Unconditional love ; 4

1.5K 111 11
                                    

Aku masih disini, menunggu kedatangan bus di halte seraya memainkan kedua kakiku, sesekali melirik jam yang melingkar di tangan kiriku. Aku menghela nafasku pelan, sudah setengah jam aku menunggu kedatangan bus. Ku tolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, bahkan aku masih tidak melihat tanda-tanda kedatangan bus itu.

Tadi, Tasya memberiku tompangan untuk pulang, tetapi aku menolaknya, karena aku segan dengan orang tuanya. Tasya di jemput dengan Ayahnya yang ku ketahui mungkin sudah pulang dari kantor. Oh iya, Ayahnya Tasya itu adalah seorang direktur utama, sekaligus pemilik perusahaan yang lumayan besar dan aku juga tau, bahwa Ayahnya Tasya juga sering bekerja sama dengan Ayahnya Alaska. Bahkan Ayahnya Alaska mempunyai banyak cabang perusahaan dan memiliki restoran yang tersebar di berbagai tempat. Laki-laki itu hidup serba berkecukupan dan hidupnya selalu dikelilingi oleh orang kaya yang setara dengannya.

Mengingat Alaska, entah kenapa ada rasa sakit ketika aku mengatakan dengan mulutku sendiri untuk melupakannya. Bagaimana tidak? Aku masih mencintai dan menyayanginya, dan aku menyuruhnya untuk melupakan semua kenangan yang pernah ku lalui bersamanya?

Apa aku bodoh?

Yah, aku bodoh. Aku tau itu, dan aku bahkan merasa beruntung bisa memiliki Alaska. Bukan karena Ia kaya, bukan karena ketampanannya, bukan karena kepintarannya, tetapi karena besarnya cinta Alaska kepadaku, Alaska yang melindungiku sekuat tenaganya, Alaska yang menghiburku kala aku sedih, dan Alaska yang membuatku jatuh cinta akan caranya sendiri.

Aku menoleh ke kiri, ku lihat Alaska tengah memberhentikan motornya dan menghampiri Gabriel yang ternyata juga sama menunggu denganku, bedanya Gabriel menunggu di gerbang sekolah, sedangkan aku menunggu di halte dekat sekolah. Bahkan jarakku dengan Gabriel terbilang dekat, dan tentunya aku bisa melihat dengan jelas Alaska yang tersenyum kepada Gabriel.

Alaska mengacak rambut Gabriel gemas, seketika darahku berdesir kuat. "Kita pulang yuk." Aku hanya bisa melihat perhatian Alaska kepada Gabriel. Gadis itu mengagguk "Tapi, kamu bisa temanin aku ke toko buku nggak, sayang?"

Ya tuhan, aku ingin cepat-cepat pulang. Sungguh, baru siang tadi aku mencoba untuk melupakan Alaska, tetapi kenapa rasanya sakit kala Gabriel memanggil Alaska dengan sebutan sayang?

Alaska mencubit pipi gembul Gabriel gemas. "Apa sih yang nggak buat kamu, sayangku."

Aku terdiam membisu. Nafasku tercekat hingga rasanya sulit untuk bernafas. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku, ketika Alaska menggenggam erat tangan Gabriel.

"Jangan tinggalin aku, ya?"

Gabriel mengangguk semangat. "Tentu, kamu juga jangan ninggalin aku ya, aku udah terlanjur sayang sama kamu Al."

Hatiku bertambah sakit ketika Gabriel menyebut nama 'Al' hingga membuat jantungku berdetak sangat cepat. Aku memegang dada kiriku, memukul pelan untuk menghilangkan rasa sakit yang kian mendera. Ku tahan air mataku agar tak jatuh, sekali kedip saja, air mataku akan jatuh.

Ku tahan isakan yang akan keluar dari bibirku, ku gigit erat bibir bawahku untuk menahan isakan yang sebentar lagi akan keluar. Bergerak untuk meninggalkan tempat ini saja rasanya susah, seakan kakiku di kunci untuk melihat kemesraan mereka. Aku menatap miris mereka yang merasakan kebahagiaan, aku mengusap kasar air mataku.

"Alaska! Kalo ada orang gimana?!" Ucap Gabriel tapi wajahnya senang dan malu. Senang diperlakukan oleh Alaska seperti tadi, dan malu jika dilihat oleh murid yang lain.

Mata Gabriel menelusuri tempat ini, kemudian berakhir dengan kedua mataku yang juga menatapnya. Gabriel tersenyum malu, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Maaf ya? Tapi jangan bilang siapa-siapa." Ucapnya memelas dengan sedikit berteriak karena jarakku dengannya terbilang dekat. Alaska menyadari kehadiranku. Aku menatap matanya sekilas, lalu beralih menatap mata Gabriel dengan tatapan sendu.

Unconditional love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang