20 vs 30 #11

32.8K 1.9K 201
                                    

Hawa puncak benar-benar membuatku menggigil saat keadaanku yang belum fit. Kalau aku dalam keadaan sehat aku tak masalah, tapi saat ini aku masih dalam pemulihan karena sering lembur. Walaupun sudah pindah ke dalam kamar bukan di tenda lagi, aku masih merasa dingin padahal selimut tebal sudah menutupiku sampai leher. Kulirik pria di sampingku yang sibuk meletakkan nampan berisi secangkir teh panas, aku jadi terkekeh sendiri mengingat kejadian tadi saat aku digendongnya kemari. Aku menggodanya, meniup-niup lehernya. Suruh siapa gelian, aku kan jadi makin semangat menggodanya. Apa lagi aku masih bete berat karena dia tiba-tiba saja menciumku lalu pergi begitu saja. Dan bodohnya air mataku keluar tiba-tiba hanya karena dia pergi. Memalukan.

"Apa ketawa-ketawa? Puas ngerjain aku hem?"

Kuputar bola mataku. "Puas banget!" Ucapku lalu kujulurkan lidahku.

"Awas saja, tunggu pembalasanku. Kamu itu lagi nggak berdaya jadi jangan sombong." Ucapnya mendekatiku dengan seringai mengerikan.

Reflek aku menarik selimut tebalku sampai menutupi kepala. Kurasakan ada gerakan dia sudah duduk di sampingku, jantungku jadi berpacu cepat. Gimana kalau dia nyium aku lagi? Mau mau mau banget sih. Astaga Ava, kenapa kamu jadi genit begini? Tapi beneran aku ngerasa suka waktu dicium Dhipa, rasanya itu ciuman paling luar biasa walaupun aku baru ciuman dengannya saja sih.

"Baru kudekati saja kamu sudah ketakutan." Ucapnya diiringi tawa.

Sial. Kubuka selimutku karena aku mulai pegah kekurangan oksigen. Dhipa masih terkekeh di duduk di sampingku. Saat dia sadar kuperhatikan dia langsung kembali memasang wajah sok cool. Dasar pencitraan.

"Bangun, minum obatmu." Ucapnya seraya menarik jemariku lalu menaruh butiran obat ke telapak tanganku.

"Kok tahu?" Tanyaku heran Dhipa tahu aku sedang minum obat dan herannya lagi dia punya obatku.

"Minum dulu." Ucapnya menyodorkan teh yang masih berasap, emang bibirku bibir badak yang kuat minum air sepanas ini.

"Masih panas." Tolakku reflek menutup mulutku.

Dia meniup-niup tehku, ampun itu bibirnya yang lagi niup-niup ngundang dicium banget sih. Astaga Ava, kenapa otakku sekarang jadi kongslet gini sih jadi ketularan mesum. Abaikan, abaikan!

"Nih, udah nggak panas banget. Biar badanmu berasa anget juga."

Aku menyicipi tehnya yang ternyata sudah setengah dingin nggak panas seperti tadi. Kuminum semua obat terkutuk yang dokter berikan padaku karena sempat pingsan di kantor. Gimana nggak pingsan kalau hampir seminggu aku lembur sampai lupa rasanya tidur nyenyak. Dan sekarang aku memaksa diri ikut champing demi bertemu orang yang seminggu ini bikin gondok hati karena tak menghubungiku barang sekali saja. Orang yang sekarang di hadapanku. Awas saja, bakal aku balas perlakuannya yang nyuekin aku seminggu ini.

"Sudah, sekarang tidur kalau masih mau ikut acara api unggun." Ucapnya seraya membenarkan selimutku.

"Ok daddy." Ucapku memasang wajah penurut seperti anak kecil.

Dhipa malah mendekatiku sampai hidung kami menempel membuatku mendadak kaku dan sempat lupa bernafas. "Kamu boleh memanggilku daddy kalau kamu sudah hamil anakku." Ucapnya datar lalu sudut bibir kirinya terangkat seraya menjauh dari wajahku.

Otakku bekerja lamban sampai aku baru paham apa yang dia ucapkan. Seketika kutarik selimutku sampai menutup kepalaku. Astaga, wajahku rasanya panas butuh cuci muka air dingin biar kembali normal. "Udah sana keluar aku mau tidur."

Dia menarik selimutku sampai wajahku terlihat, menyebalkan. "Nggak usah ditutup sampai kepala, nanti kamu pingsan. Aku di luar, kalau butuh apa-apa telpon aku."

In Fact, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang