20 vs 30 #2

76.4K 3.2K 109
                                    

Pov Dhipa

Kalau boleh di skip malam ini, aku akan memilih menekan tombol skip lalu aku akan menikmati pagi indahku bukan menikmati senja yang tak terasa indah lagi karena dia semakin menggelap. Acara yang menungguku di rumah benar-benar memuakan, berkedok makan malam keluarga tapi pada akhirnya ada sosok wanita yang akan dijodohkan denganku. Dan itu sudah terjadi berkali-kali, jadi aku tak akan mau dibodohi lagi. Umurku baru 28 tahun tapi Opa selalu berisik mengataiku gay, sebegitu menakutkankah momok isu gay di kalang atas saat ini? Aku jelas saja pria normal, aku bukan pecinta pria sixpack yang bertubuh kekar walaupun perutku juga sixpack. Tapi aku pecinta wanita sexy yang tinggi langsing seperti model yang wira-wiri di TV fashion yang sering Berlian pantengi.

Dari pada aku harus makan malam yang ujung-ujungnya dijodohkan, lebih baik aku menerima tawaran Braga untuk kumpul dengan yang lain. Di sinilah aku sekarang, di sebuah club malam pilihan Braga. Kami duduk di meja dekat lantai dansa, aku heran kenapa Braga memilih duduk di sini bukan masuk di ruang VVIP. Rasanya bising, kurang privasi. Aku tahu nggak ada club malam yang sunyi, namanya saja club malam bukan kuburan. Tapi aku sedang butuh sedikit ketenangan dan aku sekarang mengakui kalau aku salah tempat dan salah telah mengiyakan ajakan Braga. Apalagi wanuta di sampingku ini, tak berhenti-berhenti menggesekan badannya di lenganku, rasanya ingin kubanting dengan satu tangan. Parfumnya saja bikin kepalaku makin pusing.

Saat kusapukan pandangan, mataku langsung bisa mengenali sosok gadis mungil dengan dress hitam yang mendekati lantai dansa. Kutajamkan mataku, dan nggak salah lagi. Aku hapal bocah itu, bocah yang terus sibuk dengan tabnya saat bertemu denganku malam itu. Bocah itu teman Berlian. Sedang apa dia di sini, bener-bener nggak terkontrol. Walaupun saat ini cahaya teramat minim tapi aku tak akan salah mengenali bocah itu. Aku nggak habis pikir Berlian bisa berteman dengan gadis seperti itu, lihat saja gayanya saat menari. Seperti singa lepas, meliuk2 membuat mata pria seakan melihat mangsa. Dasar bocah cilik penggoda.

"Lihat apa huh?" Tanya Braga menyenggol bahuku.

Aku hanya menaikkan bahuku, malas juga memperhatikan sesuatu yang nggak masuk kategori penting.

"Wah lihat wanita itu, wow! Aku rasa dia liar saat di ranjang, lihatlah gayanya menari." Seru Braga cukup membuatku mengalihkan pandangan ke arah yang dia tuju.

Mataku sontak melebar, astaga bocah itu makin berulah. Pria itu juga kurang ajar benar main pegang-pegang pinggul bocah masih di bawah umur. Nggak bisa didiemin tuh bocah. Geram rasanya aku melihat, sebagai pria aku anti menggoda bahkan menyentuh bocah karena aku punya adik yang perlu kulindungi juga. Dan aku nggak suka dengan apa yang aku lihat saat ini. Rasanya amarahku seketika naik keubun-ubun.

"Hei mau kemana?"

"Suruh orang menjauhkan pria itu." Ucapku tegas, kulirik Braga yang sudah mengerti ucapanku. Aku tahu dia bingung, akupun bingung tapi aku tak suka melihat anak kecil bertingkah seperti itu. Dan aku lebih tak suka lagi pada pria yang tak bisa menghargai anak-anak. Masih banyak wanita dewasa untuk dimangsa, bukan bocah ingusan yang masih harus dijaga.

Gigiku semakin gemeretak saat melihat si pria brengsek itu semakin menempel. Aku benar-benar tepat waktu. Tak kuhiraukan teriakan pria brengsek tak tahu diri itu saat kutarik bocah ingusan ini. Sekali sentakan bocah ini sudah kugendong di bahuku. Aku tersenyum puas saat teriakan pria brengsek tak tahu diri itu semakin menjauh karena di tarik orang-orang Braga.

"Lepasin, aku pusing tahu."

Teriakan bocah ini sungguh bikin telingaku berdengung, bikin gendang telingaku pecah saja. Harusnya dia berterimakasih sudah kutolong, bukan teriak-teriak dan memukuli punggungku. Kuturunkan dia tepat di jok mobilku, kututup pintunya dan aku duduk di kursi kemudi. Dia masih saja teriak sampai aku menatapnya tajam baru dia diam melongo.

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang