Pov Dhipa
Siang ini aku mengikuti maunya Braga untuk makan siang di restoran Iga daerah bunderan yang sebenarnya tempatnya tak sejalur dengan tempat kami meeting nanti. Tapi Braga ngotot ingin makan siang di sini, seperti ibu hamil yang sedang nyidam saja kelakuannya.
"Gimana, enak kan?" Tanya Braga seraya menyeruput es jeruknya setelah menghabiskan iga bakar dua porsi.
"Hemm.."
"Ah kamu ini nggak bisa dikit aja bikin temenmu ini seneng udah merekomendasikan tempat yang ok gini."
"Ok si ok, tapi kita jadi putar arah nanti." Jawabku malas memainkan ponselku. Si toge habis kutelpon kenapa nggak ada sms atau telpon balik gitu. Nggak ada yang ingin dia tanyakan buat acara nanti malam kah? Sebenarnya dia bekerja dimana, apa sesibuk itu sampai bisa mengabaikanku.
"Jangan kayak perempuanlah kamu ni, putar arah dikit aja ngeluhnya sampai Moskow."
Aku tak menanggapi ucapan Braga lagi, dia juga sudah sibuk dengan rokoknya yang entah ke berapa. Merasa ada yang memandangiku akupun menoleh, aku sudah biasa dipandangi banyak orang tapi kali ini aku merasa perlu menoleh. Aku mencoba menajamkan penglihatanku, aku nggak akan salah lihat. Bahkan di tempat gelap saja aku bisa mengenalinya, siapa lagi kalau bukan Ava. Pantas saja dia sempat mengabaikan panggilanku bahkan tak menghubungiku balik meminta penjelasan lebih dengan ucapanku tadi di telpon. karena sekarang dia sedang berdua dengan pria malam itu. Rasanya ada emosi di dadaku yang keluar begitu saja, terasa terhianati. Jadi dia bukan sibuk kerja melainkan sibuk makan siang dengan pria lain.
"Hei, kenapa? Siapa dia?"
Tak kuhiraukan pertanyaan-pertanyaan Braga, mataku tetap fokus menatap Ava yang menundukan wajahnya. Mau dia nunduk, jungkir balik sekalian aku tetap bisa mengenalinya.
"Hei mau kemana? Aihhh kamu kebiasaan Dhip."
Kulemaskan tanganku yang sejak tadi mengepal keras, aku tetap harus bersikap cool karena ini bukan club malam. Ini restoran di siang hari yang setiap orang bisa mengenaliku dan mengingatku dengan jelas. Kulangkahkan kakiku santai ke meja no 24 dimana ada si toge dan selingkuhannya. Berani-beraninya dia selingkuh dariku, bahkan aku lebih tampan dari pria itu.
Aku berdiri di sampingnya yang sedang menunduk, kuangkat dagunya hingga kami saling menatap tapi matanya langsung menghindar dari tatapanku.
"Ada apa ini?"
Aku menoleh ke arah pria selingkuhan Ava, boleh juga dia tapi bukan berarti dia boleh makan siang dengan calon istriku. Rasanya ingin sekali memberinya bogem ke muka sok kerennya.
"Maaf bentar ya mas."
Baru aku mau bersuara tanganku sudah ditarik Ava menjauh. Dia tadi memanggil mas buat siapa? Pria itu? Aku berhenti dan menarik tangan Ava balik hingga dia menubruk badanku.
"Awww... pelan sih." Omelnya seraya memukulku tapi yang ada dia mengaduh lagi kesakitan. Sudah kubilang berulang kali tapi masih saja dia memukulku. Melihat eskpresinya mengaduh malah membuatku ingin tertawa padahal aku sedang marah.
"Jadi karena dia kamu tak segera mengangkat telponku? Berani selingkuh di belakangku huh? Memanggilnya dengan sebutan mas?" Desisku menunduk menatapnya tajam seraya mengusap telapak tangannya. Mendengarnya memanggil pria sialan itu dengan panggilan mas membuat telingaku berdenging dan emosiku naik dengan cepat.
"Bu-bukan begitu, kan kamu yang seenaknya nutup telpon padahal aku belum selesai bicara. Siapa coba yang menyebalkan? Lagian aku nggak selingkuh." Ucapnya terbata lalu sewot melotot saat mengatakan dia tak selingkuh.
"Lalu ini apa?" Tanyaku kusabar-sabarkan walaupun rasanya kepalaku hampir meledak dengan ketidakpekaan dia. Mana ada pria yang nggak marah kalau calon istrinya dengan pria lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Fact, I Love You
RomanceAku itu 25 tahun, jangan anggap aku remaja ingusan dong. Punya wajah baby face gini bukan dosa kan? Beraninya om itu menyeretku bahkan mengangkutku keluar club padahal aku sedang kumpul dengan orang-orang kantor dan berdansa dengan pria tampan nan...