Disinilah aku, berada di atas rooftop bersama dengan Nathan. Cowok disampingku mengikuti hal yang sama denganku, memejamkan mata menikmati angin yang menerpa kulit wajah.
Kemudian mataku terbuka perlahan, menatap seluruh pelosok sekolah yang tak lama lagi akan ku tinggalkan. Bahkan baru kemarin rasanya aku mengikuti MOS, bertemu dengan Tasya dan bahkan sampai sekarang aku menjadi sahabatnya.
"Nggak lama lagi kita bakalan meninggalkan sekolah ini, ya." Entah Nathan membuka matanya atau tidak, yang jelas Nathan membalas ucapanku. "Benar, baru kemarin rasanya kita disini, ketemu sama teman, main bareng sama yang lain. Bahkan baru kemarin aku menjabat sebagai wakil ketua Osis, udah jadi mantan aja."
Aku tersenyum getir. "Suatu saat kita bakalan merindukan suasana di kelas, suasana kantin, suasana setiap pagi upacara, bahkan hal yang kecil sekalipun aku akan merindukan ini."
Nathan menoleh ke arah ku. "Tinggal beberapa hari lagi kita bakalan ninggalin baju putih abu-abu ini. Dan kita bakalan merindukan sesuatu yang tak akan pernah terulang lagi."
Aku ikut menoleh. Nathan tersenyum ke arahku, lalu memilih untuk menyenderkan kepalaku di bahunya. Sesekali Nathan mengelus pelan puncak kepalaku, membuatku merasa nyaman di dekatnya.
"Kamu tau nggak, aku bahagia banget akhirnya aku bisa milikin kamu." Mataku menatap lurus, melihat lapangan basket yang tampak sepi.
"Aku juga beruntung bisa dipertemukan dengan kamu. Bahkan aku menyakiti kamu tetapi kamu masih peduli sama aku. Kamu menerima aku apa adanya dan kamu bahkan menerima aku jadi pacar kamu." Ku rasakan Nathan mengangguk.
"Ekhm, yang udah pacaran beda, yah. Nempel terus kayak permen karet."
Reflek aku dan Nathan menoleh ke belakang. Disana ada Tasya, Alaska dan Lucas yang mendekat ke arahku. Mereka datang ke arah kami, lalu ikut duduk di sampingku.
Alaska tersenyum. "Gimana? Aman nggak?" Aku yang tau maksud darinya langsung mengangguk. "Aman kok."
"Gue kalah dari Nathan. Akhirnya lo punya gandengan juga yak, hahaha." Nathan tampak mengangguk seraya tersenyum kecil.
Aku menggenggam tangan Tasya. "Tas, gimana sama kondisi kamu? Apa kata Dokter Psikiater?"
Tasya tersenyum. "Baik-baik aja kok. Malahan aku bersyukur karena kamu udah nyuport aku untuk bangkit dari keterpurukan. Aku bersyukur bisa punya teman seperti kalian."
"Nggak masalah, gue siap sedia bantuin lo kok. Santuy aja napa sih." Ujar Lucas yang tengah menyomot makanan di tangannya.
"Jagain Indri dengan benar ya. Jangan lukain perasaan Indri. Udah cukup hatinya dilukai sama yang lain." Alaska yang merasa tersinggung langsung terkekeh.
"Tenang aja Tas. Gue nggak bakalan rebut ataupun lukain perasaan Indri kok. Gue tau kalau Nathan itu baik untuk Indri. Bro, gue minta sama lo jagain Indri ya." Nathan mengangguk mantap. Cowok itu menggenggam erat tanganku.
"Tenang aja, kalau Indri udah sama gue bakalan aman kok. Genggaman ini bakalan kokoh sampai tua." Entah kenapa pipiku sedikit memerah karena ucapan Nathan.
Sialnya, Tasya melihat pipiku yang memerah. "Cieee, yang pipinya memerah nih."
Aku berusaha untuk menutup pipiku, tetapi Nathan malah menahan kedua tanganku agar aku tidak bisa menutup pipiku yang memerah. "Cantik banget sih kalau salting."
Pipiku habis oleh Nathan. Cowok itu mencubit kedua pipiku dengan gemas. Percayalah, aku menahan malu dengan mereka bertiga karena ulah Nathan.
"Gerah woii Tenggang rasa sama yang jomlo dong!" Protes Lucas menatap sinis Nathan. Akhirnya Nathan melepaskan cubitannya dari pipiku. Ku pikir aku bisa bernafas lega, tetapi Nathan menyandarkan dagunya tepat di sebelah bahuku, memelukku dari belakang membuatku menahan nafas. "Makanya cari yang lain. Panas, kan liat gue sama Indri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Ficção Adolescente[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...