Pov Avara
"Apapun kriteria wanita yang aku dambain kalau yang aku cinta itu kamu, aku bisa apa?"
"Prettt." Cibirku langsung.
"Tukeran perasaan gimana? Biar kamu percaya?"
"Kesambet ya? Norak banget. Cepet anterin aku pulang."
"Ok my future wife."
Sungguh menggelikan si om satu ini, dari pagi sampai sekarang udah bikin aku kesel dan sekarang bertingkah aneh. Denger ucapannya bikin geli sendiri, sepertinya dia salah menu makan siang.
"Kenapa lihat-lihat? Udah berubah pikiran?" Tanyanya tanpa merubah pandangan dari jalanan di depan.
Mual deh perutku langsung. 30menit berasa setahun di dalam mobil bareng dia.
"Cepet kenapa sih, lelet banget." Gerutuku sebal, si om gila ini ngendarain mobil kaya ngendarain sepeda kayuh. Lambreta.
"Sabar disayang pacar."
"Prettt... Sono sabar biar disayang pacar, aku mah single."
"Hei, aku masih calon suamimu lho. Kita nikah minggu depan."
Beneran nih orang sarap, nggak salah ngomong dia, kemarin habis menyatakan cinta sekarang sok ngingetin aku soal nikah minggu depan. Monggoh nikah sama si babat, aku mana sudi.
"Aku nggak ada apa-apa sama Syila. Kalau itu yang ada di otakmu."
"Aku nggak nanya." Jawabku ketus.
Apanya yang nggak ada apa-apa, yang aku lihat kemarin memangnya cuma halusinasiku doang. Bokis.
"Nggak usah pegang-pegang, rambutku jadi bau." Ucapku menepis tangannya yang memlintir-mlintir rambutku padahal dia lagi nyetir.
"Kalau lagi marah kamu makin gemesin."
Reflek kupegang jidatnya siapa tahu panas. Dari tadi omongannya nggak jelas.
"Aku yakin kamu pasti salah makan siang."
"Memang, kok tahu? Aku emang salah, harusnya tadi aku makan siang denganmu bukannya sama Braga."
Aku cuma speechless, nggak tahu mesti pasang ekspresi apaan. Mending diem dari pada aku ikutan gila.
***
Dhipa sekarang sudah duduk di sofaku berasa rumah sendiri. Aku harus bicara padanya sekarang juga dari pada dia bersikap makin aneh. Aku bukan wanita yang mau saja jadi yang kedua taupun jadi tempat persinggahan saat dia bosan dengan si babat. Aku punya harga diri kali, yang suka aku juga banyak. Sepertinya sih, walaupun setahuku cuma Figo aja yang terang-terangan ngajak nikah.Setelah ganti baju aku ikut duduk dengan Dhipa yang lagi asyik liat kartun di channel anak-anak. Aku makin heran, sebenarnya pria tampan di depanku ini makhluk apa, pertama ketemu keliatan cool, serem lalu jadi si brengsek, tadi jadi si norak, dan sekarang ngakak-ngakak cuma karena liat kartun. Cuma bisa ngerutin dahi aku.
"Aku heran kenapa aku bisa jatuh cinta bahkan cinta mati sama kamu yang juteknya setengah mati." Gumamnya lirih tapi aku bisa dengar karena aku belum tuli.
Aku nggak percaya sih dengan gumamannya tapi jujur hatiku jadi berdesir aneh dan jantungku sejak tadi belum berhenti disko hanya dengan duduk di dekatnya.
"Aku yang harusnya heran, kamu dari tadi kayak kesambet. Ngapain juga sih ikut ke sini?"
"Mau ngeyakinin kamu." Jawabnya santai masih melihat ke arah TV.
Nggak ngehargain banget aku ngomong sih, kurebut aja remotnya dan kumatiin tuh TV.
"Kamu ngerasa nggak sih punya salah? Dasar badak." Ucapku kesel, dia itu salah tapi nggak ngerasa dan bersikap nggak jelas seharian ini.
"Aku tahu aku salah, salah banget sampai aku nggak tahu mesti gimana sayangku. Aku udah minta maaf tapi sama kamu dicuekin."
"Aku bodoh itu pasti karena telat sadar kalau yang aku sayang itu kamu sampai perlu orang lain buat bikin aku sadar."
Pengen nggak dengerin omongannya tapi lihat wajah memelasnya kok kayak beneran. Tapi kalau bener dia sayang aku ngapain kemarin pelukan segala, dia juga bilang suka sama si babat. Bikin gondok.
"Aku sebenernya nggak suka Syila."
"Boong." Potongku cepat.
"Iya dulu suka tapi sekarang enggak, sekarang aku sayangnya sama cewek yang sibuk sama tabnya padahal ada pria tampan yang baru aja ngulurin tangan kenalan."
Hoammm...
Aku berlaga nguap denger ucapannya padahal jantungku udah lompat sana-sini. Masih sedih, kecewa tapi hati ini mah nggak mau kerjasama. Si hati mah berbunga-bunga sendiri padahal aku masih sebel.
"Ngantuk? Sini-sini senderan."
Tanpa basa-basi dia menarik kepalaku senderan di dadanya, mengusap-usap kepalaku. Hampir saja aku terhanyut dan mejamin mata mulai ngantuk beneran. Otakku untungnya masih waras jadi mataku nggak jadi merem, tapi mau menjauh nggak bisa karena badanku udah dipeluknya. Tahu sendiri badannku itu mungkin setengah badannya, sekali di peluk aku nggak bisa berkutik.
Dia masih mengusap-usap kepalaku, kadang lenganku yang diusap. Astaga, kalau begini aku bisa makin patah hati Tuhan. Aku takut.
"Kamu tahu nggak? Sebenernya aku mulai tertarik denganmu waktu pertama ketemu, tapi karena aku dicuekin aku gengsi dong mau ngajak kamu ngobrol. Tapi aku baru ngerti, sepertinya bukan cuma tertarik, mungkin saat itu aku mulai suka sama kamu. Mungkin kita memang jodoh, buktinya kita bisa ketemu lagi di Hogan. Aku jadi pengen tahu tentangmu, jadi pengen sering-sering ketemu tapi kamu nggak ngabarin aku padahal aku udah nunggu-nunggu dihubungi kamu setelah pertunangan kita."
Pengakuan dan perlakuan Dhipa beneran bikin mataku berat buat dibuka, pengakuannya berasa dongeng buatku. Dielus-elus gini berasa dihipnotis. Aku sampai nggak jelas denger omongan Dhipa lama-lama. Di pelukannya aku ngerasa nyaman dan makin ngantuk.
"Aku ngantuk, boleh tidur bentar nggak? Kamu ngomongnya nanti aja." Ucapku sedikit menggumam karena mendadak ngantuk banget dan lelah.
Tanganku memeluknya dan kepalaku mencari posisi yang lebih nyaman di badannya. Aku masih merasakan kecupan di kepalaku, tapi setelah itu entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Fact, I Love You
RomanceAku itu 25 tahun, jangan anggap aku remaja ingusan dong. Punya wajah baby face gini bukan dosa kan? Beraninya om itu menyeretku bahkan mengangkutku keluar club padahal aku sedang kumpul dengan orang-orang kantor dan berdansa dengan pria tampan nan...