"Instruktur Changkyun?"Changkyun yang tadi memegang kayu yang hampir jatuh, meletakkannya lalu berdiri tegap dan mengerjapkan mata ke arah lain.
"Ekhem! Jooheon, kenapa kau disini?"
"Hah?" Jooheon kesal. "Seharusnya itu yang aku tanyakan padamu."
Changkyun salah tingkah. "Hah? Ya. Ka-kau tahu. Menikmati suasana desa."
Jooheon makin curiga pada Changkyun.
"Kau mengikutiku?"
Changkyun tampak bersiul memandangi dinding rapuh rumah Jooheon.
"Untuk apa?"
"Tidak bolehkah aku melihat progres keponakanku?"
Jooheon membulatkan mata dan menyatukan alisnya. Lalu tertawa membuang muka.
"Hha! Tidak lucu."
"Ya, teruslah seperti itu. Jooheoney."
Itu panggilan masa kecil dari pamannya. Tak ada yang tahu itu kecuali Jackson. Jackson tak pernah memanggilnya seperti itu, karena Jackson pikir panggilan yang cocok adalah 'kep*r*t, b****at, an***g.' Dan panggilan kasar lainnya. Ia tak ingat masa kecilnya.
"Maafkan paman, telah membuat trauma di masa kecilmu."
-
Mereka berdua berjalan menelusuri pedesaan.
Changkyun tersenyum.
"Iya, jadi itulah masa kecilmu. Maaf aku selalu memaksamu ke hutan. Aku tak mau kau menjadi kesusahan saat sudah besar nanti. Kau akan mengerti arti kehidupan dari caramu bertahan hidup di kesusahan."
"Apa selama ini Jackson tahu?"
"Ya, ia tahu. Hanya saja ia melupakannya, agar kau tak menderita."
Jooheon mengangguk menatap jalan setapak di bawahnya.
"Maaf, Paman. Aku lupa seluruh kejahatan yang paman perbuat padaku, tapi mengapa aku melupakan wajahmu juga? Yang aku ingat hanyalah rasa sayang yang kau limpahkan pada kami."
Changkyun berhenti, gugup menanggapi.
"A-ah maaf."
Jooheon kecewa, mengalihkan pandangannya pada sawah.
"Paman, kau tahu? Dulu, yang sering aku lihat adalah punggungmu. Maka dari itu aku tak mengenalimu sebagai instruktur. Dan lagi, kau merubah warna rambutmu menjadi blonde kan?"
Changkyun menatap Jooheon.
"Hm? Ahh jangan bilang kau mengingatku kan? Tapi kau pura-pura tak mengenalku. Bocah berandalan, kau!"
Jooheon mengangkat kedua alisnya, "kubilang, aku hanya menatap punggungmu. Rambutmu dahulu coklat, terlihat dari belakang. Mungkin karena kau jarang melihat mataku? Hahaha!"
Changkyun menatap miris Jooheon. "Maafkan aku."
Jooheon tersenyum pada jalanan, "maka dari itu juga aku melupakanmu. Dan aku masih tak menyangka kau pamanku, Instruktur."
Changkyun hanya membalasnya dengan tawa. Lalu Jooheon memantapkan pertanyaannya.
"Memangnya, se-trauma apa aku dengan hutan?"
Changkyun menerawang langit dan mengatakan, "Bukan dengan hutan, melainkan dengan apa yang terjadi disana. Dan kau tak perlu mengingatnya."|||
Dua hari setelahnya, Jooheon masih termenung di balik meja kerja. Memikirkan apa yang Changkyun katakan.
"Memangnya apa yang terjadi hari itu?"
Tiba-tiba Taehyung masuk menerobos pintu. "Kapten!"
Jooheon kaget, menatap langsung pada Taehyung ditakutkan ada penemuan baru lagi.
"Ada apa?" Jooheon bertanya penuh harap.
Taehyung berjalan perlahan mendekati Jooheon, Jooheon menantikannya takut-takut. Takut bila Taehyung melakukan hal yang di luar nalar.
"Aku merindukanmu, Kapten!" Taehyung menghambur Jooheon.
"Br*ng**k! Menyingkirlah dariku!"
Taehyung masih bergelayut di tubuh Jooheon, "Kapten, beri aku perintah! Aku bosan berdiam diri di kamar. Teman-teman yang lain juga."
Lalu satu-persatu tim Jooheon datang, tersenyum. Menghambur pada Jooheon. Memeluknya. Tentunya dengan tatapan jijik dari Jinyoung.
"K*****t br*****k! Menjauhlah, B**i!!!"
-
"Ya itulah yang terakhir kali Jackson katakan padaku."
"Kami minta maaf." Seungkwan membungkukkan badan pada Jooheon.
"Ya ya. Jadi, menurut kalian. Garis apa yang ia maksud?"
Semua nampak berfikir.
"Hm, apa ada sebuah garis di lantai? Dinding? Atau semacamnya di rumahmu?" Bambam bertanya.
"Garis itu ada dimana-mana di setiap sudut rumahku. Dan garis itu hanya menghubungkan sisi dinding yang satu dengan yang lainnya. Tak lebih. Aku sudah mengeceknya sendiri."
Jungkook menggebrakkan meja. Semua menatapnya. Jinyoung 'menenangkan' meja tersebut.
"Kau sudah mengecek rumahmu yang lain?"
Semua membesarkan matanya. Kecuali Jooheon. Mau sebesar apapun ia besarkan, takkan terlihat besar di mata orang lain.
"Menuju Desaku, sekarang!"
Semua tegap berdiri memberi hormat, "Siap, Kapten!"
Perjalanan menuju Desa Laya tak memakan waktu yang lama. Beberapa jam kemudian, mereka sampai di depan rumah Jooheon. Keadaannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Masih berdebu dan acak-acakan.
"Kapten! Kayu ini jatuh dari tempatnya!"
"Lalu? Ya angkatlah, b***h!"
"Bukan! Dari tempat asalnya, terlukis garis merah muda di dinding!"
Jooheon mendekati tempat Seungkwan berada.
"Garis apa ini?" Jooheon meneliti setiap sudutnya. Terdapat celah terbuka di ujung sisi lain. Ia menarik kayu tersebut dan seketika kayu itu jatuh. Menampakkan tulisan di dinding.
Semua kompak membacanya, "Joohcon, hcrc!"
Lalu seluruh kadet membuka kayu yang menutupi dinding, satu persatu garis hitam bermunculan. Dan ujungnya mengarah pada atap. Jinyoung yang pertama berinisiatif mengambil tangga dan menaikinya. Lalu ia dorong atap itu. Atap itu hancur. Ia membolongi atapnya lebih besar. Ada sebuah tangga lagi di sisi kanan dalam atap. Ia menariknya. Lalu, Jinyoung masuk ke atas sana. Taehyung, Hyungwon, Bambam, Seungkwan, Jungkook menaiki tangga tersebut. Menyisakkan Jooheon di bawah.
"Sebentar lagi aku akan menemuimu, Jee Soo."
Lalu ia menaiki tangga itu perlahan. Jungkook mengulurkan tangan pada Jooheon. Setelah naik,
ia mematung.
"Mengapa ada laboratorium besar di atas rumahku?"
TbC
.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Zero || Jooheon "Monsta x"
Misteri / ThrillerApa yang terjadi bila tidak ada suara bising di muka bumi? Karena frekuensi getarannya dapat menghancurkan perdamaian. Mari ikuti Jooheon untuk menuntaskan janji pada kakaknya, Jackson. . . . . Terinspirasi dari sebuah lagu "From Zero" dari sebuah b...