Jenar mengenal Deska secara singkat pada sebuah pertemuan arisan yang lucu. Saat itu, mama keduanya berkumpul dalam acara penggalangan dana di sebuah kafe. Jenar menemani mamanya sementara Deska hanya mengantarkan mamanya lalu menjemputnya setelah acara selesai. Dalam sebuah obrolan singkat yang terdengar iseng, mama Deska berkata, "Kalian satu kampus, kan? Nah, pas! Kamu bisa minta tolong Deska kalau ada apa-apa. Sebagai gantinya, kamu kenalkan anak tante dengan salah seorang teman baikmu nanti. Kasihan, Deska belum pernah pacaran."
Kala itu Jenar masih tersenyum dan menanggapinya dengan candaan ringan. Namun, setelah 4 tahun candaan itu rupanya menjadi beban tersendiri.
Pertama kalinya Jenar berkenalan dengan Deska, keduanya mengobrol ringan dan singkat. Lalu mama mereka saling menitipkan anaknya satu sama lain. Meminta keduanya untuk saling menjaga karena tinggal jauh dari orang tua. Bahkan Jenar masih ingat, ia berjanji akan mengenalkan Deska dengan perempuan baik supaya Deska bisa merasakan indahnya masa pacaran. Namun, semuanya berbeda hingga 4 tahun berlalu hingga masa kuliah mereka hampir usai.
Jenar baru menyadari belakangan. Bahwa selama hampir 4 tahun ini hanya Deska yang memenuhi janjinya. Deska menjaga Jenar dengan baik. Memastikan Jenar tidak salah bergaul dan mampu memilih siapa yang pantas bersamanya dan siapa yang tidak. Deska mengantar Jenar kemanapun dia pergi. Menemani Jenar kapanpun ia bisa. Bahkan menjaga saat Jenar sakit.
Jenar sedikit menyesal, ia belum bisa memenuhi janjinya pada mama Deska. Jenar belum berhasil membuat Deska pacaran. Perempuan terdekat Deska hanya Jenar saja. Deska selalu bersikap tidak tertarik pada perempuan yang mencoba mendekat. Ia dan Jenar menempel satu sama lain.
Meskipun mereka sering menghabiskan waktu bersama dan saling menceritakan tentang banyak hal, Jenar dan Deska belum pernah berbicara tentang pasangan atau seperti apa orang yang mereka sukai. Deska selalu menghindari obrolan seperti itu dengan Jenar. Hingga pernah Jenar berpikir buruk bahwa Deska tidak menyukai perempuan. Namun, itu hanya kemungkinan terburuk. Jenar percaya Deska masih normal.
"Des, menurut lu Aira cantik?" Jenar bertanya dengan santai sambil mengaduk isi minumannya dengan sendok kecil.
Suasana kafe yang cukup nyaman dengan iringan musik lembut dan nyanyian yang ditampilkan secara langsung, membuat Jenar bisa bersikap wajar ketika bertanya. Sekalipun sebenarnya ia gugup luar biasa.
Deska yang tadinya asik menikmati nyanyian merdu penyanyi kafe diatas panggung kecil pun menoleh. Ia menatap Jenar sesaat lalu tersenyum. "Semua perempuan cantik, Jen. Kodratnya. Mana ada perempuan ganteng?"
Jenar mendengus. "Klasik," balasnya. "Laki-laki tuh jawabannya selalu gitu. Katanya semua perempuan cantik. Tergantung bagaimana dia membawa diri dan menghias dirinya. Ya bener emang. Tapi mata laki-laki hampir semua mirip. Lihat yang bening, matanya enggak kedip. Lihat yang seksi, bingung nyari nomer ponselnya. Lihat yang lugu dikit, bingung mau macarinnya."
"Itu mungkin adalah segelintir laki-laki alias cowok yang lu kenal, Jen. Kecuali gue." Deska langsung mengecualikan dirinya. "Oke, anggaplah jawaban gue klasik. Tapi kalo lu nanya soal fisik, buat gue pribadi fisik itu bonus. Yang penting dia itu sikap sama sifatnya, serta gimana dia bisa membawa diri. Lu enggak mungkin dong milih cowok asal ganteng sama punya harta doang. Fisik sama duit itu cuma sementara. Tapi sikap sama sifat itu menurut gue bertahan selamanya. Itu hal yang bisa bikin lu betah sama satu orang dalam waktu lama."
"Sikap sama sifat bisa berubah tergantung cara pikirnya, Deska. Lu masa gitu aja enggak tahu?" Jenar mengaduk minumannya dengan raut sebal.
Deska tersenyum lalu menegakkan duduknya. "Lu bener. Sifat sama sikap bisa berubah. Tergantung pola pikir juga wataknya. Tapi, menurut gue, sifat dan sikap juga pola pikir seseorang itulah yang bisa nunjukin seberapa berharganya dia."
Jenar mencermati ucapan Deska lalu berdehem dan melanjutkan pertanyaan yang tadi belum Deska jawab. "Oke. Terserah anggapan lu aja gimana. Lu belum jawab pertanyaan gue tadi. Jadi, kalau perempuan seperti Aira. Menurut lu gimana?"
Deska tidak kunjung menjawab. Ia malah tersenyum misterius. Membiarkan Jenar menunggu.
"Aira baik. Itu jawaban yang bisa gue kasih."
Jenar membuang napas kasar. "Bukan itu, Deska. Menurut lu sebagai laki-laki, Aira tuh masuk kriteria cewek yang lu suka apa bukan?"
Deska menautkan alisnya. Bingung dengan maksud ucapan Jenar.
Mengerti kalau Deska tidak paham dengan maksudnya, Jenar mendekatkan kursinya pada Deska lalu berbisik, "Gini, Aira kan cantik, pinter, jago masak pula. Nah kan cocok buat lu yang apa adanya gini. Mau gue jodohin sama Aira? Dia lagi enggak ada pasangan. Lu sendiri kan sama, pas dong."
Mendengar ucapan Jenar, Deska langsung tertawa ngakak. Menganggu orang sekitar yang menjadikan mereka berdua pusat perhatian. Jenar terpaksa membungkam Deska dan menatap sekitar dengan senyum canggung sambil meminta maaf.
"Udah dong, Des. Gitu aja ngakaknya sampe satu kecamatan denger," dumel Jenar usai melepaskan bungkamannya pada Deska.
Deska masih tertawa meski kecil. "Habisnya, elu nanya sesuatu yang enggak penting banget. Sok mau jodohin gue. Sendirinya aja belum pernah pacaran. Enggak malu, Jen?"
Jenar merasa disadarkan. Memang benar Jenar sendiri belum pernah pacaran. Lalu dia sekarang malah sibuk dengan menjodohkan Deska dengan Aira.
Jenar nyengir lebar sambil menatap Deska. "Iya, ya? Gue aja jomblo. Tapi gapapa, Des. Yang ngantri gue banyak. Masalahnya, yang ngantri di elu enggak ada. Selain antrian yang mau nagih utang."
Deska menatap Jenar. Mendelik lalu menjitak kepalanya. "Ngomongnya suka bener dasar," kata Deska lalu keduanya tertawa bersama.
_______
Selamat menikmati kisah Jenar dan Deska.
22 Agustus 2019 , VYNVION

KAMU SEDANG MEMBACA
Schicksal [END]
Fiksi RemajaDeska dan Jenar terjebak dalam hubungan perasaan yang tidak jelas. Lalu mereka berpisah sebab salah satunya menghilang. Hingga dalam sebuah keadaan bernama kebetulan, takdir bekerja dengan kuasanya. START : 16 Juni 2019, di Indonesia. END : 01 Juni...