Aku berdiri mematung di depan Ibuku.
"Kenapa baru pulang?!" Aku menatap ujung sepatuku, tanganku meremas ujung baju sekolahku yang basah total. Sekedar menatap mata orang yang telah melahirkanku saja tak berani. Detak jantungku berpacu cepat sehingga membuatku sesak.
"Kalau orang ngomong itu dijawab!! Kamu tuli apa gimana?!"
Aku memejamkan kedua mataku mendengar suara wanita kesayanganku, wanita yang kucintai dan kusayangi melebihi apapun di dunia ini. Aku memberanikan menatap kedua mata Ibuku yang tersulut emosi karenaku.
"Maafkan anak mu ini, Ibu." Batinku.
"Maafkan Indri, Bu. Indri tadi ngumpul di sekolah—"
Ibu memotong perkataanku cepat. "Banyak alasan kamu!! Dasar anak nggak berguna, nyusahin orang saja!"
Perkataan Ibu tidak terlalu menggucang hati dan jiwaku, karena caci makian Ibu asupan setiap hari jika dimarahi, ralat dimarahi setiap hari meskipun tanpa alasan walaupun hal sepel, asalkan Ibu ada alasan untuk memarahiku.
Semenjak Ayah meninggalkanku juga Ibu beberapa tahun yang lalu, semuanya berubah. Ayah tega meninggalkan keluarganya sendiri demi seorang perempuan dan sebuah materi. Tentu saja aku merasa terpukul kala itu. Jauh sebelum itu, Ibu sangat menyayangiku, tetapi semenjak Ayah pergi, Ibu seakan depresi dan melampiaskan kemarahan dan kekecewaan Ibu kepada Ayah lewat diriku atau lewat dunia malam.
Plaak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Sesaat aku merasakan dunia menertawakan keadaanku saat ini, saling merayakan kebahagiaan karena mendapatkan tamparan keras yang mendarat di pipiku. Tamparan satu kali seumur hidup kudapatkan. Aku menatap miris lantai teras rumahku, air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Tubuhku bergetar menahan isakan yang akan keluar. Menggigit bibir bawahku menahan tangis yang sedari tadi di tahan.
Ibu melukai batin dan fisikku hari ini.
"Bersihkan semuanya tanpa kecuali dan harus bersih! Awas saja kalau kau tidak mengerjakannya." Ucap Ibuku sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
Perkataan Ibu hari ini entah mengapa sangat melukai hatiku. Walaupun aku sering kali mendengar caci makian Ibu kepadaku, tetapi entah kenapa hari ini aku mudah sekali menangis. Biasanya aku akan mengangguk patuh lalu melakukan apa yang disuruh oleh Ibu.
Ibu masuk kedalam rumah, ditutupnya pintu dengan keras hingga sesaat aku terkejut mendengar pintu yang dibanting oleh Ibu. Ibu selalu benci kepadaku, dan aku mengetahuinya.
Air mata yang aku tahan akhirnya keluar dari mataku. Menatap nanar pintu rumahku dengan perasaan luka yang aku dapatkan. Baju yang masih basah kuyup dari atas sampai bawah membuatku menggigil kedinginan. Aku mengusap kasar air mataku, mencoba untuk tersenyum meskipun hatiku tak mampu untuk mengukir senyuman.
Dengan sisa air mata yang menggenang di pelupuk mata, aku membuka sepatu lalu membawanya ke pintu samping, dan mengeringkannya meski tidak akan kering esok pagi. Mengambil sapu pel di dalam rumah, lalu mulai mengepel teras rumah semuanya.
Menghabiskan waktu lima belas menit, akhirnya aku menyudahi acara mengepel teras rumah. Lagi, aku menghela nafasku pelan jika di dalam rumah juga harus ku pel. Mau tak mau aku mengerjakannya seorang diri.
"Nih!!"
Aku terkejut kala Ibu melemparkan pakaiannya tepat di wajahku. Aku menatap pakaian itu lalu beralih menatap mata Ibu yang menatapku dengan tatapan marah.
"Kenapa belum dicuci?! Kan sudah ku bilang untuk menyucinya kemarin! Ngapain aja kerjaanmu?!" Ucap Ibu emosi.
"Kemarin Indri ada tugas kelompok dari guru, Indri nggak sempat nyuci." Jelasku pelan. Memang benar yang ku ucapkan, aku memang ada tugas kelompok sehingga mengharuskanku untuk pulang telat, sekitar jam setengah enam baru sampai dirumah. Tugas laporan berkelompok yang telah dikumpulkan pada jam pelajaran tadi siang, seusai jam istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...