Bagian 16

1.1K 130 83
                                    

Langkah kaki ku terlihat lunglai untuk masuk lebih dalam ke dalam ruangan ini. Terasa berat di sana, namun aku ingin segera masuk dan lebih dekat dalam melihatnya. Satu langkah, dua langkah lagi dan aku sudah meraih sebuah kursi untuk digeser mendekati tempat dia berbaring dengan tenang. Sebelum aku duduk di sana, kulihat kembali kearah pintu ruangan. Di sana ada Plan yang menatap ku sebentar lalu mengangguk untuk menyakinkan ku. Setelahnya dia menutup pintu dengan perlahan untuk memberi kesempatan pada ku lebih dulu.

Saint Suppapong. Kini aku sudah bisa mengingat nama belakangnya. Aku pun sudah tidak ragu untuk mendudukkan bokong ku di kursi yang sudah kusediakan. Tapi tidak dengan tangan ku, jari telunjuk ku tampak bergetar saat terangkat untuk menyentuh kulit tangannya. Tanganku tampak berkeringat, namun niat ku lebih bulat.

"Hangat...." aku bergumam dengan tawa miris setelah akhirnya menyentuh sedikit kulit lengannya. Betapa aku sudah menunggu untuk moment ini. Tapi entah kenapa aku menjadi merindukan kulitnya yang mengatar sensai dingin tiap kali kusentuh. Sungguh sensasi yang ku suka sejak mengenalnya menjadi sosok setengah roh di apartemen kami.

Kali ini tangan ku bergerak untuk mencapai ujung rambutnya. Kusentuh untuk kurasakan kembali betapa rambut lembutnya tak pernah berubah sejak dia mengaku sebagai 'Phi' ku saat itu.

"Sedikit berminyak...kuyakin perawat belum membasuh rambutnya beberapa hari ini...."

"Mau aku membasuh rambut mu...Ai'Saint?" kembali kulanjutkan ucapanku dengan sebuah pertanyaan yang tak berarti padanya. Tidak saat dia lebih suka menutup mata indahnya dari ku. Lebih sakitnya lagi adalah saat aku hanya mampu berbicara sendiri dengan suara bergetar kini.

"Phi~...." aku memilih memanggilnya seperti itu. Terakhir kali dia menyukai saat aku memanggilnya dengan embel-embel Phi di depan namanya. Mungkin saja dia akan membuka mata teduhnya dan menatap ku dengan senyum yang mengembang.

"Tidak tahu kah kau Phi...aku tidak pernah memanggil mu seperti itu karena aku tidak ingin menjadi Nong mu. Aku ingin menjadi kekasih mu, menjaga mu dan menjadi dewasa untuk mu..." aku tersenyum pias sambil menggenggam sebelah lengannya tanpa infus. Sedikit remasan lembut kuberikan di sana karena aku tak bisa mengontrol getaran dari tubuh ku. Sepertinya aku sudah terlalu lama menahan tangis di depannya hingga tubuh ku hanya bisa bergetar saja sedari tadi. Tapi aku tidak ingin menangis di depannya untuk saat ini.

Aku ingin dia bangun dan melihat ku tersenyum kuat untuknya yang sedang lemah saat ini. Aku ingin memeluknya menenangkan, bukan dipeluk untuk ditenangkan. Aku ingin menjaganya dan bukan dijaga dan membiarkannya kesusahan lagi karena ku.

"Ha-hari itu...a-apa kau tidak takut Phi? Kau pasti takut karena aku tidak berhasil menjaga mu ya kan..."

Aku mengangkat tangan lemah itu. Ada sebuah luka goresan besar yang samar-samar terlihat di sepanjang lengan dalamnya. Mungkin karena lukanya sudah mulai sembuh. Tapi tidak dengan ku, hati ku teriris membayangkan betapa dia pasti kesakitan saat itu. Bodohnya aku malah tidak di sana untuk menenangkannya.

Kukecup bekas luka itu cukup lama. Hingga aku tidak tahu sudah berapa banyak air mata yang jatuh dari kedua mata ku yang terpejam erat.

"Hiks...."

Cukup sudah! Aku tak bisa lagi menahan tangis ini.

"Hiks...a-aku aku hiks...tidak sekuat itu Phi...Kothon. Kothot na...."

Aku menyandarkan punggungku dengan kasar pada sandaran kursi. Kepala ku mendongah keatas menatap langit-langit ruangan putih dengan air mata yang masih setia jatuh di sana. Apa yang harus kulakukan untuk membuatnya berhenti? Karena air mata ini semakin deras dengan isakan pilu yang begitu menyedihkan untuk didengar.

2.[END] X (Because, Not Only You)«»PinSonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang