Unconditional love ; 18

976 66 3
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku membereskan peralatanku lalu memasukkannya ke dalam tas ku. Semua siswa-siswi di kelasku berdesakan keluar dari kelas. Entah apa yang membuat mereka berdesakan, yang jelas, suasana kelasku mendadak sunyi.

Akhirnya, aku tinggal sendiri di dalam kelas. Mataku melirik ke arah ponsel yang ku pegang. Berharap ada notifikasi dari Arsen, tetapi nyatanya sampai saat ini notifikasi itu belum juga ku dengar.

Aku melampirkan tasku ke bahu kanan, berjalan santai menuju ke ambang pintu.

Seseorang datang dari luar pintu. Mendorong kasar pintu kelasku, lalu menutup nya perlahan. Mataku menatap lurus ke arahnya.

Ia menatapku tajam. "Sekarang lo sendiri, Indri. Arsen udah pulang duluan sama Nathan. Cowok itu lagi sakit perut, jadi Arsen ninggalin lo tuh."

"Mau lo apa?" Tanyaku to the point.

Gabriel tersenyum miring, lalu mendekat ke arahku. Tatapannya menatapku remeh. "Apa maksud perkataan lo di kantin tadi?"

Aku terkekeh geli. "Kenapa? Lo takut rahasia lo kebongkar, terus nggak ada lagi orang lain yang akan menyanjung nama lo sebagai cewek yang berbaik hati?"

"Nggak usah ngancam gue! Gue bisa bikin lo menderita dan angkat kaki dari sekolah ini!" Ancamnya membuatku semakin yakin dengan apa yang diucapkan oleh Arsen tempo hari.

Ternyata benar, Gabriel lah pelakunya.

Aku tersenyum, mengusap pelan bahu Gabriel tetapi cewek itu langsung menepis kasar tanganku. "Nggak kebalik? Bukannya lo yang angkat kaki di sekolah ini dan lo masuk penj–"

Plaak!

Tanpa aba-aba Gabriel menamparku. Dadaku bergemuruh merasakannya. Cewek itu lagi dan lagi berani menamparku. Aku benar-benar tidak tahan.

"Lo cuma Anak miskin! Ingat, nggak usah ancam-ancam gue!" Aku mengusap kasar pipi bekas tamparanku.

"Gue kasihan sama lo. Otak pinter, wajah cantik, tapi hati busuk. Lo itu kaya karena harta warisan gue, Gabriel. Gue tinggal ngambil apa yang Ayah gue rampas dan lo jatuh miskin!"

Ucapanku membuat Gabriel emosi. Cewek itu meraih rambutku ingin dijambak. Aku menghalangi tangan Gabriel, lalu menghempas kasar lengan Gabriel.

"Sialan lo!! Semua itu gara-gara nyokap lo yang miskin! Makanya Ayah lo kepincut sama Nyokap gue! Ibu lo yang udah kayak orang gila masih mengharapkan bokap gue!"

Aku menampar kedua pipi Gabriel. Sungguh, perkataan Gabriel menusuk tepat di ulu hatiku. Mati-matian aku berusaha untuk menahan air mata sialan ini.

Gabriel memegang kedua pipi bekas tamparan dariku. "Pantesan lo kayak gini. Orang tua lo nggak bener semua. Gue bersyukur karena Tuhan udah memperlihatkan bagaimana Ayah gue yang sebenarnya."

Gabriel dengan kasar kembali menamparku, tetapi sebuah tangan nan besar menahan lengan tangan Gabriel. Mataku membola saat seseorang yang ku tunggu-tunggu tengah berada disini.

"Lo udah nekat ternyata." Ujarnya membuat Gabriel menatapku tajam.

Cowok itu menghempas kasar lengan tanganku. Arsen melirikku, lebih tepatnya melirik bagaimana keadaanku. Sedikit betantakan di area rambut.

"Lo nampar Indri?" Tanyanya dengan nada yang seram. Bahkan aku yang mendengar pun sedikit ketakutan. Gabriel tersenyum miring. Kedua tangannya dilipat ke dada. "Kalau iya kenapa? Lo juga mau nampar gue?"

Arsen menatap tajam Gabriel. "Minta maaf sekarang."

Gabriel terkekeh geli. "Lo mau jadiin gue bahan ejekan kayak Lidia tadi?" Arsen tidak menjawab ucapan Gabriel. Cewek itu tersenyum miring. "Sayangnya, gue nggak mau, Arsen." Ujarnya sembari melirikku.

Unconditional love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang