1.3

476 73 31
                                    

Senja telah berganti malam. Lampu-lampu kota satu  per satu mulai menyala menerangi gelapnya malam. Jalan semakin ramai. Semakin bising dengan klakson kendaraan yang saling bersahutan ditengah macet yang mengular panjang.

Hampir pukul delapan malam. Jenar dan Aira baru selesai melakoni pekerjaan mereka. Jenar dengan kegiatannya sebagai model dan Aira selaku asisten. Lelah mendera keduanya. Memaksa sepasang sahabat itu untuk beristirahat demi memulihkan tenaga serta mendinginkan pikiran.

Beberapa menit yang lalu, Mas Wisnu mengantarkan Jenar dan Aira untuk pulang. Keduanya pun diantar ke apartemen Jenar sesuai permintaan. Aira sendiri yang memang sudah lelah memutuskan untuk menginap di tempat Jenar malam itu.

Begitu sampai apartemen, keduanya lebih dulu pergi mandi. Aira di kamar mandi tamu yang letaknya dekat dapur. Sementara Jenar mandi di kamar mandi yang ada di kamar pribadinya. Usai mandi dan berganti pakaian, Aira membuka makanan cepat saji yang mereka beli di jalan tadi. Memindahkannya ke piring agar ia dan Jenar mudah untuk menikmatinya.

“Makan dulu, Jen. Lu belum makan malam, kan?” kata Aira begitu melihat Jenar keluar dari kamarnya dan duduk bergabung di sofa depan televisi.

“Iya. Makasi, Ai.” Jenar dengan malas mengambil piring yang sudah Aira siapkan dan mulai memakannya.

“Lu kenapa? Sejak pulang ketemuan sama Deska tadi kelihatan muram banget. Kalian ada masalah?” tanya Aira sambil sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya.

Jenar menggeleng. “Gak, kok. Gak ada masalah antara gue sama dia. Walau masih agak asing, gue sama dia perlahan mulai terbiasa.”

“Terus apa yang salah? Gue tuh tau banget, lu bukan tipe orang yang akan muram dan berubah suasana hati begitu aja.” Aira mencoba mengorek sedikit alasan yang membuat Jenar tiba-tiba muram sejak pulang dari pertemuannya dengan Deska.

Jenar mengaduk-aduk makanannya. Tiba-tiba kehilangan selera makan. “Deska emang udah berubah, Ai. Kehidupan dia, emang udah berubah. Dan gue, terlalu egois mikirin diri gue sendiri yang ditinggal dia tanpa kejelasan.”

Aira menghentikan kegiatan makannya dan fokus pada Jenar. Bersiap mendengarkan apa yang ingin Jenar sampaikan.

Jenar menatap Aira sendu kemudian berujar, “Deska punya ibu tiri dan seorang adik berusia lima tahun.”

•••

Siang tadi setelah makan siang bersama. Deska mengantar Jenar ke studio tempat Jenar akan melanjutkan pekerjaan. Sepanjang perjalanan, mereka saling diam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Deska dengan pikirannya sendiri. Dan Jenar dengan rasa ingin tahunya mengenai perempuan dan anak kecil yang tadi mereka temui di restoran.

Sampai depan studio, Deska memarkirkan mobilnya kemudian mematikan mesin. Begitu Jenar hendak turun, Deska menahan tangannya lembut supaya Jenar tetap tinggal.

“Jenar, tunggu. Ada yang pengen aku omongin,” kata Deska.

“Soal apa?” balas Jenar.

“Kamu gak pengen nanya mereka siapa?” tanya Deska yang tangannya masih menggenggam tangan Jenar.

“Kalau kamu gak pengen aku tau, kamu gak perlu bilang mereka siapa.” Jenar membalas dengan tenang. Kontras dengan perasaannya yang berkecamuk. Khawatir dengan kenyataan yang akan ia ketahui yang mungkin akan membuatnya kecewa.

Deska melepaskan tangan Jenar lembut kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kemudi. Ia menghela napas kemudian bercerita, “Nama perempuan itu Puri. Dan anak kecil tadi namanya Dea. Mereka adalah keluarga lain yang dimiliki papa.”

Jenar diam, menunggu Deska melanjutkan ceritanya. Meski hanya sepotong dan belum jelas, dari cerita itu Jenar bisa menduga bahwa ada masalah yang cukup sensitif diantara Deska dan keluarganya.

“Lima tahun yang lalu, papaku menikah lagi dengan perempuan itu. Perempuan yang usianya lima tahun lebih tua dariku. Papa rela kehilangan hartanya demi menikahi perempuan itu. Papaku orang yang selalu aku banggakan karena kesetiaannya dan rasa sayangnya pada keluarga, rela mengingkari perjanjian pernikahannya dengan mama dengan mengatakan bahwa ia mencintai perempuan itu sama seperti ia mencintai mama. Dan inilah hasilnya, sekarang aku punya dua mama dan satu papa.”

Jenar masih diam. Perasaannya jadi tidak enak. Seperti ikut merasa kecewa. Ia tahu betul bagaimana keadaan keluarga Deska sebelumnya. Mereka sangat harmonis. Papa Deska sangat romantis terhadap mama Deska. Teringat jelas dalam benak Jenar bagaimana orang tua Deska begitu saling mencintai.

“Aku gak bisa cerita banyak soal ini. Sekarang cukup itu aja yang perlu kamu tau. Dan aku harap kamu gak berpikir buruk tentang aku karena memiliki papa seperti dia,” kata Deska dengan pandangan yang sulit Jenar artikan.

•••

Aira langsung menghela napas begitu Jenar selesai menceritakan apa yang sudah Deska sampaikan padanya tadi siang. Kenyataan bahwa kini Deska harus membagi papanya dengan orang lain tentu saja sulit untuk diterima oleh Deska sendiri. Aira ikut merasakan bagaimana kecewanya karena ia sendiri pernah kehilangan. Bedanya adalah papa Aira meninggal karena sakit dan tidak bisa ia temui lagi. Sementara papa Deska ada, tapi sudah tidak lagi sama karena ia harus membagi kasih sayangnya.

Aira menatap Jenar dengan lembut. Ia juga ikut merasakan kebingungan yang Jenar rasakan setelah mengetahui kenyataan itu. Sebagai sahabat baik Jenar, Aira cukup paham keadaanya yang terjadi sekarang.

“Jenar, gue paham kalo lu pasti bingung harus gimana ke Deska kedepannya. Tapi Jenar, yang gue tangkap dari apa yang Deska bilang ke elu adalah dia berharap lu gak berubah sikap ke dia. Dia gak pengen lu mikir yang aneh-aneh tentang dia. Gue yakin dia masih inget dan hafal sama kebiasaan lu yang satu itu. Kebiasaan lu yang suka menduga-duga sesuatu yang bahkan belum tentu bener,” ujar Aira.

“Terus maksud lu adalah setelah gue tau kalau keluarganya dia bermasalah gue bakal jauhin dia gitu? Aira, gue gak bego. Gue bisa bedain mana yang perlu gue lakuin dan mana yang gak," protes Jenar merasa sedikit tersinggung.

Aira tersenyum lembut dan merangkul Jenar. “Bukan begitu. Jangan marah dulu. Gue paham kok kalau  lu udah berubah. Udah gak mikir buruk terhadap sesuatu dan narik kesimpulan secara instan kayak dulu. Cuma, gue kira adalah maksud Deska tuh dia takut kalau elu bakal berubah cara padang lu tentang dia.”

Jenar menatap Aira berusaha mencerna maksud perkataan sahabatnya. “Maksudnya?”

“Maksud gue adalah, kalian kan udah lima tahu pisah. Kalian pasti berubah satu sama lain. Termasuk cara pikir kalian tentu udah beda. Lebih matang dan lebih dewasa. Nah, kan kalian belum mengenal satu sama lain sekarang. Setelah lima tahun, kalian menjadi dua orang yang baru. Sekarang yang kalian perlukan itu adalah saling mengenal lagi. Jadi gue rasa, lebih baik lu terima ajakan dia buat ke Bali itu. Supaya lu sendiri bisa yakin apakah Deska berubah atau gak. Dan lu tentu bisa yakin apakah perasaan lu ke dia masih sama atau udah berubah.”

Jenar menghela napas pendek. Diam sambil berpikir, Jenar mempertimbangkan saran dari Aira yang ia rasa memang ada benarnya. Mungkin yang terbaik adalah mengenal Deska yang sekarang. Baru ia bisa menyimpulkan, apakah Deska masih sama dan apakah perasaannya pada Deska pun masih sama.

“Ya, gue rasa itu memang keputusan terbaik sekarang. Memberi kesempatan diri kami masing-masing untuk mengenal satu sama lain. Dan keputusan buat nerima ajakan dia ke Bali sepertinya adalah pilihan yang tepat.”

Aira mengangguk setuju. “Bagus kalau lu juga mikir begitu. Buruan kabari Deska. Lebih cepat lebih baik.”

_______

Sampai bertemu dengan Deska dan Jenar di chaper selanjutnya.

02052020

•Peachest•

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang