Tanganku sudah di beri salep oleh Nathan. Nathan begitu baik, dia selalu memperhatikan kondisiku dan dia juga termasuk orang yang peka. Aku tersenyum kepada Nathan, sebagai bentuk ucapan terima kasihku kepadanya.
Nathan tersenyum seraya menyusun alat P3K. "Sama-sama. Udah nggak sakit lagi, kan?" Aku mengangguk. Nathan benar-benar pandai dalam masalah mengobati. Aku baru mengetahui jika Nathan mempunyai keahlian dalam bidang kesehatan.
"Nggak masuk kelas?"
Nathan menggeleng. "Mau jam pulang juga. Pak Ridho nggak bakalan masuk kelas, udah ambil nilai basket pas tadi."
"Jangan maksain diri kamu kalau nggak kuat. Hati juga butuh bahagia jika tidak bersama yang memberi luka." Aku menoleh mendengar penuturan Nathan. Aku tau maksudnya, tentu saja soal kejadian tadi.
"Aku nggak papa kok."
"Nggak papanya seorang cewek itu pasti nggak baik-baik aja'' Ucapan Nathan memang benar, dan aku sekarang tidak baik-baik saja.
"Aku tau, Gabriel pasti mengundang kamu ke acara tunangannya, kan?" Tebak Nathan. Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk lemah. Aku tersenyum kepada Nathan, meski senyum menutup luka.
"Aku udah terbiasa dengan semua itu. Bahkan aku udah mati rasa saat melihat kemesraan mereka. Aku udah bertekat buat ngelupain Alaska, dan membiarkan dirinya bahagia dengan pilihannya sendiri."
"Tangan ini, sudah banyak melakukan kebaikan, dan disana" ucap Nathan memegang kedua tangan Indri, lalu menunjuk letak jantung Indri.
"Ada hati yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Aku nyaman berada di dekat kamu, Indri " Nathan mengungkapkan apa yang dirasakannya.
"Aku hanya mengatakan apa yang aku rasain, aku tidak mengharapkan lebih dari kamu, Indri." Ucapan Nathan membuatku melepaskan tanganku dari tangan Nathan.
"Suka sama seseorang itu hak semua orang. Aku tau, kita tidak bisa memilih siapa orang yang kita suka. Hanya Tuhan yang memilihkan. Aku tidak melarang kamu suka aku atau tidak, tetapi satu hal yang pastinya kamu sudah tau."
Aku tersenyum kecut. "Alaska Dirgantara masih tertulis jelas di hatiku. Tidak semudah itu untuk menghapus namanya, aku nggak mau kamu terlalu jauh berharap kepadaku."
"Aku tidak mau kamu merasa sedih karena aku. Masih banyak yang lebih baik dari aku, yang lebih cantik dan pintar. Tentunya juga setara dengan kamu dan aku berasal dari keluarga miskin, Nathan. Kamu tau itu."
"Aku tidak mempermasalahkan kaya miskin ataupun sederhana. Yang terpenting mempunyai hati yang lembut dan sebaik kamu."
"Gadis cantik itu sudah banyak, tetapi gadis yang baik dan mempunyai hati lemah lembut itu suusah ditemukan. Dan gadis itu adalah kamu, Indri."
"Kamu itu satu dari seribu banyaknya gadis-gadis disana yang baik, dan satu itu kamu lah yang terbaik, Indri."
Aku tersenyum, Nathan orang yang baik, dan aku beruntung bisa berteman dengan Nathan. "Kamu orang yang sangat baik dan perhatian. Gadis di luar sana pasti akan beruntung bisa dapatin kamu, Nathan."
Tanpa kusadari, sesosok di luar sana yang menyimak pembicaraanku dengan Nathan, langsung saja mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan UKS.
***
Aku menatap pantulan diriku di kaca yang tidak terlalu besar. Memakai dress selutut beewarna putih. Dress ini sudah lama tidak ku pakai, kira-kira sudah dua tahun lamanya aku tidak memakai dress ini.
Tentu saja ini pemberian Alaska.
Bukannya aku ingin menarik perhatian Alaska, aku cukup tau diri untuk berbuat demikian. Keadaan ekonomi keluargaku sedang menipis, dan aku tidak mau menyusahkan Ibu untuk membeli dress lagi. Buat apa beli lagi jika untuk semalam ini saja dipakai? Uangnya bisa ku tabung untuk biaya hidupku dengan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...