Aku menggenggam erat botol mineral yang ku pegang di tangan kiriku, tangan kananku mengepal kuat seraya meremas jari-jariku dengan gemas. Mataku tetap saja menatap lurus kedepan, tepatnya di objek dua manusia yang sedang terlihat serius berbicara. Sudah lebih dari duapuluh menit aku memandanginya. Aku hanya diam, menyaksikan dua manusia yang tengah beranjak dari lapangan sekolah ini.
Mataku terus menatap kemana mereka pergi. Entah kenapa dadaku tiba-tiba sesak kala melihat laki-laki itu memasangkan helm kepada gadis cantik itu. Aku masih memandang dua manusia itu hingga mereka tak terlihat dari parkiran sekolah.
Aku menghela nafasku pelan, tetapi mataku masih saja menatap tempat terakhir mereka pergi dari sekolah dengan senyuman yang mengembang di kedua bibir mereka. Tatapanku kosong, tak bisa kupungkiri, aku sakit melihat pemandangan dari rooftop sekolahku ini semenjak mereka resmi pacaran seminggu yang lalu.
Tiba-tiba saja tanpa ku sadari air mataku jatuh. Aku mengusapnya dengan kasar, tersenyum kecut melihat pemandangan terakhir yang ku lihat dengan mataku. Akibatnya, luka di hatiku kembali menganga dengan lebar. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, tak sanggup hingga aku beranjak dari lalu meninggalkan rooftop dengan perasaan sakit yang tak karuan.
Kakiku menginjak anak tangga dengan pelan, mataku menatap kosong lantai tangga. Perkataan yang tak sengaja kudengar seminggu yang lalu kini kembali terngiang lagi.
Hari itu, di kala waktu jam istirahat, aku mengunjungi perpustakaan karena ingin mengembalikan buku sejarah yang kupinjam dua hari yang lalu. Waktu itu aku berjalan seorang diri, tanpa laki-laki itu yang selalu menemaniku setiap saat kapanpun dan dimanapun aku berada. Yang selalu ada di saat aku senang dan sedih.
Hingga akhirnya aku berpisah dengannya karena keegoisanku. Bukan, tapi karena suatu hal yang tidakku beri tahu padanya, yangku rahasiakan pada dirinya. Aku tidak mau hal itu dia tau, Ia akan cemas padaku.
Singkat cerita, setiba di perpustakaan, aku langsung mengembalikan buku kepada guru yang memang di khususkan untuk di perpustakaan untuk mengurus segala buku ataupun siswa-siswi yang meminjam buku di perpustakaan. Setelah aku mengembalikan buku itu, aku melangkahkan kakiku keluar dari perpustakaan.
Baru satu langkah aku meninggalkan perpustakaan, aku tak sengaja mendengar suara laki-laki yang sangat ku kenal. Aku membalikkan tubuhku menghadap ke sumber suara, dan benar.
Laki-laki itu. Laki-laki yang sempat mengisi hari-hariku dengan warna warni, dengan caranya yang sederhana, yang semudah itu membuat senyum bahagia terukir jelas di bibirku. Tapi, dengan seseorang yang sangat ku kenal, bahkan satu sekolah juga mengenalnya.
Dia Gabriel.
Perempuan yang dikenal sangat baik, berbicara dengan lemah lembut dan sopan santun, jabatan organisasi sekolah sebagai Bendahara, selalu mendapatkan juara kelas peringkat satu dan tak luput, Gabriel dikenal sebagai senior yang sangat cantik berhati lembut di SMA Bangsa ini. Menjadi idaman bagi laki-laki SMA ini, tntu saja Gabriel mempunyai segalanya.
"Al?"
Darahku berdesir kuat kala Gabriel memanggil Alaska dengan panggilan 'Al'. Tentu saja aku terkejut bukan main. Panggilan itu adalah panggilan dariku khusus untuk Alaska seorang. Sebelumnya tidak pernah ada yang memanggilnya dengan nama 'Al'. Tetapi, bagaimana bisa Gabriel memanggil Alaska seperti itu? Dari mana Gabriel mendapatkan panggilan khususku untuk Alaska?
"Aku suka sama kamu, Al."
Seketika hari itu hatiku hancur kala Gabriel menyatakan perasaannya kepada Alaska. Aku tak menyangka, jika Gabriel mengungkapkan perasaannya terang-terangan kepada Alaska. Nafasku sesak, rasanya sulit untuk sekedar bernafas. Tanpa sadar aku menahan nafasku kala mendengar penjelasan dari Gabriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...