Seperti yang diucapkan Arsen, cowok itu benar-benar tidak berbohong dengan ucapannya. Sungguh, aku mengeluh dengan malam ini. Bagaimana tidak, cowok itu datang lebih cepat dari yang ku kira. Dengan gagahnya cowok itu bersidekap dada sembari menatapku tajam.
"Gue tau lo bakalan lari. Tapi sayang, gue lebih pintar dari lo."
Aku mendengus kesal. Aku memang pergi lebih cepat dari pergi kerja biasanya, agar laki-laki itu tidak menemukanku. Tetapi nyatanya Arsen mengetahui pikiranku.
"Aku nggak mau. Aku kerja, butuh uang buat bayar spp! Kamu nggak ngerti aku, Ar!"
Arsen menaikkan alis nya sebelah. "Ar? Panggilan khusus dari lo. Gue suka."
Aku menghiraukan ucapannya, cowok ini benar-benar nggak jelas. Arsen memiliki pribadi ganda. Kadang dingin, kadang banyak bicara, kadang nyeselin, dan sekarang malah senyam-senyum ke arahku.
"Lo udah janji. Sekarang kita kencan, nggak ada bantahan. Titik!" Aku menghela nafasku berat, menutup pintu kayu rumahku yang mulai usang. Membawa kunci duplikat agar saat pulang nanti aku tidak perlu membangunkan Ibu.
Aku menaiki motor tingginya. Bukannya aku mau modus, tetapi aku harus memegang bahu lebar Arsen jikalau tidak mau jatuh.
"Pakai.'' Cowok itu menyodorkan helm hitam miliknya. Aku menerimanya, lalu memasangnya, tetapi kaitannya tidak masuk-masuk. Sialan!
Aku malu, sedari tadi Arsen memperhatikan gerak-gerikku dari kaca spion ketika aku kesusahan memasang helmnya. Cowok itu menatapku datar, lalu menoleh sehingga aku benar-benar bisa melihat wajah tampannya.
Munafik, jika aku berbohong kalau aku tidak tertegun.
Dengan jarak sedekat ini aku bisa melihat wajah bersih Arsen. Putih bersih, mata hitam pekat, hidung mancung, bibir pink dan di tumbuhi kumis tipis membuatnya terlihat manis!
Mata sialanku malah menatap lambat-lambat wajah Arsen. Sungguh, baru sekali ini aku melihat wajah bersih Arsen dengan jarak sedekat ini.
"Gue tampan, ya?" Tanyanya dengan pede membuatku kembali ke daratan.
Aku memutar bola mataku malas. "Jelek banget."
"Nggak usah bohong. Gue tau lo suka liat wajah gue, kan?" Dengan tingkat percaya dirinya Arsen berucap.
"Berisik, cepat jalan!" Arsen menghidupkan mesin motornya, tetapi cowok itu menoleh ke arahku lagi.
"Gantengan gue atau Alaska?" Arsen menaikkan alisnya sebelah, menunggu jawaban dariku.
"Sama-sama jelek! Kalian sama-sama jahat, sukanya mainin perasaan cewek!" Aku memukul bahu cowok itu, tidak peduli dengan ringisan kecil dari bibirnya. Mengingat hal itu, aku benar-benar membenci dua laki-laki tampan itu.
Aku memukul kuat bahu Arsen kesal. Cowok itu pun akhirnya benar-benar menuruti perintahku, pergi dari rumah. Sepanjang perjalanan aku berusaha mati-matian untuk memegang besi belakang tempat duduk motor Arsen. Mulutku komat-kamit merapalkan doa agar aku masih di beri kesempatan untuk hidup di dunia ini.
Aku takut mati.
Sumpah, demi apapun Arsen membawa motornya ngebut, rambut yang sudah ku sisir kini kusut sudah. Aku cemberut, menatap kesal cowok itu lalu mencubit pinggangnya kuat.
"Aww, sakit!" Arsen mengeluh lalu mengelus kasar bekas cubitan di pinggangnya.
Aku tidak mempedulikan rintihannya. Arsen benar-benar mengundang malaikat untuk mencabut nyawaku. Cowok itu terkekeh melihatku yang menatapnya dengan mata yang melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...