak?"

Jenar menghela napas. Ia sudah lelah usai pengambilan gambar, kini malah diberondong dengan pertanyaan dari Aira. Padahal sudah jelas tadi Jenar menceritakan semuanya disela pekerjaan mereka. Namun sepertinya Aira belum puas dengan cerita Jenar.

"Ngobrol, Aira. Tapi gak banyak. Tadi elu keburu nelfon dan nyuruh segera kesini."

"Tapi kalian berdua tukeran nomer telepon, kan?"

"Bukan tukeran. Lebih tepatnya Deska yang minta nomer gue. Udah, ya. Jangan nanya lagi. Capek gue, kepengen pulang terus rebahan."

Aira cemberut lalu mencebik. "Yaudah, gue gak nanya lagi. Selesai ini lu bisa pulang dan berdoa, semoga si Deska itu buruan kirim pesan atau telepon. Terus kalian berdua bisa kangen-kangenan, deh."

"Gitu?" Jenar menyampirkan tas dibahunya. "Bantuin doa, ya. Semoga si Deska gak sibuk. Apalagi lihat gimana dia sekarang."

"Dia sekarang? Kenapa?"

"Dia udah berubah, Aira. Bukan Deska yang sama." Jenar menjawab sekenanya.

Ia lantas berjalan duluan meninggalkan studio sambil sesekali menyapa staf dan mengucapkan terima kasih. Aira pun mengekor di belakang Jenar sambil menenteng tas perlengkapan yang tadi ia bawa. Keduanya berdiri bersebelahan begitu sampai luar studio. Menunggu taksi online yang tadi Aira pesan untuk mengantar mereka pulang.

Aira mengamati Jenar yang telihat agak melamun entah memikirkan apa. Sahabatnya itu nampaknya sedikit gusar setelah obrolan diantara mereka. Tebakan Aira, mungkin ini tentang Deska. Memang beberapa waktu belakangan, hanya topik tentang Deska yang mampu membuat Jenar berubah suasana hatinya.

"Jenar," panggil Aira.

"Hm," Jenar hanya menjawab dengan menggumam singkat.

"Lu masih sayang sama dia, kan? Bukannya harusnya lu seneng dia muncul lagi?"

"Hm, ya. Gue seneng kok. Sampai gak bisa berkata-kata. Tapi, gue rasa dia bukan Deska yang dulu. Meski secara fisik dia gak banyak berubah, tapi sikapnya beda. Gue merasa ada sisi Deska yang hilang. Dan entah, apakah perasaan gue ke dia masih perasaan yang sama atau sekedar rindu yang menumpuk yang setelah menemukan obatnya bakal sembuh gitu aja."

Aira diam sesaat memilah kata yang tepat untuk ia sampaikan pada Jenar. Sepertinya Jenar sendiri sedang bingung dan Aira tidak ingin Jenar makin terbebani apabila ia salah bicara.

"Jen, waktu berubah. Lu berubah, gue berubah, apalagi Deska. Kita gak tahu, kan. Apa yang selama ini Deska alami. Apa yang Deska lakukan selama kalian jauh, mungkin itu yang membuat Deska menjadi dirinya yang sekarang." Aira menjeda sesaat.

"Selama perubahan itu baik dan masih wajar, gue rasa itu bukan sebuah masalah. Mungkin itu adalah cara dia menyesuaikan diri dengan keadaan yang sedang dia alami. Lagi pula menilai seseorang melalui pertemua pertama menurut gue kurang bijak," lanjut Aira tenang tanpa berusaha menggurui atau mempengaruhi Jenar dengan pendapatnya.

Jenar menghela napas. Memuang napasnya panjang lalu mengangguk. "Iya, lu bener. Gak adil kalau gue menilai dia yang sekarang hanya dari pertemuan kami tadi."

Aira mengusap bahu Jenar lembut. Memahami betul perasaan Jenar yang memang sedang kacau. "Udah jangan dipikirin terlalu dalam. Lakuin aja seperti biasa. Ikutin arus air, dan lu bakal tau apa yang harus lu lakuin."

•••

Pukul sembilan malam. Jenar baru selesai bersiap-siap untuk tidur. Mencuci tangan dan kaki, berganti piyama, juga mengenakan produk perawatan wajah. Jenar sudah naik ke atas kasur untuk memeriksa jadwal yang ia catat di gawainya. Kebiasaan yang sudah Jenar lakukan sejak melakoni pekerjaannya saat ini.

Usai memastikan jadwalnya besok, Jenar mengatur alarm supaya besok bisa bangun tepat waktu. Baru meletakkan gawai miliknya di atas meja sebelah tempat tidur, benda berbentuk persegi panjang berwarna hitam itu berbunyi. Sekali masih Jenar biarkan. Namun ketika sudah bebunyi beberapa kali, barulah ia meraih kembali benda itu untuk memeriksa siapa kiranya yang menghubunginya pada jam itu.

08xxxxxxxxxx
Hai Jenar, ini aku Deska. Kamu sudah tidur? Aku ganggu, ya?

Jenar langsung membuka matanya lebar dan membaca ulang pesan yang masuk dari nomor yang baru ia kenal. Ia cukup merasa terkejut melihat siapa gerangan yang mengirim pesan. Deska rupanya. Antara senang dan bingung, Jenar menatap layar gawainya cukup lama.

"Dia beneran kirim pesan?" monolog Jenar. "Bales gak, ya? Kalo gak dibales kan udah ketahuan kalo gue baca." Jenar menimbang sesaaat. Lantas ia putuskan untuk membalas pesan setelah terlebih dulu menyimpan nomor itu.

Jenar
Hai, iya. Aku simpan nomer kamu. Aku belum tidur. Gak ganggu kok.

Beberapa saat menunggu, gawai Jenar berbunyi lagi.

Deska
Apa kamu banyak jadwal? Kapan ada waktu kosong? Aku pengen ngobrol sama kamu.

Jenar
Maaf. Selama seminggu ini jadwalku cukup penuh. Bagaimana kalau minggu depan? Ada sekitar dua hari istirahat.

Deska
Okey. Kasi tau aja kapan tepatnya. Aku atur jadwal buat kamu.

Jenar
Iya. Tapi Deska, agak aneh rasanya. Kamu pergi ngilang gitu aja. Begitu balik udah seperti ini. Aku rasa kamu banyak berubah.

Deska
Keadaan berubah tidak seperti kehendak kita. Maaf. Aku kembali disaat yang gak tepat, ya? Kasi aku waktu buat jelasin ke kamu.

Jenar
Aku gak tau kita ini apa. Aku gak tau kita ini gimana. Apa aku berhak denger penjelasan kamu nanti, kita lihat aja kedepannya.

Deska
Aku ngerti, Jen. Aku paham. Saat ini cukup kasi aku kesempatan buat deket sama kamu lagi.

Jenar
Aku gak janji. Tapi aku harap semuanya akan baik-baik aja.

Deska
Aku juga berharap hal yang sama. Besok ada waktu sebentar? Aku pengen ngajak kamu makan siang.

Jenar
Besok gak bisa. Tapi sekitar jam tiga aku udah selesai kerja dan ada waktu sekitar dua jam sebelum pemotretan.

Deska
Oke. Besok minta waktunya dua jam itu, ya. Pengen makan sama kamu. Aku mohon, ya?

Jenar menghela napas sebentar. "Lu kenapa, sih? Kenapa bikin gue kayak gini?" dumel Jenar menatap layar gawainya yang masih menyala menunggu balasan.

Jenar
Iya. Yaudah, aku tidur dulu.

Deska
Terima kasih, Jenar. Selamat malam. Tidur yang nyenyak.

"Kalimat ini, udah lama banget aku ingin baca lagi pesan seperti ini dari kamu," monolog Jenar menatap layarnya sekali lagi tanpa membalasnya.

Jenar simpan benda itu ke tempat semula. Merebahkan diri dengan nyaman dan menarik selimut sebatas dada.

"Selamat malam juga, Deska. Doakan aku tidur nyenyak," kata Jenar lalu memejamkan mata.

_______

Sampai jumpa dengan Deska dan Jenar di chapter selanjutnya.

29042020

Peachest ♡

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang