20 vs 30 #14

1.4K 188 5
                                    

Pov Dhipa

"Oh ya, aku ingat. Cincinnya aku buang waktu pulang semalam."

Kutatap pintu kamar Ava speechless, dia baru mengatakan apa? Membuangnya? Apa dia gila? Dengan entengnya mengatakan itu, mengatakan dia telah membuang cincin pertunangan kami. Kurasa aku perlu mencuci otaknya biar kembali waras.

Aku langsung bangkit dari kasur dan mengejarnya. Tak tahukah dia sudah mengacaukan perasaanku semalaman. Membuatku hilang akal dan menyusulnya kemari. Tapi dia dengan mudahnya membuang cincinnya. She is crazy!

"Ava, tunggu." Seruku di pintu, dia sudah melenggang ke arah dapur sepertinya. Aku sendiri baru pertama masuk kemari jadi belum tahu tata letak ruangan.

"Hei, aku tanya dimana cincinmu?" Tanyaku keras menarik tangannya, hilang sudah kesabaranku.

"Kubuang, apa kamu tuli hah?"

"Aku tanya sekali lagi Ava, aku tanya baik-baik, dimana cincinmu?"

"Kamu dengar baik-baik juga Dhipa Dirgasha, cincinnya AKU BUANG! Memang masih ada artinya buatmu hah?"

Tubuhku kaku sekejap, apa masih ada artinya buatku? Tentu sangat berarti. Mataku tak bisa lepas dari kedua mata Ava yang seolah berkobar marah.

"Lepas, aku mau masak." Serunya menepis tanganku.

Aku masih terdiam di tempatku, kenapa aku jadi begini? Selalu tak bisa melakukan apapun dengan cepat, otakku berjalan lambat akhir-akhir ini.

"Minumlah." Ava menawari kopi tanpa melihatku, itu menyakitkan. Tak tahukah dia aku benci diabaikan?

Aroma khas kopi menyengat indra penciumanku, sedikit menenangkan emosiku yang hampir meledak.

Aku duduk di kursi pantry, menghirup sekali lagi aroma kopi dari dekat seraya memejamkan mataku. Kusesap perlahan kopi hitam yang Ava buat untukku. Pahit dan manis terasa jadi satu, seolah menggambarkan apa yang sedang aku rasakan.

Kulihat Ava yang mulai sibuk dengan celemek di badannya, menggoyangkan tangannya ke sana kemari mencuci sayuran lalu memotong sayuran. Dengan lincah dia memasukkan campuran irisan daging, jagung manis, jamur kaleng, tomat, dan terakhir brokoli. Aku mencermati setiap gerakannya, seperti sudah ahli. Aroma masakan menggelitik hidungku hingga membuat perutku reflek berbunyi.

"Pagi semua."

"Hai, pagi Yan." Balasku menyapa Rayan yang mendekat ke arah kami.

Dia melewatiku mengambil kotak kopi moccacino instan dan menyeduhnya.

"Kalian baik-baik saja kan?" Tanya Rayan setelah menyeruput kopi moccacinonya.

"Tentu, iya kan sayang?"

Ava mendengus melirikku dan mulai menata masakannya, astaga perutku jadi tak berhenti bunyi hanya karena mencium aroma masakan Ava. Tak sabar mnecicipi.

"Wow, sudah ramai rupanya."

Bocah itu bangun juga, awas saja berani mendekati Ava. Seolah seperti rumah sendiri dia menyeduh kopi sendiri dengan leluasanya. Ikut duduk bersamaku dan Rayan.

"Berhentilah menatapku seperti itu, kepalaku bisa berlubang karena tatapanmu."

"Dengan senang hati aku akan melubangi kepalamu." Desisku.

"Sudah, sudah. Kalian berisik tahu nggak? Rayan, bantu aku mindah ini ke meja makan. Aku mau goreng sosis dan nuget dulu."

"Siap bos."

"Biar aku aja." Ucapku seraya mengambil alih piring besar di tangannya.

Dia sama sekali tak mau melihatku, sial! Harusnya aku yang marah dia sudah buang cincinnya, kenapa jadi dia yang marah denganku?

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang