Aku menunggu angkot yang akan ku tumpangi menuju ke tempat dimana aku bekerja. Sekarang sudah sepuluh menit lamanya aku menunggu angkot tersebut, tetapi belum juga kunjung tiba.
Sebenarnya, Om Panji melarang keras aku bekerja paruh waktu. Aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, dan Putri. Aku sudah nyaman bekerja disana, tetapi Om Panji mengatakan kalau Ia bisa membiayai sekolah juga keperluanku dengan Ibu.
Aku menolaknya halus. Aku tau jika niat Om Panji baik, tetapi karena aku yang keras kepala akhirnya Om Panji membolehkan ku asalkan aku tidak boleh terlalu capek.
Dan lagi, aku tidak ingin menaiki angkot ke tempat kerjaku, tetapi Om Panji malah mengancam ku jika Ia akan menghentikan pekerjaanku. Aku pun menerima uang untuk biaya ongkos angkot, hingga angkot yang ku tunggu tiba juga.
Aku melambaikan tanganku. Angkot itu berhenti, lalu memasuki angkot yang lumayan banyak orang. Sepuluh menit lamanya hingga aku sampai di tempat ini. Sepekan lamanya aku tak ke tempat ini. Ku lihat, ada Kak Angkasa yang tengah turun dari mobilnya.
Entah bagaimana, Kak Angkasa melihatku. Cowok itu tersenyum lembut ke arahku, melambaikan tangannya kemudian ku balas lambaiannya.
Sesuatu objek yang tak ku sadari kini berada di kepalaku.
Kak Angkasa merapikan rambutnya. Cowok itu berkaca, sesekali melirikku dari pintu kaca mobil. Jarak antara aku dengan Kak Angkasa memang tak jauh, tetapi aku yakin jika cowok melirik ke arahku.
Samar-samar, aku melihat sesuatu berwarna merah berbentuk seperti laser berwarna merah di dahiku. Aku melirik Kak Angkasa, cowok itu menyipit kan matanya memperjelas penglihatannya. Seketika matanya membulat melihat bintik merah di kepalaku.
Cowok tampan itu menoleh ke arahku kemudian berlari mendekatiku. Sedangkan aku masih dengan kebingungan mengapa bisa bintik merah ini berada di dahiku. Aku mengusapnya kasar, tetapi tak kunjung hilang.
Sepertinya, ini laser yang ada di tembak itu?
"Indri! Awas!!"
Door!!
Aku terdiam di tempat. Mendadak semuanya menjadi kaku. Air mata ku jatuh tanpa dipinta. Tubuhku menggigil ketakutan, hingga sedetik kemudian suara ricuh terdengar. Kak Angkasa melindungiku dari tembakan itu, hingga aku dan Kak Angkasa terjatuh ke tepi jalan.
Satu isakan lolos dari bibirku. Kak Angkasa menyelamatkanku. Masih dengan posisi yang berpelukan, Kak Angkasa membopong tubuhku lalu menduduki tubuh lemahku di tepi restoran miliknya.
Kak Angkasa memegang kedua pundakku. Cowok itu menatap ku khawatir. "Ada yang terluka?" Tanyanya terlihat begitu panik.
Aku menggeleng lemah. Jujur saja, aku benar-benar ketakutan jika seandainya tembakan itu mengenai kepalaku. Aku takut bagaimana nasib Ibu jika aku benar-benar terluka.
"Syukurlah" Ucapnya lalu mengusap lembut rambutku. Seketika aku teringat ucapan Alaska sore tadi. Apakah ini perbuatan Gabriel lagi?
Mataku menyapu semua apa yang ku lihat. Mencari keberadaan Gabriel ternyata sia-sia. Percuma, orang-orang menghalangi penglihatanku.
Ku lihat, Putri berlari ke arahku. Cewek itu memeluk erat tubuhku. Aku membalas pelukannya, ku rasakan bajuku basah.
"Jangan nangis. Aku nggak papa." Ucapku menenangkan, Putri melerai pelukannya.
Ku lihat, Kak Angkasa tampak serius menelfon seseorang. Entah lah, lima menit setelahnya polisi datang ke tempat kejadian.
Orang-orang tampak ramai di sini. Gara-gara aku, Kak Angkasa terpaksa menutup restorannya agar aku bisa tenang berada di dalam restorannya. Lagi, aku membuat Kak Angkasa kesusahan gara-gara aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Ficção Adolescente[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...