Tiga bulan terhitung semenjak kejadian di ruangan Osis waktu itu. Banyak yang berubah semenjak tiga bulan itu. Mulai dari Arsen yang sering terlihat di perpustakaan sekedar membaca, berteman dengan baik dengan Alaska. Bahkan mereka terlihat akrab sekarang.
Lalu ada Tasya yang mulai terbuka dengan orang-orang. Meskipun aku tau kalau Tasya sedikit was-was, tetapi aku bersama dengan Nathan juga Lucas memberinya semangat setiap waktu.
Sekolah berjalan seperti biasa, termasuk dengan perasaanku. Nathan dengan baiknya selalu menyuport diriku agar bangkit dari keterpurukan menghapus jejak sosok Arsen dan Alaska di dalam hati.
Bahkan aku menolak permintaan Arsen dan memilih untuk menyendiri terlebih dahulu. Aku memang sayang Alaska, tetapi aku tidak mencintai Alaska.
Reaksi Aqila saat aku menolak perjodohan itu? Tentu saja kembali menangis karena doanya tak terkabulkan. Tetapi aku sering ke rumah Alaska sekedar bermain dengannya. Perlahan Aqila mulai menerima setelah Alaska menjelaskannya secara perlahan, dan syukurnya Aqila mengerti.
Tubuhku ku biarkan duduk di rooftop seraya angin menerpa rambutku, menari-nari dengan indah. Menikmati pemandangan dari atas rooftop memang menjadi kebiasaanku. Sejenak menenangkan pikiran dari semua yang pernah terjadi akhir-akhir ini.
Sungguh, ingin rasanya aku menangis sepuasnya.
"Nangis aja, kalau beban kamu bakalan ringan setelahnya." Kepalaku langsung menoleh ke sumber suara. Di sampingku ada Nathan yang duduk di sampingku seraya memejamkan matanya. Sepertinya cowok itu sedang menikmati pemandangan juga.
Aku mengusap kasar air mataku. Memandang dari atas Arsen yang tengah memainkan bola basket seorang diri. Cowok itu dengan kasar memasukkan bola basket kedalam ring bola. Lalu memantulkan bola tersebut kemudian memasukkannya lagi dari jarak jauh.
Masih dengan mata yang berlinangan, Arsen merebahkan tubuhnya ke lapangan bola seraya memandang ke langit biru. Hingga tak sengaja mataku bertemu dengan mata elang milik Arsen. Berlangsung tiga detik, cowok itu memilih meninggalkan lapangan basket.
"Udah keluar hasil ujiannya?" Kataku seraya menatap langit yang terlihat cerah.
Nathan mengangguk. "Besok bakalan keluar. Oh iya, udah ngurus keperluan ke Amerika?" Beasiswa yang ku dapatkan itu ternyata salah satu Universitas terkenal di Amerika. Bahkan sampai sekarang aku tidak menyangka jika aku ditempatkan disana.
Ku pikir hanya aku seorang, ternyata dari kelas lain juga ada. Salah satunya Arsen, Alaska dan Nathan. Ada beberapa kelas lagi yang mendapatkan beasiswa itu, hanya saja aku kurang tau. Kalau Lucas dengar-dengar bakalan ngikut teman-temannya. Mungkin Tasya juga begitu, mengingat mereka adalah anak orang kaya.
Yang aku sedihkan, Ibu akan ku tinggalkan bersama dengan Om Panji. Dan sekarang aku bersama Ibu dan Om Panji tinggal di rumah baru minimalis yang tidak terlalu besar. Sengaja, karena aku sudah keenakan tinggal di rumah dengan ukuran yang tak seberapa.
"Udah kok. Kan kamu juga ikut bantu aku." Cowok itu terkekeh, lalu menatap lekat mataku. "Ada yang mau aku tanyakan sama kamu."
Reflek kepalaku langsung menoleh. "Tanya aja." Nathan sedikit bergeser dari duduknya, mendekatiku. "Kenapa kamu nolak perjodohan itu dan enggak milih keduanya?"
Aku menyunggingkan senyumku. "Arsen itu baik, dan Alaska itu juga baik. Mereka dasarnya baik, hanya saja ini semua karenaku. Arsen bahkan bersikukuh jika aku menerima dirinya sebagai tunangannya. Kalau untuk Alaska.."
Aku menghela nafasku berat. "Jujur saja. Tiga tahun itu tidak sebentar. Butuh waktu lama bagi aku untuk melupakan semuanya. Sudah aku bilang, kan kalau aku mulai mencintai Arsen?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional love [End]
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Romance + Mistery] Ini adalah tentang perjuangan mendapatkan kasih sayang orang tua yang pernah sirna, tentang bagaimana cara rasa sakit yang mengajarkan arti dari mengikhlaskan dan tentang kamu yang mengajarkanku banyak ha...