Pov Dhipa
Berdiri menghadap jendela di belakang meja memang kenikmatan tersendiri, menatap langit yang cerah kali ini. Terlihat biru tanpa awan mendung. Aku masih memikirkan Ava. Dia memang hanya wanita kecil tapi dia mampu membuat hariku berantakan. Aku tahu aku salah, tak bisakah dia memberiku kesempatan kedua. Bukannya terus mengabaikanku. Hari ini dia benar-benar cantik dengan blouse hitam dan blazer peach serta kalung mutiara yang melingkar di lehernya saat kujemput. Wajahnya yang terus berubah ekspresi membuatku semakin menyukai saat melihatnya. Dia membuat pagiku ini kesal tapi juga ingin terus tersenyum hanya dengan membayangkan wajahnya yang menggemaskan.
"Senyum-senyum sendiri, apa perlu kupanggilkan dokter jiwa?"
Kulirik Braga yang sudah duduk di kursi depan mejaku seraya menopang dagu. Sejak kapan dia di sana?
"Sepertinya semua berjalan lancar." Ucapnya lagi tanpa mengubah posisi.
Aku hanya mengangkat bahu dan ikut duduk di kursiku.
"Aku kan sudah pernah bilang, cinta itu datang kadang langsung ke hati tak melewati otakmu. Kuharap pernikahanmu tak jadi batal, aku belum siap melihatmu jadi penghuni rumah sakit jiwa."
'Sialan!" Umpatku.
"Berlian ternyata sudah mengelabuiku." Ucapku lesu mengingat saat aku bicara pada Opa untuk tak membatalkan pertunanganku.
"Jadi kamu sudah tahu?" Tanya Braga kini mengubah posisi duduknya jadi bersender pada kursi.
"Jangan bilang kamu juga tahu rencananya?"
Braga menaikkan sudut bibirnya sebelah. "Kami melakukannya demi dirimu. Agar kamu sadar siapa sebenarnya yang ada di hatimu. Jadi jangan musuhi kami. Aku susah payah membujuk Syila agar mau melakukannya, awalnya dia menolak mentah-mentah karena dia juga akan segera menikah dan tak mau menyakitimu."
"Tapi bukan begini caranya, damn! Sekarang Ava marah padaku dan mengabaikanku."
"Itu kesalahanmu dud, masih saja bimbang. Itu gunanya Syila ada di sini, biar kamu yakin dengan perasaanmu. Kamu akan menikah dua minggu lagi tapi kamu masih tak yakin dengan perasaanmu. Kami tak mau mengorbankan Ava buat pria tak berprinsip. Sekarang tinggal gimana caranya kamu buktiin kalau kamu cinta sama Ava."
"Tapi kalian udah bikin aku seperti orang tolol, bahkan aku sampai tak punya muka di depan Syila." Ucapku geram.
Siapa yang tak malu kalau tahu kejadian kemarin sudah disetting dan dengan bodohnya aku terperangkap malah mengatakan cinta. Shit! Shit! Shit!!!! Walaupun Syila bilang bukan masalah, jangan dijadikan beban, dan dia sendiri sebenarnya sudah mau menikah, dia juga senang akhirnya aku bisa menyukai wanita, tetap saja aku malu dan kecewa pada diriku sendiri. Harusnya aku memang tak boleh terlena karena Ava memang bukan pilihan yang harus di galaukan. Karena dia memang yang seharusnya ada di hatiku tanpa kegamangan untuk memilih Ava atau Syila. Kuakui sekarang aku memang mencintainya, SANGAT. Dan aku sudah mengecewakannya.
"Jangan pikirkan itu lagi, bukankah kamu dan Syila sudah clear. Yang perlu kamu pikirkan itu bagaimana bikin Ava mau menikah denganmu lagi setelah dia lihat kamu yang bodoh ini malah mesra dengan wanita lain. Bodoh."
"Brisik. Sekarang bantu aku bikin Ava mau lagi denganku, dia bahkan membuang cincin pertunangannya."
"Wow, sepertinya ini serius. Seharusnya bukan begini hasil dari rencana kami kalau kamu tak bodoh."
"Sekali lagi bilang aku bodoh, kulempar juga keluar jendela."
"Memang kamu bodoh kan? Akui sajalah."
"Sialan, ya memang aku bodoh. Puas?"
Braga manggut-manggut tersenyum penuh kemenangan, sialan betul memang dia. Tapi aku sangat berterimakasih dan beruntung memiliki dia, Berlian dan Opa. Berkat mereka aku yakin dengan hatiku ini milik siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Fact, I Love You
Roman d'amourAku itu 25 tahun, jangan anggap aku remaja ingusan dong. Punya wajah baby face gini bukan dosa kan? Beraninya om itu menyeretku bahkan mengangkutku keluar club padahal aku sedang kumpul dengan orang-orang kantor dan berdansa dengan pria tampan nan...