0.6

481 86 19
                                    

Sebulan setelah hari dimana Deska mengantar Jenar pulang, cowok itu sudah tidak terdengar lagi kabarnya. Sibuk dengan urusan yang Jenar tak tahu apa. Deska seperti menghilang. Dan Jenar merasa kehilangan.

Sebulan yang sudah lewat sejak Jenar tidak menjawab pertanyaan Deska waktu itu. Tentang apakah Jenar nyaman dengannya. Waktu itu Jenar tidak menjawab dengan pasti dan sekarang setelah semua berlalu, Jenar mulai merasa menyesal. Ia dihantui dengan rasa bersalah juga desakan untuk segera memberikan jawaban. Bukan dari Deska, melainkan Aira. Sahabatnya itu merasa bahwa Jenar terlalu membuang waktu. Hingga timbul dugaan, bahwa Deska marah dan selama sebulan ini ia sama sekali tidak menjawab pesan maupun telfon dari Jenar.

“Lu udah coba cari ke kelas yang biasa dia datangi? Udah nyoba nanya ke Wahyu atau temennya yang lain?” Aira terus memberondong Jenar dengan pertanyaan yang sama setiap kali ada kesempatan. Bagaimana tidak? Jenar sendiri seperti seseorang yang kehilangan akhir-akhir ini. Ia tampak murung dan tidak bersemangat. Ia juga jarang mau berkumpul dengan teman-temannya bahkan lebih sering untuk langsung pulang ke tempat kost.

“Udah, Ai. Gue udah nanya ke temennya. Tapi yang gue dapet cuma jawaban bahwa si Deska itu sibuk. Tapi sibuk kok begini banget. Sebulan loh, Ai. Sebulan dia sama sekali gak jawab telfon atau sms atau chat gue. Aneh, kan? Dia tuh kayak sengaja menghindar gitu.” Jenar mendengus kesal setelahnya. Duduk menundukkan kepala sembari memainkan ujung map yang ia bawa. Gazebo dekat parkiran ini memang sudah seperti sebuah tempat wajib baginya dan Aira untuk bertemu. Tentu saja selain untuk saling berbicara, disini Jenar bisa sambil mengawasi. Mana tau Deska datang dan memarkir motornya disana seperti biasa. Namun seperti sudah di gariskan, mereka sama sekali tidak pernah bertemu. Aneh memang. Satu kampus tapi tidak bertemu sama sekali selama sebulan.

“Terus lu maunya gimana, Jen? Semua kan balinya ke elu. Gue saranin ke kost-an dia, lu bilang gengsi. Itu satu-satunya tempat yang jelas bakal dia datengin tiap hari loh.”
Jenar menghela napas. “Kost-an dia isinya cowok semua, Ai. Dia selalu larang gue kesana sejak dulu.”

“Lah, terus sekarang gimana, Jen? Gue nih kayaknya udah mulai muak dan males lihat Lu terus-terusan kayak begini. Gak semangat sama sekali, bahkan buat liburan aja lu males. Kalo lu gini terus, dan gak ada perubahan, masih bisa lu bilang kalo lu gak ada rasa sama Deska?”

“Jangan mulai deh, Ai. Kita gak lagi bahas soal perasan disini.”

“Gak bahas gimana? Jelas-jelas ini semua ada hubungannya sama perasaan. Ya perasaan lu, ya perasaan Deska. Kalo lu emang suka sama dia, sayang sama dia. Apa salahnya jujur? Jujur sama diri lu sendiri dan jujur sama Deska. Lupain gengsi, lupain perkara dia bakal bales atau enggak. Yang penting lu jujur dulu. Hati lu juga perlu yang namanya kelegaan. Bukan galau memendam ketidakjelasan begini.”

Aira menatap Jenar dengan sabar. Ia usap lengan sahabatnya itu dengan lembut. “Jen, kalau lu masih merasa gak pantes buat Deska karena sifat lu yang lu rasa nyusahin dia dan gengsi lu yang gede itu. Lu mending mikir lagi. Turunin ego. Kesempatan gak datang dua kali. Jangan setelah kesempatan lu hilang, lu baru menyesal.”

_______

Sampai bertemu lagi dengan Deska dan Jenar ♡

20202403

Vynvion

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang