15

22 3 0
                                    




Sinar pagi menerangi seluruh aktivitas kota. Permulaan yang bagus untuk mengerjakan pekerjaan baik rumah maupun kantor.

Tak ada kendaraan apapun yang melintas, semua orang di sarankan -wajib- untuk berjalan kaki di seluruh kota. Baik jauh maupun dekat, tak ada yang memperdulikan waktu. Bisa saja mereka menundanya agar tak menyebabkan pertumpahan darah di negeri ini.

Tak ada pesawat maupun kapal yang berlayar. Hanya ada perahu kecil dengan tenaga dayung dari seorang yang ahli di bidang kelautan dan militer. Di kota ini kalian harus terbiasa dengan suasana yang tenang. Bahkan tak dibiarkan musik atau nyanyian keluar begitu saja dari kepala-kepala kreatif. Mixer? Jangan bermimpi kau bisa menggunakannya, seluruh alat yang berisik akan disita dan pemiliknya akan di asingkan di daerah kecil di sudut laut dan tidak akan ada lagi yang akan melihat pucuk hidungnya. Entah hilang atau telah mati kelaparan atau jasadnya sudah diterkam ikan hiu atau monster laut yang buas. Bisa dipastikan kalian tidak akan melihatnya lagi.

Legenda mengatakan bahwa seekor naga besar berkeliaran di daerah itu. Dan ada yang bilang ia berkepala tiga, berbadan putih dan penuh dengan sisik disekujur tubuhnya. Entahlah yang aku percaya adalah dia benci berisik? Mungkin.

Bahkan selama ini suara yang dapat kukeluarkan hanya sebatas suara kecil hanya untuk berbicara biasa.

Begitu sunyi.

Sampai kapan aku- ah tidak- kami akan terus menjalani sepi yang teramat seperti ini. Sudah 25 tahun aku hidup dan aku tak mau menghabiskan sisa umurku untuk menghadapi sepi seperti ini.

|||


"YA! BISAKAH KITA BERHENTI!"

"B*doh, berhentilah berteriak br*ngs*k!"

"AKU SUDAH MUAK DENGAN INI SEMUA."

"Diam, b*ngs*t! Kau tahu, kau satu-satunya keluargaku. Berhentilah, Jackson!"

Lelaki yang dipanggil Jackson itu mengeraskan rahang dan menatap tajam pada Jooheon. Urat di dahinya begitu terlihat jelas walau dari jarak lima atau enam meter.

"Kita akan tahu seberapa bahaya dunia ini jika adanya peraturan adalah untuk dilanggar. Bahkan kau masih mempercayai tahayul-tahayul itu kan? Sudahlah. Takkan ada yang terjadi bila kau hanya berteriak seperti tadi."

Jooheon hanya meneruskan berjalan dengan sepatu semi karet untuk meminimalisir suara. Ia mengerti perasaan kakaknya itu, dia adalah tangan dan kepala kreatif di dunia ini. Tapi ia hanya bisa menuangkannya dalam sebuah lukisan.

"Aku tahu kau sangat suka bernyanyi, Jackson. Tapi tenanglah, aku tak mau kehilanganmu. Walau dengan gelang ini seluruh penduduk kota terlindungi, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa suara yang kita keluarkan akan melebihi batas frekuensi yang ada. Berteriak dan bernyanyilah di bantal, kukira itu akan mengurangi dampak getaran yang ditimbulkan."

"B*doh, kau telat memberitahuku. Kau kira aku ini idi*t, hah?!"

"Haha! Kau selalu jenius Jackson. Kau selalu melampauiku."

Terlihat gurat kemenangan di wajah Jackson. Selama ini dia selalu memutar otak agar bagaimana rasa sesak dihatinya bisa dikeluarkan dengan nada yang indah. Disitulah ia menemukan saat Jooheon tertidur memeluk bantal di depan wajahnya, suara dengkuran yang terdengar begitu kecil. Yang berarti, getaran yang dihasilkan sedikit.

Ia menang.

"Hei, Jooheon! Semalam aku bermimpi aneh."

"Apa?"

"Aku bermimpi jika akulah yang pertama kali menciptakan gelang ini." Dengan lengan kanan yang terangkat di udara sehingga Jooheon dapat dengan mudah melihat gelang antidote milik Jackson.

"Ya.. mengaranglah sesukamu."

|||

Di dunia yang serba modern ini, seluruh smartphone sepenuhnya tidak dilengkapi dengan fitur speaker untuk mengeluarkan nada. Mempunyai sensitivitas yang tinggi sehingga pemiliknya dengan mudah mengatakan kalimat-kalimat penting dengan frekuensi nada yang kecil. Sudah di desain sedemikian rupa pula, agar tak ada fitur 'getar' di dalamnya.

Getaran.

Ya.

Itulah yang sebenarnya dilarang di dunia ini.

Bila hujan dan gemuruh petir datang, seluruh penduduk sudah dihimbau untuk mengenakan jas hujan berwarna hitam di luar rumah. Entah apa tujuannya, tapi itulah jas hujan dengan warna satu-satunya di kota ini. Dan seluruh penduduk sudah dibiasakan untuk selalu membawanya di berbagai keadaan. Entah itu jas hujan, payung pun boleh. Namun, hanya warna hitam.

Kota monokrom dengan atap berlapis warna hitam dan dinding yang -hanya diperbolehkan menggunakan- berwarna redup seperti cokelat, putih gading, hijau lumut dan warna serupa lainnya membuat kota ini seakan kota mati.

Siapa pula yang tahan dengan kota seperti ini, banyak aksi masyarakat untuk memprotes pemerintahan. Namun, apa yang bisa mereka buat bila sesaat kemudian hanya ada darah mereka di jalanan.

Tak mungkin kau memprotes pemerintahan dengan nada yang pelan, kan? Kau mengerti maksudku.

Bahkan media yang ikut meliput pun ikut terkena imbasnya.



|||

"Apa yang harus kita lakukan?"

Sorot mata yang tajam, badan kekar berdiri tegap, pakaian yang rapih dan berwibawa. Seorang presiden negeri yang turut menyaksikan pertumpahan darah tersebut tak bisa berkata-kata. Membulatkan mata tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya. Sebuah kejadian yang lama tak terjadi, kini terjadi kembali.

Selama ini ia hanya mendengar cerita-cerita dari para tetua tertinggi di kerajaan.

Kejadian 100 tahun lalu terjadi kembali.

"Presiden Shownu?"

Lelaki yang dipanggil Presiden itu seketika tersadar dari lamunannya.

"Perintahkan seluruh kadet untuk membersihkan sisa darah disana. Bila ada barang yang tertinggal, berikan pada keluarganya.

Dan publikasikan kejadian ini pada publik, gunakan kertas berwarna merah sebagai peringatan agar kejadian ini tidak terulang kembali. Baik sepuluh, seratus, atau seribu tahun kedepan." Lanjut lelaki yang dipanggil Presiden oleh rakyatnya.

Dengan kaki yang gemetar, asisten pemerintahan bergegas menuju kabin para kadet di utara istana.

"Seluruh kadet diminta berkumpul di ruangan utama! Sekarang!"

Seluruh kadet bergegas berganti pakaian dan mengenakan seragam hitam mereka. Dengan muka panik yang menunjukkan 'ada apa ini?' Mereka berlari dari peristirahatannya menuju jalanan yang dipakai para pendemo untuk melancarkan aksi mereka. Dengan sepatu semi karet yang akan menggiring mereka untuk menghadapi bahaya dunia yang sesungguhnya.





"Jooheon, apa yang terjadi disini?"

Lelaki yang disebut namanya pun hanya terdiam bersamaan dengan kadet lainnya. Membungkam mulut dengan tangan agar makanan yang sudah setengah tercerna tak keluar kembali dari tempat aslinya. Menelan kengerian yang terpampang jelas dimatanya.

Pemandangan disana seperti menyuarakan kata-kata bahwa



'inilah yang akan terjadi jika kau melawanku, manusia."








TbC

From Zero || Jooheon "Monsta x"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang