20 vs 30 #15

1.4K 179 3
                                    

Pov Avara

Aku benci dengannya, sangat. Enak saja menjadikanku pilihan, memang aku barang. Dia pikir dia pria terhebatkah? Prettt.... Aku muak dengannya, setelah meminta wanita itu yang aku malas sebutkan namanya jangan pergi sekarang dia memintaku jangan pergi juga. Sok Donjuan banget. Makan noh si babat! Aku bilang juga apa, nggak ada tuh sahabat beda jenis. Yang ada cinta diam-diam. Aku baru kali ini ngerasain sakitnya patah hati, belum juga jatih cinta udah patah hati duluan. Sakitnya tuh dimana-mana. Apalagi inget saat si om itu meluk babatnya, miris. Menyebalkan! Kenapa juga dia harus melakukan hal yang sama padaku seperti yang dia lakukan sama wanita itu?

Kulempar bantal love sembarangan, saat ini rasanya pengen nangis tapi nggak ada kelua air mata. Hanya sesak dan nyeri di hati. Nyiksa banget!

Lebih baik aku mengerjakan pekerjaanku dari pada aku harus mengingat om gila itu.

***

"Kak Ava, bangun."

Samar-samar kudengar suara Rayan di telingaku. Rasanya mau buka mata itu berat banget.

"Apa Yan?"

"Kak Ava nggak ngantor?"

"Hah? Jam berapa ini?" Tanyaku langsung panik, aku nggak boleh terlambat pagi ini ada meeting.

Aku lupa tidur jam berapa semalam, yang aku ingat aku semalaman mengerjakan pekerjaanku. Dan yang aku liat sekarang aku tidur di kasur dengan laptop masih menyala.

"Bangun kak, malah bengong. Udah jam enam nih." Ucap Rayan enarik selimutku.

"Oh iya ya ampun." Ucapku seraya menepuk dahi dan langsung ngibrit ke kamar mandi.

***

"Pagi."

Mau ngapain Dhipa di sini pagi-pagi? Pengen kutendang rasanya dia ke luar apartemenku. Pasti Rayan yang bukain nih.

"Aku dateng mau nganter kamu ke kantor."

Keningku semakin mengkerut dengernya, Dhipa seolah kemasukan lelembut jadi semanis ini pagi-pagi.

Kulewati saja dia begitu saja, anggap tak nampak, anggap tak pernah ada.

"Yan, aku pergi dulu." Seruku seperti biasa dan akan disahut Rayan yg sedang nonton acara TV pagi.

"Aku anter."

Aku hanya menatapnya sekilas lalu melenggang pergi, dia itu sok playboy apa nggak punya hati sih jadi pria. Kucekek juga nanti.

Syuttt...

Astaga Tuhan!! Aku dah nggak sanggup teriak lagi cuma bisa pasrah buang nafas. Mau teriak sama aja makin nambah malu-maluin diri sendiri. Kujambak saja rambutnya kasar. TIap ada orang yang lewat di lorong yang sama aku hanya bisa nyembunyiin muka saking malunya.

"Turunin nggak?" Ancamku seraya melotot.

"Mau aku anter baru aku turunin."

"Nggak sudi." Seruku cepat.

"Ya nikmati aja digendong pria tampan sampai parkiran."

Kuputar bola mataku nggak nyangka dia segila ini. "Ya ampun, iya iya. Turunin nggak?"

"Cium dulu." Ucapnya menyeringai, mau muntah rasanya.

"Cium noh pintu lift. Turunin! Di lift pasti bakal banyak orang." Omelku geregetan, orang pasti ngira kami pasangan gila. Padahal yang gila cuma Dhipa aku masih 100% waras.

Tepat saat pintu lift akan terbuka dia menurunkanku, syukurlah. Ngelus dada lega sekalian ngatur debaran. Aku belum siap dikira gila main gendong-gendongan di lift.

"Tangannya tolong di kondisikan." Bisikku menarik telinganya karena dia terlalu tinggi buatku.

Dia hanya menaikkan bahunya dan tersenyum lebar tanpa mau menyingkirkan tangannya yang melingkar di perutku. Kucubit saja punggung tangannya tapi dia malah semakin menarikku. Kulirik dia dengan lirikan setajam silet, rasanya pengen banget nonjok mukanya yang sok manis dari tadi senyum-senyum nggak jelas. Berasa nggak punya salah padahal kesalahannya udah bisa bikin dia dihukum pasung udah bikin aku sakit hati. Seorang Ava dibikin sakit hati, siap-siap aja tunggu pembalasanku. Dia pikir aku mau apa dimadu? Buihhh...

"Aku geli tahu nggak?" Seruku yang langsung dihadiahi tatapan ingin tahu dar penghuni lift saat ini.

***

"Nggak perlu aku bilang makasih kan? Karena bukan aku yang minta diantar."

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang